Summer: Chapter 12

1634 Words
              “Jadi siapa laki-laki yang kemarin itu?” tanya Dex. Ia menyodorkan satu kaleng dingin soda lemon pada Summer yang sedang menatap nanar pada pemain piano yang sedang memainkan pianonya di tengah-tengah cafe.             Sebenarnya Summer sama sekali tidak ada niat untuk pergi berdua bersama Dex. Tapi ketika tiba-tiba ia berpapasan dengan Dex di tempat yang sama saat bertemu dengan pria itu kemarin. Summer spontan mengajak Dex makan siang bersama di cafe ini yang baru saja launching seminggu lalu. Tadinya, orang pertama yang ingin Summer ajak ke cafe ini adalah Axel, sejak pamflet dan promosi cafe ini tersebar sejak dua minggu lalu. Tapi, setelah semua yang terjadi, tentu saja Summer tidak bisa mengajak Axel pergi ke sini bersamanya. Bukan tidak bisa, melainkan tidak ingin.             Summer memejamkan matanya cukup lama. Alisnya mengernyit mengikuti pergerakan dahinya yang berkerut. Saat ia membuka mata, Dex terlihat sedang menatap Summer lekat-lekat. Pria itu menunggu Summer mengeluarkan isi hatinya, bahkan isi kantong air matanya kalau memang itu bisa membuatnya lega.             “Laki-laki itu adalah alasanku mengajakmu makan siang, Dex,” jawab Summer. “Akhir-akhir ini aku dekat dengannya. Kami bahkan sekelompok di kelas, dan sering makan siang bersama di kampus. Dulu aku tidak sedekat itu dengannya, tapi lama kelamaan kami menjadi dekat dan—“             “dan kau semakin menyukainya. Bahkan, sebelum sedekat itu dengannya, kau memang sudah menyukainya.”             “Ah...kenapa kau selalu menebak dengan benar?” Summer terdengar kesal. Tapi beban di hatinya seperti berkurang hampir setengahnya.             “Lalu apa masalahnya sekarang? Dia hanya menganggapmu sebagai teman?”             Summer menggeleng kuat. “Dia seorang playboy. Dia tidak suka terikat pada hubungan serius dengan perempuan. Jangankan untuk waktu yang lama, satu minggu pun mungkin dia sudah tidak tahan.”             “Lalu apa yang membuatmu menyukainya? Ini bukan karena kebiasaan burukmu yang terlalu mudah jatuh cinta itu, kan?”             “Yah...ini ada hubungannya. Tapi, kalau memang ini karena kebiasaan burukku itu, seharusnya dalam waktu dekat aku bisa membuang perasaan suka ku padanya dan menggantinya dengan orang lain. Sialnya...sepertinya kali ini aku benar-benar jatuh cinta. Hanya saja bukan dengan orang yang tepat. Atau mungkin...., Tuhan memang sedang menghukumku?”             “Omong kosong.” Dex menyahuti Summer, cepat. “Jatuh cinta dengan tulus pada seseorang itu bukanlah sebuah hukuman. Bagaimana bisa kau mengartikan perasaanmu sendiri sebagai hukuman untukmu, Sum?”             Summer kehilangan kata-katanya. “Dex..” Ia hanya bisa memanggil nama Dex dengan lirih dan sedikit bergetar karena menahan tangis. “Aku tidak ingin menangis lagi.”             “Kalau begitu jangan. Air matamu terlalu berharga untuk seseorang yang bahkan mungkin tidak mengetahui perasaanmu. Meskipun sebenarnya aku ragu...”             “Apa maksudmu kau ragu?” Summer menyeka air matanya yang hampir tumpah.             “Yah...cara dia memandangku kemarin saat melihatmu sedang bersamaku—siapapun akan menyadari kalau tatapannya itu mengisyaratkan ketidak sukaan.”             “Dia memang seperti itu dengan orang yang baru saja dikenalnya.” Summer menimpali.             “Benarkah?” karena sepertinya tidak begitu...Dex melanjutkan sebagian kalimatnya di dalam hati. “By the way...darimana kau tahu kalau dia tidak memiliki perasaan apapun padamu?”             Summer terlihat seperti berpikir. “Aku hanya menerka. Perasaanku mengatakan demikian. Apalagi setelah aku melihat seorang perempuan menempelinya dengan mesra, di saat yang sama saat ia akan memberitahukan padaku apa alasan ia dan Steve bertengkar.”             “Steve mantan kekasihmu?” Dex terlihat sedikit terkejut. “Jadi, kau menyimpulkan perempuan yang menempelinya dengan mesra itu adalah alasan mereka bertengkar?”             Summer mengangguk mantap. “Tepat sekali.”             Mendengar jawaban Summer, Dex mati-matian menahan senyumnya. “Terkadang sesuatu yang terlihat itu tidak seperti yang terjadi di belakangnya, Sum,” ujar Dex. “Kenapa kau tidak menanyakannya saja langsung pada Axel?”             “Memangnya siapa aku harus bertanya tentang gadis itu pada dia? Aku hanya temannya—“             “Teman yang memiliki perasaan khusus.” Dex memotong kalimat Summer. “Siapa tahu bukan dia yang membuat perasaanmu itu layu, tapi kau sendiri, Sum. Mungkin kau yang terlalu cepat mengambil kesimpulan—ini bukan karena aku mendukungmu untuk berpacaran dengan laki-laki itu. Aku hanya mendukung perasaanmu yang biasanya selalu berganti-ganti dengan cepat. Lagipula, aku selalu menyukai sosokmu yang memperjuangkan perasaanmu. Jadi, kenapa tidak sekali lagi berjuang?”             Summer menutup kedua belah bibirnya rapat-rapat. “Aku tidak tahu...menurutku berjuang untuk sesuatu yang tidak pasti hanya akan menarikku lebih dalam ke dasar kesedihan. Aku tidak menyukai sosokku yang seperti ini, Dex. Tapi...aku akan mempertimbangkan saranmu.” ***             “Hai, Dex!” Phoebe menyapa Dex yang berjalan keluar cafe bersama Summer dengan senyuman lebar. “Bagaimana kabarmu?”             “Sangat baik! Sudah lama aku tidak bertemu kalian dan ternyata sahabatku ini satu universitas denganku.” Dex tertawa, sembari menepuk punggung Summer. “Kau tidak banyak berubah, Kak.”             “Yeah, kau yang banyak berubah,” timpal Phoebe. “Sekarang aku benar-benar mempercayai kata-kata Summer yang mengatakan kalau kau sudah sangat kurus dan memakai kawat gigi yang sangat kau benci itu.” Phoebe mulai berbicara panjang lebar.             “Jadi, kau menerima tumpangan, Kak?” Dex baru saja bertanya, tapi ia sudah membuka pintu mobil belakang Phoebe.             “Sepertinya aku tidak perlu menjawab lagi.” Phoebe segera masuk ke dalam mobil, bersamaan dengan Summer yang harus mengitari setengah mobil untuk duduk di kursi depan di samping Phoebe.             Summer tidak terlibat pembicaraan apapun di dalam mobil. Phoebe asyik bercerita dengan Dex. Atmosfir yang sangat ringan itu entah kenapa terasa berat bagi Summer. Pikirannya masih melanglang buana memikirkan Axel dan perasaannya sendiri. Obrolan dengan Dex di cafe juga menambah satu hal lain berkutat di pikirannya; perasaan Axel. Apakah pria itu memiliki perasaan khusus untuk Summer meskipun hanya sedikit? Apakah pria itu merindukannya saat Summer menghilang beberapa hari ini? Baiklah, pertanyaan yang terakhir sepertinya terlalu berlebihan. Bagaimana mungkin pria itu merindukannya? Summer saja tidak mengetahui perasaan yang dimiliki pria itu padanya. “Sum...” Suara Dex menyadarkan Summer dari lamunannya. Summer menoleh. Mendapati mobil sudah berhenti di depan sebuah apartemen kecil dan Dex sudah berada di luar mobil. Lebih tepatnya di samping kaca Summer. “Kau tidak tinggal di rumahmu lagi?” Dex menyengir. “Kau tahu, kan? Tipikal anak laki-laki Amerika. Ini saatnya aku tinggal sendiri, Sum. Jadi aku bisa bebas mengajak perempuan-perempuan seksi di luar sana untuk menginap di tempatku.” Summer menunjukkan ekspresi jijik yang dilebih-lebihkan. Memancing Dex mengeluarkan tawa gelinya karena melihat raut wajah Summer. “Hubungi aku kapanpun, Sum!” Dex berlari mundur menuju pintu masuk lobby apartemennya, setelah melambaikan tangannya beberapa kali. Tak lama setelah Dex masuk ke dalam gedung apartemennya, Phoebe pun melajukan mobilnya. “Dex benar-benar berubah drastis, ya?” Phoebe memulai pembicaraan. “Kau tidak tertarik padanya? Ku pikir dia lumayan tampan untuk menyaingi lelaki itu.” Summer memutar matanya, “Demi melupakan seorang laki-laki bukan berarti aku harus mencari laki-laki lain, kan?” ujar Summer, seraya mematikan AC mobil lalu membuka jendela di sampingnya. Membiarkan angin masuk dan menerbangkan rambutnya yang ia urai. Biasanya Summer tidak menyukai saat angin mengacak-acak rambutnya, tapi tidak kali ini. Bagi Phoebe, adiknya itu jadi terlihat sedikit berbeda. Phoebe menutup kaca jendela Summer melalui tombol pengatur yang ada di sisi tangannya, kemudian menyalakan AC kembali. “Kau akan kesulitan saat menyisirinya nanti, Sum...” *** Axel merasa terganggu dengan isi kepalanya sendiri. Memikirkan Summer telah kembali ke kampus dan tidak mengabarinya entah kenapa membuatnya merasa kesal. Padahal itu bukan sesuatu yang penting. Tidak—tentu saja itu menjadi penting kalau yang menjadi alasan Summer tidak ke kampus belakangan ini adalah dirinya, bukan? Dan lagi, pertanyaan-pertanyaan bodoh seperti ‘siapa pria yang bersama Summer’ dan ‘kenapa mereka terlihat sangat dekat’ terus saja berputar di dalam kepalanya. Ini seperti bukan dirinya. kenapa tiba-tiba ia menjadi sangat penasaran dengan urusan orang lain? Baiklah, ini bukan sekedar orang lain. Orang itu adalah Summer. Wajar saja kalau dirinya ingin tahu, kan?—astaga...wajar bagaimana?! “Bisa kah kau hentikan itu? mengacak-acak rambutmu seperti orang gila dan terus berjalan mengitari meja seperti itu...Man, aku jadi sedikit merinding sekarang.” Damian menuangkan susu dingin ke dalam gelas yang baru saja ia pakai, kemudian memanggil Axel dengan menggerakkan sebelah alisnya dan memiringkan kepalanya ke arah kursi di depannya. “Mungkin kau ingin berbagi denganku?” Axel menurut. Pria itu menghampiri Damian dengan langkah yang tergesa-gesa, lalu mengambil gelas dari tangan Damian dengan gerakan seperti merampas. Ia hanya membutuhkan dua kali tegukan besar untuk menghabiskan susu itu. Setelah menyeka sisa-sisa rembesan susu yang mengalir keluar dari sudut bibirnya, Axel menatap Damian dengan tatapan orang bingung. “Jadi?” Damian mengambil gelas susu dari tangan Axel, lalu menuang susu lagi untuk dirinya sendiri. “Aku bertemu dengannya hari ini.” Axel menggigit bibirnya. “Bersama laki-laki lain.” “Mungkin itu temannya...” “Aku tahu. Mungkin itu temannya...” “Dan kalaupun memang bukan temannya, itu bukan urusanmu, kan?” “Kau menuduhku cemburu?” Ada nada ketidak-sukaan dari pertanyaan Axel pada Damian, dan sepupunya itu tidak menunjukkan gelagat akan menyangkal pertanyaan Axel pada dirinya. “Kau berkelakuan aneh sejak pulang dari kampus dan tiba-tiba memulai pembicaraan tentang Summer yang akhirnya kembali terlihat di kampus, tapi ada laki-laki lain yang bersamanya. Kemudian dengan segala kegalauan yang terjadi padamu beberapa hari ini—Sebutkan satu saja alasan kenapa aku tidak pantas menuduh kalau kau cemburu?” Axel mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Damian kembali membuka mulutnya. “Terkadang seseorang bahkan tidak bisa membaca dirinya sendiri sebaik apa yang orang lain baca tentang dirinya.”  Damian meletakkan gelas bekas susunya ke bak cuci piring. “Jadi kau mau makan malam apa hari ini? Aku bosan dengan pizza.” “Aku tidak lapar, Damian.” Axel beralih ke sofa di tengah ruangan, lalu beringsut duduk seperti kehilangan tulangnya. “Kau saja yang makan—ah...seharusnya aku tidak mengatakan apa-apa padamu. Kau semakin membuatku kepikiran.” Damian terkekeh. “Apa sesuatu yang membuatmu kepikiran itu persis dengan dugaanku?” Tepat setelah mengatakan itu, Damian menerima lemparan bantal sofa dari Axel. “Brengsek kau,” desis Axel.                                           
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD