“You what?” Phoebe mengeluarkan suara aneh setengah memekik setengah berbisik. “Kenapa dunia ini tidak adil? Aku ingat, kau hanya memasukkan satu kupon dan aku—“ Phobe menghela napas panjang ketika membayangkan saat-saat ia memasukkan 50 kupon ke dalam kotak undian di food court langganannya. Itu adalah gabungan kupon yang ia kumpulkan bersama Summer. Tidak banyak yang mengikuti undian itu, jadi dia merasa peluangnya sangat-sangat besar sampai tiba Damian yang menunjukkan namanya tertera di koran harian sebagai pemenang undian. Mereka berdua memasukkan kupon mereka di hari yang sama saat mereka sedang makan siang bersama.
“Aku tidak tahu kalau kau memiliki—“
“Tentu saja tidak, Damian.” Phoebe menghentikan kalimat kecurigaan Damian sebelum pria itu menyelesaikannya. “Siapa lagi yang akan kuajak berlibur ke Hawai bersamaku kalau bukan Summer? apalagi akhir-akhir ini dia terlihat sedikit mengkhawatirkan dan sebentar lagi ujian kampusnya akan segera dimulai. Aku sama sekali tidak meragukan kemampuan otaknya, tapi—ah...sudahlah.” Phoebe sama sekali tidak menyadari perubahan raut wajah lega Damian saat ia mengatakan ia tidak memiliki kekasih.
Damian berdehem. “Kita berada di posisi yang sama. Aku juga tidak memiliki seseorang yang bisa kuajak berlibur ke sana, jadi...aku berniat mengajakmu.”
Untuk sesaat raut wajah Phoebe terlihat bersinar, namun di detik berikutnya meredup. “Aku tidak mungkin meninggalkan adikku, Damian.”
“Siapa bilang kau meninggalkannya?” Damian buru-buru menyahuti. “Kau bisa mengajaknya. Aku akan membantu mengatur tiket dan kamar untuknya. Meskipun aku tidak bisa janji dia akan berada di pesawat yang sama, paling tidak aku bisa mengusahakan ia mendapatkan kamar di hotel yang sama dengan kita.”
Phoebe menambahkan, “Kalau begitu pesan kamar untuk dua orang. Aku akan tidur bersama adikku,” katanya, membuat Damian sedikit menyesal telah melewatkan kesempatan, meskipun sebenarnya ia sudah memprediksi Phoebe akan mengatakan itu.
***
“Aku tidak tahu, Kak...” Summer sama sekali tidak terlihat bersemangat dengan ajakan Phoebe untuk berlibur ke Hawai. “Aku harus belajar untuk persiapan ujianku.”
“Kita akan pergi setelah ujianmu selesai, Sum.” Phoebe menggenggam kedua tangan Summer. “Itu adalah Hawai. Kau bisa bersenang-senang di sana. Kau mau ke club? Aku tidak akan menghalangimu—“
“Yeah, karena kau akan menemaniku dan mengawasiku.” Summer tertawa rendah.
“Aku bisa menjauhkan jaraknya...” Phoebe terlihat berpikir. “Mungkin dua meter.”
“Itu sama saja, Kak.” Summer tertawa lagi, kali ini lebih keras.
“Ayolah, Sum. Hanya satu minggu. Siapa tahu liburan ini akan menjadi obat untukmu.”
Summer mengulum senyumnya. Ia sama sekali tidak menyangkal kalau memang ajakan Phoebe adalah ide yang bagus untuk membuatnya melupakan perasaannya meskipun ia sendiri tidak yakin itu akan berhasil. Tapi, paling tidak itu akan sedikit mengobati kegundahannya. Lagipula, sudah lama ia tidak berlibur bersama kakakknya. Phoebe selalu sibuk dengan pekerjaannya, dan Summer mengalihkan rasa kesepiannya dengan belajar.
“Baiklah. Tapi, apa Damian tidak keberatan?” tanya Summer.
“Dia sama sekali tidak keberatan. Dia justru bilang padaku kalau aku bisa mengajakmu.”
“Aku jadi merasa kasihan padanya...” Summer berbisik pada dirinya sendiri, tapi Phoebe mendengarnya.
“Kenapa kau harus kasihan padanya? Dia menyebalkan karena terlalu beruntung. Kita memasukkan 50 kupon dan dia hanya satu.” Sambil mengerutkan kening, Phoebe menarik buku tebal yang sedang Summer baca. “Sudah cukup belajarmu, Sum. Kau tidak akan menjadi bodoh hanya karena melewatkan satu hari tanpa belajar. Cepat ganti bajumu, kita pergi sekarang. Banyak yang harus disiapkan untuk barang bawaan kita. Bagaimana dengan koper baru? Sepertinya koper yang kau inginkan masih terpajang rapi di etalase toko itu.”
Summer tidak percaya dengan pendengarannya. “Kenapa kau jadi baik sekali?” Summer bertanya dengan nada menggoda. “Mungkin ada sesuatu yang baik antara kau dan Damian? Pantas saja tiba-tiba dia mengajakku ikut serta bersama kalian.”
“Jangan bicara yang tidak-tidak, Sum. Tidak ada apapun antara aku dan Damian.”
“Oh, aku jadi semakin kasihan padanya.” Summer mengambil kembali bukunya dari tangan Phoebe. “Aku menunggumu di depan, Kak.”
“Kau tidak ganti baju dulu?” tanya Phobe, mengamati penampilan Summer yang hanya menggunakan kaos rumah kebesaran warna putih dan celana pendek jeans di atas perut yang hampir tidak terlihat karena ditutupi kaosnya. “Kau seperti orang yang tidak memakai celana.”
Summer mengikat ujung kaosnya di atas perut, segaris dengan kancing celananya. “Sekarang, orang sudah tahu kalau aku memakai celana.”
Phoebe memilih untuk tidak protes lagi. Ia segera mengambil dompet dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja makan, lalu menyusul Summer yang sudah menunggu di luar. Adiknya itu masih membawa buku kuliahnya.
Bahkan sepanjang jalan, ia melanjutkan membaca dan baru berhenti saat Phoebe mengancam akan membuang buku itu jika ia tidak segera menjauhkannya dari pandangan Phoebe.
Singkat cerita, mereka berdua telah sampai di sebuah mall. Setelah membeli koper yang dijanjikan olehnya, Phoebe menggandeng Summer dan menggiring gadis itu ke swalayan yang terletak di lantai satu mall untuk membeli bahan-bahan dapur dan perlengkapan sehari-hari lainnya yang sudah habis, sekaligus barang-barang yang mereka butuhkan untuk ke Hawai nanti.
Agaknya setelah dibelikan koper. Summer menjadi mulai antusias dengan kegiatan belanja mereka, dan membuat Phoebe berusaha mengingat apa saja yang dulu diinginkan adiknya agar mood nya semakin membaik.
“Summer, aku melupakan perlengkapan mandi kita. Bisa tolong kau ambilkan? Aku akan menunggu di sini.” Phoebe mulai bergabung dengan antrian kasir yang panjang. Ia sedikit mengomelkan pihak swalayan yang hanya membuka tiga kasir dan membiarkan sembilan kasir lainnya tutup. Masih ada sepuluh antrian lagi sebelum tiba gilirannya membayar. “Kenapa semua orang ingin belanja hari ini?”
Summer memilih tidak menanggapi celotehan Phoebe dan langsung bergerak menuju bagian perlengkapan mandi dan kecantikan yang terletak di sebelah pojok kanan swalayan. Saat sampai di sana dan mulai mengambil apa saja yang ia dan Phoebe butuhkan, seketika gadis itu merasa menyesal karena tidak membawa keranjang belanja. Kedua tangannya hampir tidak bisa menampung barang-barang yang ia ambil. Dengan terpaksa, Summer harus berjalan pelan-pelan untuk menjaga barang-barang itu tetap dalam rengkuhannya hingga ia sampai di tempat tumpukan keranjang belanja.
“Sial!” Summer mengumpat. Botol shampo miliknya jatuh dan ia tidak mungkin mengambil itu dengan posisinya sekarang. Untung saja ada seseorang yang mengambilkan botol itu untuknya. Namun alih-alih mengucapkan terima kasih, Summer nyaris mengeluarkan umpatan lain saat mengetahui kalau orang yang membantunya mengambil botol shampo itu adalah Axel.
Pria itu dengan santainya tersenyum. Senyum jenaka yang sangat dikenal Summer, dan sudah beberapa lama ia tidak melihat senyuman itu.
“Kau—sedang apa di sini?” Summer bertanya dengan nada bicara yang sedikit ketus.
“Tidak senang bertemu denganku?” Axel menjatuhkan pandangannya ke barang-barang belanjaan yang dengan susah payah Summer rengkuh. “Aku melakukan hal yang sama denganmu.” Pria itu lalu memasukkan botol shampo Summer yang terjatuh ke dalam keranjang belanjanya yang masih kosong. Kemudian, ia mengambil satu persatu barang-barang lain dari tangan Summer dan memasukkannya ke keranjang, lalu menyodorkan itu pada Summer. “Sama-sama.”
“Aku bahkan belum mengucapkan terima kasih.”
“Kau tidak terlihat akan mengucapkan kalimat itu padaku.”
“Terima kasih.” Summer ternyata mengucapkannya, seraya berbalik pergi ke arah kasir. Tindakannya yang seperti itu membuat Axel tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak bertanya.
Axel menyusul langkah Summer dengan cepat, lalu membalikkan tubuh gadis itu dengan sedikit keras. “Hentikan semua ini, Sum. Kau yang seperti menjauhiku dan terganggu saat melihatku.” Axel berhenti sejenak. “Listen...mungkin kau salah paham. Tapi gadis yang saat itu bersamaku—“
“Aku tidak peduli, Axel. Itu bukan urusanku.” Summer memotong. “Aku tidak peduli jika dia memang kekasihmu, atau salah satu gadis yang kerap terlibat cinta satu malam denganmu. Seperti yang kukatakan tadi, itu-bukan-urusanku. Sekarang biarkan aku pergi.” Summer menarik lengannya dari genggaman Axel dengan cara menghentaknya.
“Kalau memang tidak peduli, kenapa kau bersikap aneh?” Axel sebenarnya tidak ingin bertanya, tapi mulutnya sudah benar-benar seperti rem mobil yang tidak berfungsi. “Kau menyukaiku, kan?”
“Apa?” Summer mengerjapkan mata kepada Axel, dengan ekspresi tidak percaya. Ia merasa wajahnya merona, dan kehilangan kata-kata di saat yang tidak tepat. Summer mencoba mencari rasa humornya akan sesuatu—apapun yang bisa membuatnya tertawa kali ini.
“Summer?” Damian datang dengan membawa sebuah troli yang hampir penuh. Pria itu bergantian memandangi keduanya dengan tatapan ‘tidak tahu apa-apa’ sementara Axel terlihat kesal karena sepupunya itu datang di saat yang tidak diinginkan. “Kau sendirian?”
Ekspresi wajah Summer yang semula menegang berubah melembut. “Aku bersama Phoebe. Dia sedang antri di kasir. Wanna say hi to her?”
“Ah, sampaikan saja salamku padanya.” Damian melirik ke keranjang belanja Summer. “Sedang mempersiapkan untuk Hawai, eh?”
“Tepat sekali.” Summer merasakan detak jantungnya yang sempat berdebar kencang karena pertanyaan Axel tadi, mulai kembali ke denyutan normal. “Aku duluan kalau begitu. Dia akan panik kalau aku tidak segera kembali.”
Sejak Summer meninggalkan Damian dan Axel, dan keduanya melanjutkan mencari barang-barang sesuai daftar keperluan mereka. Damian tahu ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Axel tentang kata ‘Hawai’ yang ia ucapkan kepada Summer. Tapi, Damian memutuskan untuk tidak mengatakan apapun jika sepupunya itu tidak bertanya sendiri. Lagipula, dia tahu seberapa pendek batas kesabaran pria itu.
“Ada apa dengan Hawai?”
Damian tidak bisa menahan senyumnya saat dugaannya terbukti benar.
“Aku memenangkan paket perjalanan liburan ke Hawai dan mengajak Phoebe juga Summer untuk ikut bersamaku. Itu hadiah untuk sepasang kekasih dan aku tidak memiliki kekasih. Phoebe tidak mau ikut jika adiknya tidak diikutsertakan juga.”
“Memangnya boleh mengajak lebih dari satu orang?”
“Yah...aku membelikannya tiket sendiri dan memesankan kamar baru di hotel yang sama.”
“Kau baik sekali.” Axel terdengar tulus saat memuji Damian. “Kau sudah membeli tiketnya?”
“Baru saja akan kupesan sekarang karena kau mengingatkanku.” Damian mengambil ponselnya dari dalam saku celana.
“Bagus. Pesan satu tiket untukku juga.” Axel mengambil ponsel milik Damian dan mulai mengetikkan jarinya di layar. “Akan kupastikan dia menaiki pesawat yang sama denganku.”