Emma bergegas turun dari taksi, lalu masuk ke dalam mobil SUV mewah yang berhenti tepat di depan taksi yang ditumpanginya.
"Maaf ya, Em, ngerepotin kamu," ucap Armand tersenyum, menyambutnya di balik kemudi.
"Enggak apa-apa, aku malah senang bisa bantuin," jawab Emma tulus. "Memangnya kita mau ke mana, sih?" tanyanya, penasaran. Semalam Armand hanya memintanya bertemu tanpa menjelaskan tujannya.
"Kejutan, lihat aja nanti!" jawab Armand, tersenyum penuh rahasia.
Tak lama kemudian, mobil memasuki sebuah showroom mobil mewah. Deretan mobil-mobil mahal memenuhi pandangan Emma. Keningnya berkerut, bingung. "Kamu... mau ganti mobil lagi?" tanyanya, suaranya dipenuhi keterkejutan.
Armand menggeleng. "Aku mau belikan mobil baru buat Marissa, hadiah ulang tahunnya." Senyum Armand mengembang, matanya berbinar. "Dan aku minta kamu pilihkan yang kira-kira Marissa akan suka."
Seketika, mata Emma membelalak. Pemandangan mobil-mobil mewah itu tiba-tiba terasa meyakitkan. Baginya itu bukan sekedar hadiah, melainkan cerminan kehidupan sempurna yang dimiliki Marissa, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan bersama Fandi.
Emma berdiri terpaku di tengah deretan mobil-mobil yang menawan, namun kilaunya terasa tajam menusuk hati. Rasa iri yang sempat ia kubur dalam-dalam kini muncul kembali, lebih kuat dari sebelumnya.
"Aku sebenarnya sudah memilih beberapa model yang kira-kira cocok buat Marissa, tapi supaya lebih yakin, aku minta tolong kamu pilihkan yang paling cocok buatnya. Kamu kan, paling tahu gaya dan warna yang dia suka," ucap Armand. Kebahagiaan terpancar di senyumnya.
Senyum yang membuat Emma semakin terperangkap dalam konflik batin. Ia juga ingin sekali merasa bahagia untuk Marissa, sahabatnya. Namun, ia tak bisa menahan rasa perih yang muncul ketika membandingkan perlakuan Armand, dengan perlakuan Fandi padanya. Mobil itu bukan sekadar hadiah ulang tahun, melainkan sebuah bentuk ketulusan cinta dan kasih sayang yang begitu besar, yang tak pernah ia rasakan bersama Fandi.
Armand lalu menunjuk sedan cabriolet mewah buatan Eropa berwarna champagne, dengan kap yang terbuka, memperlihatkan interior kulit berwarna krem yang elegan. "Kalau yang ini gimana, Em? Marissa kan suka banget sama mobil yang modelnya klasik tapi tetap modern. Kira-kira dia suka enggak?"
Emma menatap takjub mobil itu. Tangannya menyentuh gagang pintu mobil, lalu masuk ke dalamnya, duduk di kursi pengemudi. Ia memjamkan mata, merasakan kemewahan yang begitu nyata. Dihirupnya aroma kulit baru yang mahal. Tangannya menyentuh setir, membayangkan dirinya di posisi Marissa, mendapatkan kejutan semewah itu dari Fandi. Ia membayangkan Fandi tersenyum, menyerahkan kunci mobil, dan mengatakan betapa ia mencintainya.
Namun, bayangan itu segera sirna oleh ketukan pelan di kaca mobil. Ia membuka mata— Armand tersenyum bingung memandanginya. Senyum yang membawanya kembali pada kenyataan.
Setelah urusan mobil selesai, Armand lalu mengajak Emma ke sebuah mal. Mereka masuk ke sebuah toko perhiasan berlian yang mewah. Kilauan dari etalase kaca yang dipenuhi cincin, kalung, dan gelang berlian begitu memesona mata Emma.
"Aku mau membelikan Marissa cincin, hadiah untuk ulang tahun pernikahan kami." Mata Armand berbinar bak kilau berlian saat mengatakannya, membuat perasaan iri dalam diri Emma semakin memuncak, menghantamnya lebih keras. Fandi bahkan tak pernah memberinya berlian, tapi kini ia harus memilihkannya untuk Marissa. Itu seperti siksaan batin yang kejam. Sebuah ironi yang sangat pahit.
Emma memaksa bibirnya tersenyum, menunjukkan bahwa ia ikut merasakan kebahagiaan yang sama. Ia lalu memilih sebuah cincin berlian klasik.
Emma mengamati cincin itu dengan seksama, merabanya perlahan, seolah takut membuatnya tergores. Berlian pada cincin itu tidak terlalu besar, namun pancaran kilaunya sangat memesona. Dengan sedikit ragu, Emma memasangkan cincin itu di jari manisnya sendiri. Mata Emma berbinar, menatap kilauan yang memantul dari cincin itu. Sejenak, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam fantasi, membayangkan Fandi membelikan cincin itu sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka.
"Kamu pilih yang itu?" suara Armand menyadarkannya.
Emma mengangguk cepat. "Aku sih, suka yang ini..." Sahutnya. Namun, matanya terbelalak saat melihat label harga pada cincin itu: empat ratus sembilan puluh juta. Angka itu berputar-putar di kepalanya. Tangannya seketika gemetar. Ia buru-buru melepaskan cincin itu, dan memberikannya pada Armand.
"Saya mau yang ini, Mel," ucap Armand, mengulurkan cincin pada staf wanita bernama Amelia yang sepertinya sudah akrab. Ia yakin Armand membelikan gelang berlian itu di toko ini juga.
"Pilihan istri Pak Armand bagus sekali?" Ujar Amelia, tersenyum ramah pada Emma, membuat pipi Emma sedikit tersipu.
"Oh, ini Emma, sahabat istri saya. Saya mau memberi kejutan buat istri saya. Jadi saya sengaja minta Emma buat memilihkan yang cocok. Karena dia yang paling tahu selera istri saya," jawab Armand, panjang lebar.
"Oh, maaf," ucap Amelia, membungkukkan sedikit bahunya sambil tersenyum canggung.
Setelah membayar cincin yang membuat Emma sesak nafas, Armand lalu mengajak Emma keluar dari mal, menuju tujuan selanjutnya.
"Terima kasih banyak, ya, Em. Aku jadi ngerepotin kamu banget, nyita waktumu sama Fandi," ucap Armand saat mereka sudah kembali berada dalam mobil yang melaju.
"Ah, enggak usah dipikiran. Kan, enggak sering ngerepotinnya," sahut Emma, sedikit berseloroh.
"Tapi aku juga mau minta tolong kamu buat menyimpan cincin ini sampai hari H," ucap Armand, mengulurkan paper bag berisi kotak cincin itu pada Emma.
Permintaan Armand yang tak terduga itu membuat Emma tersentak kaget. Dengan segan ia menepis tangan Armand. "Kenapa aku yang simpan?" tanyanya.
"Kalau aku yang simpan pasti ketahuan sama Marissa. Dia selalu tahu kalau aku menyimpan sesuatu. Nanti kejutannya enggak jadi..." Armand menatap penuh harap.
"Tapi..." Emma menatap paper bag itu dengan takut. Beban tanggung jawab itu terasa begitu berat.
"Enggak usah takut, aku percaya sama kamu," ucap Armand, membaca kekhawatiran yang terpancar di mata Emma.
Emma menatap Armand dengan ragu. Ia khawatir, ia tidak pernah menyimpan barang semahal itu dalam rumahnya. Namun, rasa tanggung jawab sebagai sahabat, dan kepercayaan yang diberikan Armand, membuat ia akhirnya mengangguk.
"Thanks," ucap Armand, tersenyum tulus. Ia lalu melajukan mobilnya dengan cepat menuju tujuan mereka selanjutnya, Rosetta Hotel.
Armand dan Emma menghabiskan beberapa jam untuk meeting dengan tim Rosetta Hotel, membahas detail pesta yang semakin terasa ironis bagi Emma.
Setelah meeting yang cukup lama hingga lewat tengah hari, Armand lalu mengajak Emma makan siang di hotel itu, sambil mengobrol santai, membahas hal-hal ringan yang membuat Emma sejenak melupakan Fandi.
Menjelang sore, mereka berpisah, pulang dengan cara yang sama saat mereka bertemu tadi pagi. Namun, sebuah perasaan aneh menyeruak di hati Emma. Rasa yang bercampur aduk jadi satu, yang membuatnya begitu nyaman— Sebuah kehangatan, ketenangan dan rasa dihargai yang ia dapatkan saat bersama Armand, yang tak pernah dirasakannya lagi saat bersama Fandi—yang kini terasa semakin jauh.