Derap kecil langkah kaki Summer bergema di sepanjang lorong lantai dua gedung kampus. Hari ini dia benar-benar repot dibuat Mrs. Darcy. Summer sedang memperjuangkan nilainya yang jauh tertinggal dibandingkan teman-temannya yang lain akibat nekat bolos kuliah selama hampir seminggu. Semua dosennya berbaik hati memberikannya tugas sebagai pengganti tugas-tugas kuliah yang telah ia lewatkan. Tapi seperti biasa, Mrs. Darcy, tidak sebaik hati yang diharapkan Summer. Bahkan, Mr. Gerry yang terkenal lebih kejam dari Mrs. Darcy akhirnya merelakan Summer mengganti tugas-tugasnya dengan tugas khusus, walaupun memang Summer harus rela menunggu beliau berjam-jam di depan ruangan, dan bolak-balik mengikuti kemanapun Mr. Gerry pergi hanya untuk mengiba belas kasihannya. Tapi setidaknya itu berhasil—untung saja.
Antara memanfaatkan keadaan atau mempermainkan Summer – atau bahkan keduanya – Mrs Darcy meminta Summer melakukan beberapa pekerjaan setelah gadis itu mengatakan, “Akan kulakukan apapun,” padanya. Summer masih ingat bagaimana perubahan wajah Mrs. Darcy dan seringainya yang berusaha disamarkan saat itu.
Summer memasuki sebuah ruangan kecil yang bersebelahan dengan ruangan Mr. Gerry. Itu ruangan Mrs. Darcy. Wanita yang gemar memakai lipstik merah maroon di bibirnya – yang mulai berkeriput di kedua ujungnya- itu baru saja menyuruh Summer mengambil kumpulan tugas dari semester lalu di ruangannya yang lama. Mrs. Darcy bertukar ruangan dengan dosen yang Summer tidak tahu namanya sejak tiga hari yang lalu. Beberapa barang-barangnya masih ada yang tertinggal dan Summer diminta untuk membantunya hari ini. Berkat Summer hampir semua barang-barang Mrs. Darcy telah dipindahkan ke ruangan barunya.
Ruangan Mrs. Darcy ditata tidak jauh berbeda dengan ruangannya yang lama, minimalis dan nyaman. Sepertinya warna merah maroon memang kesukaan wanita paruh baya itu. Tadi pagi, Mrs. Darcy baru saja mengganti wallpaper di ruangan ini menjadi warna merah maroon dengan pola sulur-sulur hitam yang memanjang dari atas ke bawah, dan hijau lumut di beberapa titik. Meja kerja Mrs. Darcy diletakkan di pojok dalam ruangan. Selain kursi kerjanya, ada satu kursi lain yang diletakkan berhadapan dengan kursinya.
“Mrs. Darcy, ini kumpulan tugas dari semester lalu yang kau suruh aku pisahkan....., ah, dan ini kopi pesananmu.” Summer meletakkan tumpukan kertas setebal dua buah kamus oxford dan segelas kopi berlabel starbucks di atas meja Mrs. Darcy yang masih kosong. “Nng..dan jika kau tidak keberatan, sekarang aku ingin meminta—“
“Tidak usah terburu-buru, Ms. Mackenzie. Kita masih punya banyak waktu.” Mrs. Darcy menyela. “Sekarang, pulanglah ke rumah. Simpan tenagamu untuk besok,” tambahnya.
Summer menahan napasnya terhenti di perut, “Hmm..baiklah..., kalau begitu sampai jumpa besok, Mrs. Darcy.” Summer mundur perlahan. Dia sempat membungkukkan badannya sebelum melangkah keluar dari ruangan Mrs. Darcy.
“Aku tidak percaya nenek sihir itu tega melakukan ini padaku!” Summer menghentakkan kakinya kuat-kuat ke lantai sepanjang ia berjalan menyusuri lorong. Hampir tidak ada orang di sini, tidak masalah jika ia terlihat sedikit gila karena marah-marah sendirian.
Summer berbelok dengan gerakan menukik ketika tiba-tiba seseorang berjalan dari arah yang berlawanan dengannya hampir saja menabraknya. Summer sedikit oleng dan seseorang itu terjatuh sampai terduduk. Dia seorang pria. Rambutnya sedikit ikal dan gondrong diikat setengah ke belakang. Tubuhnya terlalu kurus untuk orang setingginya. Mata abu-abunya terasa tak asing bagi Summer, tapi gadis itu sukar mengenalinya.
“Hai, Sum. Apa yang membuatmu sangat bersemangat?” pria itu berdiri sembari mengelus-elus pantatnya. Summer ternganga begitu mendengar suaranya. Dia kenal pria ini, salah satu temannya saat SMA dulu.
“Dex? Astaga Tuhan! Bagaimana bisa kau berubah menjadi sekurus ini? Oh, tidak. Ini bahkan terlalu kurus! Kemana perginya Dex Si Tukang Pukul?” Summer meremas-remas pergelangan tangan Dex sampai lengan atasnya.
Dex nyengir, “Aku sempat sakit dan berat badanku turun drastis. Tapi kau tidak usah khawatir, aku masih si tukang pukul yang kau kenal itu—meskipun aku terlalu kurus untuk disebut tukang pukul.” Kemudian ia tertawa, menunjukkan deretan giginya yang dipasang kawat. Dex sadar Summer menahan tawa melihatnya memakai kawat gigi. Dengan sengaja, pria itu tersenyum lebar menunjukkan kawat giginya.
“Akhirnya kau yang kalah. Aku penasaran bagaimana ibumu berhasil memaksamu memakai kawat gigi,” ujar Summer.
“Ini karena kau bilang, kau suka pria yang bergigi rapi dengan senyum menawan,” jawab Dex.
Summer tertawa, “Oh, ya? Aku tidak ingat pernah mengatakan itu. Jangan mengada-ada.”
“Sejak kapan, sih? Memorimu bekerja dengan baik?” Dex ikut tertawa. “Ngomong-omong, apa yang kau lakukan di sini sendirian? Apa kau tidak ada kuliah? Tidak mungkin, kan...seorang Summer datang ke kampus hanya dengan tas kecil hitam itu.” Pandangan Dex tertuju pada sling bag hitam yang tersanding dari bahu kiri atas Summer ke pinggang kanannya.
“Aku baru saja menemui Mrs. Darcy. Sudah hampir tiga hari ini aku jadi kacungnya.”
“Bagaimana bisa? Apa kau melakukan kesalahan?”
“Err...sejenis—Aku meminta tugas tambahan untuk mengganti semua tugas harian yang tidak kukerjakan selama aku tidak masuk kuliah.”
“Memangnya berapa lama kau tidak masuk? Lebih dari tiga hari?” Dex menunggu jawaban Summer. Gadis itu menganggukkan kepalanya perlahan. Dex tidak percaya, “Benarkah? Apa kau sakit? Atau terjadi sesuatu? Karena aku tidak akan percaya kalau kau sampai menyebut kau pergi berlibur.”
“Tidak. Bukan...., aku hanya melakukan sesuatu saja.” Summer seperti membatasi jawabannya, Dex mengerti. Secerewet apapun Summer, gadis itu kerap menyembunyikan beberapa hal dari orang lain.
“Hei, Sum...bagaimana kalau kita—“
“Summer!”
Dex dan Summer menoleh ke satu arah. Perubahan ekspresi Summer jelas sangat terihat saat melihat sosok yang memanggil namanya itu. Dex pun mengambil kesimpulan. Apapun yang menjadi alasan Summer tidak masuk kuliah, jelas berhubungan dengan orang itu.Dex sudah lama berteman akrab dengan Summer. Tidak sulit baginya untuk menebak setiap ekspresi wajah gadis itu.
“Axel...” Summer menyebut nama itu lirih. “H-hai! Long time no see!” Dalam hatinya, Summer mengutuk dirinya sendiri yang tidak bisa berpura-pura baik-baik saja dengan sempurna. Barusan dia malah terdengar gugup menyapa pria itu.
“Kemana saja kau?” Axel melirik sekilas kepada Dex melalui ekor matanya. Sebagai sesama pria, tentu saja Dex tahu apa arti dari tatapan itu.
“Itu bukan urusanmu, Axel.” Summer berpaling pada Dex. “Kita akan ngobrol lain kali, Dex. Aku harus pulang sekarang,” katanya, sembari berjalan menjauhi Axel dan Dex.
Axel segera menyesuaikan langkah Summer. “Biar ku antar—“
“Tidak perlu, Axel. Aku bisa naik bis, taksi, atau apapun.”
“Kenapa tiba-tiba kau bersikap aneh?” Axel menarik tangan Summer. “Kenapa kau tidak pergi ke kampus? Kau menjauhiku? Apa kesalahanku? Apa karena wanita yang—“
“Aku memiliki alasan tersendiri kenapa aku tidak ke kampus.” Summer menghentikan langkahnya, kemudian menghadapkan tubuhnya pada Axel dengan sedikit kasar. “Aku sama sekali tidak bersikap aneh—dan jangan menghubungkan perkiraanmu itu dengan wanita yang bermesraan denganmu minggu lalu. Aku bahkan tidak peduli siapa dia dan mau apa dia. Ah...pembicaraan ini mulai melantur sepertinya...” Summer memijit pelan pelipisnya. “Sudahlah, Axel. Aku harus pulang sekarang. Kakakku menunggu di rumah dan aku tidak ingin membuatnya marah.”
Axel tidak menghalangi Summer lagi kali ini, melainkan hanya memandangi punggung gadis itu yang perlahan semakin menjauh. Bukan karena ia tidak bisa menahan Summer dan berusaha lebih keras untuk mengajak gadis itu berbicara lebih lama. Hanya saja kali ini ia bahkan kehabisan kata-kata untuk membuat gadis itu tetap tinggal.
***
“Apa lagi yang terjadi?” Phoebe menanyakan pertanyaan yang jawabannya sudah ia ketahui. Ia baru saja membukakan pintu untuk Summer dan adiknya itu langsung memeluknya dan menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. “Kau bertemu dengannya hari ini?”
Summer menganggukkan kepala, bersamaan dengan Phoebe yang menggiring nya masuk ke ruang makan setelah sebelumnya menutup pintu dengan cara menendangnya.
“Makanlah dulu. Aku baru saja selesai memasak fusili.”
“Aku sedang tidak ingin makan, Kak.”
“Sejak kapan adikku tidak ingin makan? Kau selalu ingin makan. Cobalah dulu, kau pasti ketagihan.” Phoebe meletakkan sepiring penuh fusili yang masih panas ke meja di hadapan Summer.
Summer mulai mengaduk-aduk pelan makanannya. Namun gerakan mengaduk itu tiba-tiba ia hentikan saat air matanya kembali menggenang.
Akhirnya Phoebe menjauhkan piring makanan itu dari Summer, kemudian menarik gadis itu agar mendekat ke dalam pelukannya. “There..there...apa yang kukatakan tentang ‘jangan menangis kalau ingin cepat sembuh dari luka’?” Phoebe mengusap-usap kepala Summer. “Dari awal kau sudah tahu apa resikonya dan kau tetap bersikeras ingin mewujudkan cintamu dengannya. Jangan ada penyesalan, ambil saja pelajarannya.”
“Aku tidak menyesal. Aku sudah mempersiapkan diri kalau kejadian minggu lalu itu akan terjadi suatu hari ini. Aku hanya tidak menyangka kalau rasanya akan sesakit ini..., itu saja.”
“Tidak ada orang yang merasa tidak sakit saat terluka, Sum. Apalagi untuk luka yang tak terlihat. Tapi kau tahu, kan...meskipun membutuhkan waktu yang lama, luka selalu sembuh. Apalagi kau yang mudah sekali jatuh cinta. Tidak akan lama bagimu mendapatkan pengganti Axel.”
“Aku tidak tahu, Kak.” Summer menghela napas panjang. “Aku tidak yakin kali ini. Aku sudah pernah bilang padamu kalau yang kurasakan sekarang sedikit berbeda.” Summer menoleh sekilas pada Phoebe. “Percayalah, Kak..itu benar. Aku tidak yakin apakah aku bisa semudah itu melupakannya.”
“Oh, Summer...memangnya seistimewa apa pria itu sampai-sampai kau merasa kau tidak akan mudah melupakannya?”
Summer terdiam beberapa saat. “Aku tidak tahu, Kak. Sampai sekarang aku sendiri tidak tahu, apa yang menjadi alasanku tertarik padanya. Semakin aku mengenalnya, menghabiskan waktu dengannya, justru membuatku semakin nyaman dan ingin berada di dekatnya. Aku tidak akan mengatakan padamu kalau kau tidak akan mengerti dengan apa yang kurasakan karena kau sendiri belum pernah jatuh cinta, Kak...” Summer mengambil napas dalam-dalam. “...karena sekarang, aku sendiri bahkan baru pertama kali merasakannya...”
Phoebe mendesah frustrasi. “Sebenarnya aku sedang tidak ingin memahami perasaanmu—jujur saja, aku terganggu melihatmu menangis seperti ini, Sum. Seolah-olah laki-laki itu hanyalah satu-satunya orang yang bisa membuatmu benar-benar mencintai seseorang. Kau masih muda, kau masih akan bertemu dan mengenal banyak orang di luar sana.” Phoebe memaksa Summer membalas tatapannya, dengan mengarahkan dagu gadis itu agar wajahnya menghadap ke arahnya. “Lupakan dia, Sum. Aku tahu kau bisa.”