Summer: Chapter 20

1615 Words
              “Kau benar.” Kata Phoebe, meluluh lantakkan harapan Axel yang hampir saja mekar. “Jujur saja, Kennedy. Kisah cinta antara kau dan Summer benar-benar menyusahkan. Aku lebih suka menyebut kerumitan ini sebagai sebuah halangan agar kalian tidak bersatu, bukan justru untuk menguatkan hati kalian agar bersatu. Jangan merasa dirimu terlalu penting untuk diperjuangkan, dan Summer tidak seistimewa yang kau pikirkan. Ku akui jawabanmu bagus, aku sangat terkesima dan nyaris saja goyah.”             “Sebaiknya begitu,” kata Axel. “Sebaiknya kau goyah dan membiarkanku menemui Summer.”             “Untuk saat ini, aku memilih mengeraskan kepalaku seperti batu.”             “Kepalamu memang sudah keras—melebihi batu malah.” Axel menimpali tanpa ragu. “Dengar, melihat reaksimu sekarang, aku sudah tidak peduli apakah kau akan memberikan ijinmu atau tidak, bahkan menolongku untuk mengubah pikiran adikmu itu. Aku tetap akan melakukan apa yang kuyakini dan tidak akan ada seorangpun yang bisa menghalangiku.”             Usai mengatakan itu, Axel berdiri. Mengabaikan kopinya yang belum diminum sama sekali, juga tatapan Phoebe dan Dexter padanya, ia pergi begitu saja tanpa mengatakan salam perpisahan.             Axel merasa kesal setengah mati. Ia merasa hidupnya sekarang tidak lebih dari sebuah boneka yang dikendalikan banyak orang. Padahal ia memiliki kuasa penuh atas hidupnya. Ia bebas melakukan apapun yang ia mau, termasuk jika ia ingin bertemu sekarang, maka ia akan melakukannya sekarang juga.             “Berhenti, Axel.”             Perlahan, Axel memutar badannya menghadap belakang. Phoebe berdiri di sana, terlihat sedang mengatur napas. Sepertinya ia bergerak cukup tergesa-gesa untuk mengejar Axel yang sudah lumayan jauh berjalan meninggalkan cafe.             “Ini adalah terakhir kalinya aku berbicara baik-baik denganmu. Jangan dekati Summer, jangan berurusan dengannya lagi. Dia sudah cukup menderita menangisimu setiap malam, dan merasakan perasaan yang tidak perlu tentang karma. Aku tidak ingin membuatnya merasa lebih rendah dari itu, jadi kalau kau benar mencintainya, lakukan sesuatu yang terbaik untuknya.”             “Justru karena aku mencintainya, hal terbaik yang harus kulakukan bukan hanya tentang dia saja, tapi tentang kami. Satu hal yang harus kau ingat, ketika kau jatuh cinta, maka perjuangkanlah perasaanmu seperti kau sedang membela negaramu habis-habisan di medan perang. Menyerah sama saja dengan menunjukkan kerendahanmu dalam mencintai seseorang. Dalam kamusku, aku tidak mengenal penolakan.”             Axel membungkukkan tubuhnya sesaat, seperti melakukan penghormatan. “Mungkin ini akan sedikit sulit dicerna untuk orang sepertimu. Baru kali ini aku melihat seorang wanita yang cenderung berpikir menggunakan logika-tergantung dengan keadaan yang dilihat. Ada baiknya, sesekali kau bisa menilai perasaan adikmu sebagai seorang wanita terhadap wanita lain, bukan sebagai seorang kakak terhadap adiknya.” ***             Summer tidak berani mengajak Phoebe berbicara sejak kakaknya itu pulang dan menunjukkan suasana hati yang tidak stabil satu jam lalu. Sepanjang ia mengenal Phoebe, Summer memilih untuk diam sampai wanita itu sendiri yang memulai pembicaraan, karena Summer lebih menyukai permainan yang aman dan membuat umurnya lebih panjang, ketimbang terlalu berani memilih permainan yang mematikan dan membuatnya berumur pendek. Tentu saja bukan dalam artian umur yang sebenarnya, melainkan keutuhan uang sakunya selama sebulan.             “Jadi...hari ini aku bertemu dengan pemuda itu. Dexter yang membawanya.”             Summer bergeming. Dexter mempertemukan Axel dengan Phoebe? Apa yang ada dipikiran sahabatnya itu? Apa dia merencanakan sesuatu? Meskipun Dexter sahabatnya, bukan berarti dia lantas bisa seenaknya menyampuri urusan Summer.             Phoebe meletakkan buku yang sedang ia baca di atas meja sofa di depannya. Melepas kacamatanya, lalu menaikkannya ke atas kepala. “Aku yang memaksa Dexter melakukan itu sebenarnya. Jadi, jangan coba-coba menyalahkan apapun, Sum. Aku hanya ingin mengetahui apa yang Axel pikirkan tentangmu, bagaimana pria itu memandangmu—aku butuh pertimbangan untuk menyesuaikan langkah apa yang akan ku ambil.”             “Sejak kapan kau jadi memutuskan apa yang akan kulakukan, Kak?”             Phoebe melengos. “Sekarang kau berbicara seperti pria itu,” seloroh Phoebe. “Aku sama sekali tidak bermaksud mengendalikanmu. Aku hanya berusaha menghindarkanmu dari rasa sakit yang membuatmu menangis berhari-hari. Ada yang salah dengan itu?”             Teringat hal itu, jantung Summer seperti mengecil di dalam dadanya. “Aku tahu. Tapi, ku rasa kau sedikit kelewat batas sekarang, Kak. Aku bukan anak kemarin sore yang harus terus menerus kau beritahu mana yang benar dan salah. Biarkan aku memilih sesuatu untuk diriku sendiri, kalaupun keputusan yang kuambil bertentangan denganmu dan aku salah—biarkan aku memetik pelajarannya, dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Jangan menjagaku terlalu keras hanya untuk mencegahku terjatuh. Akan ada saat ketika semua orang mengalami fase bangkit dan jatuh berulang-ulang dalam hidup.”             Summer memilih meninggalkan percakapan antara dirinya dan Phoebe, naik kembali ke kamarnya. Tiga buku cerita baru, menunggunya di atas—menurutnya, itu cukup untuk melupakan semua permasalahannya sejenak. Membaca selalu berhasil menenangkan dirinya yang gelisah.             Memasuki kamarnya yang aroma parfum ruangannya baru saja diganti, Summer langsung memilih kasur untuk jadi tempat pertama yang menyambutnya.             Melemparkan diri sendiri, merasakan kasur yang bergelombang, Summer memejamkan mata. Rasa bosan mulai menyergapinya saat waktu baru saja mencapai di detik ke sepuluh.             Summer meraih ponselnya dari atas nakas di samping tempat tidur. Jemarinya lincah bergerak di atas layar, membuka satu persatu menu secara acak, lalu berhenti di aplikasi musik.             Memilih memutar lagu menggunakan random mode, Summer memejamkan mata. Nada lembut piano berpadu suara merdu seorang wanita mengalun memenuhi kamarnya.             Meskipun berusaha mengabaikan setiap liriknya yang terasa begitu pas dengan apa yang ia alami, Summer tidak bisa berpura-pura tuli...             I told you my heart’s leaning towards you, a little more             Then i knew something was scaring you.             Is it too much or too fast or too forward?             Should I step back and pretend I don’t feel this way?             I don’t wanna tell a lie, I don’t wanna have to hide.             Summer menggigit bibir bawahnya. Lagu ini terlalu sentimental untuknya.             It’s on the line I’ve waited for a sign.             I see it in your eyes, I, I know you really feel the same             I need to know if I should raise or fold, my heart is stuck on hold.             I, I wanna know which way to go. I can’t love alone, I can’t love alone             I tried not to fall so far for you, now I can’t get away from anything you say.             Summer mencintainya. Ia tidak bisa menyangkal itu, dan ia menginginkan Axel memiliki perasaan yang sama dengan apa yang ia rasakan. Semua orang berhak mendapatkan akhir cerita yang bahagia di setiap cerita mereka. Itu adalah salah satu alasan, Summer tidak pernah mau membaca cerita yang memiliki akhir menyedihkan.             Summer ingin kisahnya akan berakhir bahagia seperti semua romansa yang ia baca. ***             “Dia memang begitu.” Damian menuangkan air dingin ke dalam gelas Axel. “Butuh waktu yang lama untuk membujuknya, dan kalau kau bersikeras menunggu—bisa saja seseorang akan merebut Summer nantinya. Kau sudah mengambil keputusan yang tepat, Sepupu.”             “Mendengarmu mengatakan ‘sepupu’ membuatku muak.” Axel menekuk bibir bawahnya ke bawah. “Jadi, kau berada di pihakku, kan?”             “Hmm...aku tidak bisa memilih, Axel—jujur saja.” Damian meletakkan gelasnya di atas meja bar, lalu duduk berdampingan dengan Axel di kursi bar. “Tapi aku tidak ada hak khusus untuk melarangmu melakukan apa yang kau inginkan, terutama jika itu adalah hal yang benar menurutmu. Aku yakin kau sudah memperhitungkan segalanya, jadi kupikir...seharusnya kau tidak ragu.”             Axel menganggukan kepalanya, seraya tersenyum. “Kalau begitu aku tidak akan berlama-lama lagi.” ***             “Apa yang kau lakukan?”             Summer menghentikan gerakannya mendorong pintu. Pertanyaan Phoebe padanya, menggema menjadi sebuah peringatan ‘mengambil satu langkah saja maka kau akan mati’.            “Kau tidak sedang berpikir untuk menyelinap keluar diam-diam, kan, Sum?” Phoebe berkacak pinggang. “Kembali ke kamarmu. Ini waktunya kau tidur.”             “Ini masih jam 09.00 malam, Kak.” Summer melengos kecewa. “Aku hanya ingin keluar membeli makanan kecil.”             “Dengan pakaian seglamor itu?” Phoebe kini menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Riasanmu juga lebih tebal dari biasanya.”             Merasa tidak tahan lagi, Summer memandangi Phoebe, sengit. “Memangnya ada yang salah dengan itu? Aku rasa ini tidak setebal yang kau katakan, aku hanya memakai lipstik dan maskara. Kau sepertinya memiliki masalah denganku. Katakan saja, Kak.”             “Kau tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan barusan, Summer. Aku tidak memiliki masalah apapun denganmu.”             “Kau yang tidak mengerti, Kak. Bisakah berpikir lebih rasional dan tidak kolot? Aku akan pergi, teman-temanku sudah menunggu.”             “Jangan membohongiku, Summer. Aku tahu betul siapa yang ingin kau temui.”             Mengangkat kedua bahunya tak acuh, Summer berkata. “Baguslah kalau kau tahu, Kak. Kali ini kau tidak berhasil menghalangiku.”                      “Kau sungguh-sungguh, Summer?” Phoebe menarik napas dalam, lalu mengacak rambutnya frustrasi. “Kalau kau menemuinya sekarang, tidak lantas akan membuat keadaan membaik, Sum. Tunggulah beberapa hari sampai kau bisa mengendalikan situasi yang terjadi di sekelilingmu, juga perasaanmu.”             “Apa dirimu termasuk ke dalam ‘situasi yang yang terjadi di sekelilingku’?” Summer bertanya, gamblang. “Aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan, Kak. Aku tidak bisa menebak apakah kau mendukungku, atau mendukung pendapatmu sendiri tentang aku”           “Aku tidak ingin menjawabnya. Aku tidak mau terlihat lebih menyebalkan lagi di hadapanmu, Summer.” Phoebe menarik Summer menjauh dari pintu, melepaskan jaketnya, lalu menggiring gadis itu menuju kamarnya sendiri.             Saat mereka berdua sampai di kamar Summer. Phoebe mendudukkan gadis itu pelan ke atas kasur, melepaskan kedua sepatu sendalnya. “Tidak ada yang pernah mengecewakan dari melatih kesabaranmu.” Phoebe mencium kedua pipi Summer. “Jangan coba-coba kabur lagi, atau aku benar-benar akan menjadikan kamarmu ini penjara untuk dirimu sendiri. Ingatlah, Summer, tidak ada satu orangpun manusia di dunia ini yang berniat mencelakakan keluarganya. Kalaupun ada, anggap saja mereka sedang melakukan kesalahan, dan aku tidak berminat melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak lebih berharga dari dirimu.”                                                                                                       
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD