Sebenarnya, Summer sama sekali tidak menyukai perjalanan liburannya kali ini. Dimulai dari kemunculan Axel di bandara dan kenyataan kalau ternyata dia juga ikut berlibur, kemudian mereka berada di pesawat yang sama dan duduk bersebelahan. Belum lagi, permintaan Damian yang ingin memanfaatkan waktu liburan ini untuk mendekati Phoebe.
Membiarkan pria yang membayarinya tiket perjalanan dan ongkos hotel mendekati kakaknya, sama saja memasukkan dirinya ke dalam lubang masalah karena harus berdekatan dengan Axel di saat ia sama sekali tidak ingin. Sebenarnya bisa saja ia menghabiskan waktu seharian di hotel dengan tidur, kalau bukan karena Phoebe memarahinya karena dianggap hanya membuang-buang uang dan kesempatan karena lebih memilih bermalas-malasan di hotel.
“Kau hanya perlu pergi berjalan-jalan sendiri dan menghindari laki-laki itu, Sum.” Begitulah perkataan Phoebe pada Summer, sebelum ia menerima ajakan Damian untuk bermain paralayang, dan menyuruhnya bermain di tempat lain karena menurut Phoebe itu membahayakan Summer. Lagi-lagi, tipikal kakak yang overprotective itu kembali keluar di saat yang tidak tepat.
Melihat kilau emosi yang tak terbaca dari mata Summer, Axel hanya bisa memandangi kedua mata hazel itu dalam diam, sementara otaknya berusaha mencari topik pembicaraan yang mungkin bisa membuat Summer menjadi gadis cerewet seperti yang biasa temui. Memiliki banyak waktu memandangi gadis itu, tidak bisa mencegahnya untuk menyadari kalau Summer tergolong gadis cantik yang berbeda dengan gadis lain. Rata-rata perempuan yang ia kenal adalah mereka yang senantiasa memoles wajahnya dengan riasan, sementara Summer...gadis itu cantik apa adanya. Bahkan hanya dengan memoles sedikit lipstik tipis di bibirnya, ia sudah terlihat begitu stunning, dan kalau saja gadis itu sadar, banyak pria yang sedari tadi memperhatikannya namun tidak bisa mendekatinya karena kehadiran Axel yang terlihat seperti anjing penjaga.
Berbicara tentang bibir. Summer memiliki bentuk bibir yang bagus. Tipis pada bagian atas dan menebal di bagian bawah. Lengkungan bibirnya setiap tersenyum selalu terlihat lebar dan sensual. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya ia menyadari itu, hanya saja ia baru lebih mengamatinya sekarang. Bibir jenis itu adalah bibir yang enak untuk dicium.
Lidah Axel terjulur untuk membasahi bibirnya sendiri dengan perlahan. Ini tidak bagus. Bisa-bisanya di saat seperti ini ia membiarkan fantasinya menjalari isi kepalanya dengan liar.
“Aku bukan anak kecil lagi, Axel.” Summer akhirnya bersuara. “Kau bisa pergi dan mencari kesenangan lain. Aku akan di sini, menikmati minuman dingin dan membaca novel.” Summer menunjuk tiga tumpuk novel fantasi yang ditumpuk rapi dekat dengan gelas minumannya di atas meja.
“dan membiarkanmu digoda gerombolan laki-laki itu? tidak, terima kasih. Aku lebih menyayangi nyawaku yang bisa saja segera dicabut sebelum waktunya karena Kakakmu yang galak itu memarahiku yang tidak becus menjagamu.”
“Oh, jadi karena Kakakku...”
“Kau menginginkan alasan lain?”
Summer menatap Axel dengan ekspresi datar. “Sebenarnya apa yang kau inginkan? Kau seperti berusaha mengorek sesuatu dariku.”
“I am. Tapi, aku cenderung ingin memperbaiki hubungan kita ketimbang memuaskan diriku dengan pertanyaan-pertanyaan yang bercokol di kepalaku.”
Summer menghisap sedotan minumannya perlahan. Pandangannya menerawang jauh ke arah pantai, sembari mengunyah jeli-jeli yang terdapat di dalam minumannya. Cepat atau lambat, perasaan lelah karena menghindari sosok yang sedang mendiami ruang di hati itu akan segera memunculkan wujudnya. Kali ini, Summer semakin merasa seperti kembali ke masa kanak-kanak, padahal ia adalah perempuan yang sedang dalam masa transisi menuju wanita dewasa.
Hanya karena Axel ternyata tidak memiliki perasaan yang sama dengannya, bukan berarti ia jadi memusuhinya, kan? Lagipula cinta selalu datang di saat yang tepat. Mungkin saat ini, pria itu belum jatuh cinta padanya. Tapi siapa yang akan tahu nantinya? Meskipun di hati kecil Summer, gadis itu tidak seberapa berharap lagi saat ini, dan sepertinya, memperbaiki hubungan pertemanannya dengan Axel lambat laun akan memulihkan perasaannya sendiri. Jika dengan cara menjaga jarak tidak mempan, mungkin dengan tetap bersikap biasa dan berteman baik akan menjadi keputusan yang tepat.
“Aku ingin makan es krim. Mau temani aku mencari dimana aku bisa membelinya?” Summer menggeser kursinya ke belakang, lalu berdiri. Kakinya sedikit bergetar setelah berhasil mengucapkan kalimat ajakan itu. Mendadak ia tidak yakin apakah memperbaiki hubungan pertemanan mereka akan menjadi keputusan yang baik atau tidak. Tapi ia tidak bisa menarik ajakannya itu. Tidak, setelah pria itu ikut berdiri dan membawakan buku-buku novelnya, lalu menggandeng tangannya.
“Aku tahu tempat yang enak. Ini bukan pertama kalinya aku ke Hawai,” ujar Axel, memberikan jawaban atas pertanyaan Summer tentang keputusannya yang benar atau tidak.
Sepertinya, kalau ingin membuat keputusan memperbaiki hubungan pertemanan mereka menjadi benar..yang pertama harus Summer lakukan adalah mengendalikan jantungnya agar terus berdetak normal ketika Axel memperlakukannya seperti seseorang yang lebih dari sekedar teman.
***
“Ya, kami akan segera pulang.” Axel memutuskan sambungan teleponnya, lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celana pantainya.
“Mereka sudah di hotel?” tanya Summer. Sesekali ia mencuri pandang ke arah kulit telanjang Axel yang mengikuti lekukan otot-otot perut dan dadanya, yang jelas terlihat karena pria itu tidak mengancingkan kemejanya. Kain emeja itu bergerak bebas seiring dengan hembusan angin pantai yang kencang.
“Mereka sudah di hotel sejak sejam yang lalu. Damian baru saja akan menjemput Phoebe di kamar kalian. Kau mau kembali sekarang?”
“Tapi sebentar lagi sunset.” Summer terdengar tidak rela. “Biarkan saja mereka berdua. Lagipula itu keinginan Damian. Kau tahu, kan, kalau sepupumu itu menyukai Kakakku?” Summer masih mengingat saat Damian tiba-tiba muncul di swalayan saat Axel sedang menanyakan pertanyaan sialan itu. Setelah pertemuan yang tidak diduga itu, sepulang dari swalayan, Phoebe akhirnya memberitahukan Summer kalau Damian dan Axel adalah saudara sepupu. Dunia memang sempit.
“Kau tidak masalah kalau mereka benar-benar jadian?”
“Memangnya kenapa? Menurutku, Damian orang yang baik. Aku bilang begini bukan karena dia membayariku ikut perjalanan liburan—tapi karena dia memang orang yang baik. Di jaman sekarang, laki-laki sepertinya itu sudah sangat jarang ditemui.”
“Kalau begitu kenapa bukan kau saja yang berpacaran dengannya?”
“Kau bercanda?” Summer tertawa. “Aku bukan seseorang yang senang menikung. Lagipula, dia bukan tipeku.”
Axel merasa tertarik dengan pembicaraan ini. “Memangnya kau suka yang seperti apa?”
Bibir Summer berkedut aneh mendengar pertanyaan Axel. Ia sama sekali tidak berminat menjawa pertanyaan itu, karena apapun yang keluar dari mulutnya, hanya akan mengarahkan pria itu untuk menebak dirinya sendiri. Tentu saja, Summer tidak ingin itu terjadi. Apalagi di saat ia sedang berusaha mengembalikan hubungan pertemanan mereka. Pertemanan...mungkin ia memang harus puas dengan batas hubungan mereka.
“Tidak ada yang khusus. Asal dia laki-laki dan menyukai perempuan itu sudah cukup.”
Axel tertawa mendengar jawaban Summer. “Jawaban bodoh, tapi tidak bisa disalahkan,” katanya.
“Bagaimana denganmu?” tanya Summer. Dadanya berdebar saat ia membiarkan pertanyaan itu lolos dari mulutnya.
“Aku?” Axel terdiam beberapa saat, kemudian melengkungkan senyumnya. “Asal dia perempuan dan menyukai laki-laki itu sudah cukup.”
Summer meraup pasir di dekat kakinya, kemudian melemparkannya kepada Axel.
“Hei! Hampir saja itu mengenai mataku.”
“Kau sangat tidak kreatif, kau tahu?” Summer memeluk kedua lututnya. Ia mengalihkan matanya ke arah matahari yang mulai terbenam. Warna matanya berubah keemasan ditimpa cahaya matahari yang perlahan meredup. Sementara ia terdiam menikmati proses berjalannya alam, Axel mengamati perubahan warna mata keemasan yang terlihat syahdu itu. Mengetahui kalau ada bagian lain yang pantas dikagumi dari gadis yang sedang duduk di pasir bersama-sama dengannya itu.
“Cantik...”
“Apa?”
“Maksudku, aku menyukai yang cantik. Tentu saja bukan sekedar cantik, tapi juga pintar, dan menyenangkan.”
“Kedengarannya sangat sempurna.” Summer menunduk mengamati jari-jari kakinya yang kotor terkena pasir basah. “Tapi kalau kau laki-lakinya, aku tidak akan ragu.”
“Kau benar. Bukan hal yang sulit untuk menemukan perempuan yang seperti itu.” Axel merentangkan kedua tangannya ke atas, lalu mulai merebahkan punggungnya ke pasir. Membiarkan kedua kakinya ikut lurus membujur, menyentuh sentuhan obak yang mulai naik mengenai belakang lututnya. “Masalahnya, tidak ada satupun dari mereka yang berhasil membuatku nyaman.” Axel menolehkan wajahnya ke arah Summer, mendapati gadis itu juga tengah melihat ke arahnya.
Menjatuhkan pandangannya ke kedua mata Summer yang keemasan, Axel menelan ludahnya. Bukan hanya warna mata gadis itu, tapi wajah Summer yang tertimpa sinar matahari terakhir sebelum terbenam, tampak begitu menawan. Bahkan bulu matanya berubah menjadi keemasan. Sayangnya, itu hanya berlangsung selama beberapa detik, dan semuanya berubah menjadi biru gelap.
“Kau tidak melihat mataharinya.” Axel berbicara.
“Ya, dia sudah terbenam. Kau juga tidak melihatnya, kan?”
“Maksudku, prosesnya. Kau tidak melihatnya sama seperti aku. Aku juga tidak melihatnya—proses terbenamnya—ada yang lebih menyita perhatianku.”
Axel menarik Summer hingga gadis itu terjatuh menimpa tubuhnya. Sebelum Summer bisa menarik keputusan harus melakukan apa, pria itu sudah menciumnya. Tangannya bergerak membelai punggung telanjang Summer yang tidak tertutupi kain gaun pantainya yang memang backless. Summer bisa merasakan tubuhnya memanas di dalam rengkuhan Axel. Suhu panas itu yang kemudian mengendalikan Summer, merasuki pikiran gadis itu agar memberi jalan bagi Axel membelai lidahnya...dan gadis itu pun membuka mulutnya.
Ciuman itu berakhir saat Axel merasakan sesuatu dari dirinya mulai mengeras. Khawatir tonjolan itu menyentuh tubuh Summer, ia mulai menjauhkan diri dari bibir gadis itu dan mendorongnya perlahan seiring ia mengangkat tubuhnya sendiri dari pasir.
Sungguh. Ini adalah pertama kalinya ia merasa menyesal telah mencium perempuan. Biasanya ia tidak akan memusingkan siapa yang ia cium. Tapi kali ini? Summer...dan faktor lain seperti pertanyaan dirinya yang belum terjawab, juga pemikiran tentang perubahan sikap gadis itu...ciuman tidak terduga tadi hanya akan membuatnya semakin rumit.
“It was great, really...sekarang aku tahu kenapa kau sangat terkenal di kalangan perempuan.” Summer memalingkan wajahnya saat mengatakan itu. Di detik berikutnya, ia mengembalikan pandangannya pada Axel. “Aku lapar. Ayo pulang.”
Summer mengulurkan tangannya, dan Axel menerimanya. Pria itu berdiri, kemudian mengikuti langkah gadis di hadapannya dari belakang. Penyesalan akan ciuman barusan telah berganti menjadi rasa penasaran yang menambah daftar pertanyaannya tentang Summer.
Kalau memang gadis itu menyukainya, kenapa ia bersikap biasa saja?