Tetanggaku, Sahabatku
Langit Jakarta selalu punya caranya sendiri dalam menyambut pagi. Sebelum matahari benar-benar menyalakan sinarnya, udara sudah membawa aroma khas: campuran embun yang masih tertinggal di pucuk-pucuk daun, kicau burung yang bersahut-sahutan dari ranting pohon, dan samar-samar deru kendaraan yang mulai memenuhi jalanan.
Di sebuah sudut kompleks perumahan yang tenang, Marissa berdiri di dapurnya, sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya. Aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan harum roti panggang yang renyah, memenuhi ruang makan yang penuh kehangatan.
Di meja makan, tawa kecil putrinya, Savannah, sesekali terdengar menyelingi percakapan ringan dengan sang papa, Armand. Gadis kecil itu bercerita tentang lomba mewarnai di sekolah, sementara Armand menimpali dengan gurauan ringan. Marissa menambahkan dengan senyuman dan tawa lembut. Bagi siapa pun yang melihat, pemandangan itu adalah pagi yang sempurna—sebuah keluarga kecil yang harmonis, dimulai dengan keceriaan, obrolan, dan rasa syukur sederhana.
Begitu Savannah berangkat ke sekolah dengan seragam rapi dan senyum cerah, serta Armand melangkah ke luar rumah menuju kantornya, suasana berubah hening. Hanya tersisa piring kotor dan gelas kopi yang setengah kosong di meja makan.
Bagi sebagian orang, hening bisa berarti sepi. Tapi bagi Marissa, inilah jeda yang dinantikannya—saat dunia berhenti sejenak dan ia bisa kembali menjadi dirinya sendiri.
Suara derit pagar dari arah belakang memecah keheningan itu. Langkah kaki ringan mendekat. Senyum Marissa mengembang tanpa perlu menoleh. Ia tahu persis siapa yang datang.
“Pagi, Ris!” sapa Emma ceria. Ia muncul di ambang pintu dapur, membawa sepiring donat bertabur gula salju. “Kopinya udah siap, kan?”
“Udah, dong!” jawab Marissa sambil menuang kopi panas ke dua cangkir, lalu membawanya ke taman belakang—tempat favorit mereka berdua.
Begitulah keseharian mereka. Hampir tiap pagi, setelah rumah masing-masing kembali sepi, keduanya berkumpul sekadar menikmati secangkir kopi, berbagi cerita, resep masakan, atau menertawakan hal-hal remeh.
Rumah mereka hanya terpisah sepetak jalan kompleks. Kebetulan pula, Fandi—suami Emma—sering kali ditugaskan keluar kota karena pekerjaannya sebagai produser televisi. Kesepian yang kerap menyergap Emma membuat rumah Marissa menjadi pelabuhan favoritnya.
Seperti biasa, pagi itu mereka duduk di taman belakang, memandangi bunga mawar yang dirawat Marissa dengan telaten. Cahaya matahari mulai hangat, jatuh di punggung mereka, sementara embun di ujung daun masih berkilau. Emma menatap lekat ke arah pot mawar yang masih kuncup, lalu matanya beralih ke pot di sebelahnya—tempat sekuntum mawar merah merekah indah.
“Bunga kamu udah mekar. Bungaku kok belum, ya?” tanyanya heran.
Marissa mengangkat wajah dari cangkir kopi. “Oh iya, padahal ditanamnya barengan, kan? Apa mungkin kurang cahaya matahari?”
Emma mendongak sebentar, lalu menggeleng. “Kayaknya bukan…” gumamnya pelan. Ia menarik napas panjang, pandangannya menerawang. “Kadang aku mikir, hidupmu tuh kayaknya penuh berkah. Bahkan bunga pun seolah nurut sama kamu, mekar seindah ini. Hidupmu sempurna, Ris…”
Nada suaranya datar, tapi ada semburat getir di baliknya.
Marissa tersenyum tipis. “Sempurna apanya, Em? Sama aja, kok. Ada naik-turunnya juga.”
Emma menggeleng kecil. “Kamu punya Armand, suami penyayang, perhatian, mapan. Terus ada Savannah—anak cantik, pintar. Sedangkan aku…” suaranya merendah, matanya redup, “aku sering kosong. Mas Fandi lebih sering di luar kota daripada di rumah. Kalau pun di rumah, pikirannya tetap di pekerjaannya.”
Desir kesepian terdengar jelas di setiap kata yang diucapkan Emma. Marissa menepuk lembut tangan sahabatnya. “Setiap rumah tangga punya ujiannya masing-masing, Em. Enggak perlu dibandingkan.”
Emma tersenyum tipis, namun dalam hatinya rasa iri itu sulit ia bendung.
Hari itu berjalan seperti biasa. Namun ketika malam turun, kesunyian kembali menyelimuti rumah Emma. Setelah panggilan video singkat dengan Fandi yang terasa hambar, ia duduk menatap televisi, tapi film yang diputar tak mampu mengisi kekosongan hatinya.
Ia melirik jam dinding, lalu berdiri, berjalan ke ruang tamu. Seperti rutinitas yang tak pernah luput, ia berdiri di balik tirai dan menatap rumah di seberang. Dari balik kaca, terlihat Marissa, Armand, dan Savannah duduk di ruang keluarga—tertawa bersama, saling menggoda, penuh kehangatan.
Senyum mereka begitu nyata, begitu hidup, hingga d**a Emma terasa sesak. Tangannya refleks mengusap perutnya yang kosong. Sembilan tahun pernikahan tanpa seorang anak pun. Bukan hanya karena tubuhnya belum diberi karunia, tapi karena suaminya terlalu jarang ada di rumah.
Ia menutup tirai pelan, lalu kembali duduk di sofa. Hatinya perih setiap kali menyaksikan adegan itu—adegan yang berulang setiap malam, seperti film yang tak pernah berganti. Menyakitkan, tapi entah kenapa, ia selalu ingin melihatnya lagi.
---
Pagi berikutnya, Emma muncul lagi di rumah Marissa dengan sekantung pupuk impor khusus mawar. “Amunisi baru buat si mawar loyoku,” katanya mencoba ceria.
Marissa tersenyum, meski ia menangkap gurat lelah di balik tawa itu.
Mereka pun menuju taman. Matahari memantul di antara dedaunan, bayangan ranting menari di tanah. Emma menunduk, sibuk menabur pupuk di pangkal batang. “Mawar ini bener-bener butuh perhatian ekstra ya. Sama kayak anak-anak,” gumamnya.
Marissa menatapnya lembut. “Betul. Tapi kalau telaten, hasilnya sepadan.” Ia berhenti sejenak, lalu bertanya hati-hati, “Ngomong-ngomong, kamu jadi ikut program kehamilan?”
Pertanyaan itu menghantam hati Emma. Tangannya terhenti. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab, “Fandi masih sibuk dinas luar, Ris. Waktunya susah disamain. Kayaknya belum bisa dalam waktu dekat.”
Marissa mengangguk pelan. “Mungkin bisa konsultasi dulu, siapa tahu membantu.”
Senyum tipis muncul di bibir Emma, tapi matanya redup. Topik tentang anak selalu terasa seperti luka yang dibuka kembali. Ia cepat-cepat mengalihkan pembicaraan.
“Eh, bulan depan jadi, kan, kita staycation ke Bandung? Sekalian ngajak Sava?”
Marissa menunduk, merasa bersalah. “Aduh, kayaknya harus ditunda. Armand udah janji sama Sava mau ke Taman Safari.”
“Oh… nggak apa-apa,” jawab Emma. Ia berusaha tersenyum, meski kecewa jelas terpancar di matanya.
“Kamu ikut aja sama kita, Em. Sava pasti seneng banget ada Tante Emma.”
Namun kali ini, Emma menggeleng. Suaranya terdengar datar. “Enggak, Ris. Makasih. Aku kayaknya ada acara lain.”
Marissa mengernyit, bingung. Biasanya Emma selalu antusias dengan ajakan seperti ini. Tapi kali ini berbeda. Ia bisa merasakan ada jarak tipis, hampir tak kasatmata, tapi nyata.
“Oh… ya sudah kalau begitu,” sahut Marissa lirih. Ia mencoba menutupi kecanggungan dengan senyum. “Kalau gitu, ke Bandungnya minggu kedua aja, gimana?”
Emma hanya mengangguk, tanpa benar-benar menatap.
Di balik senyum paksa itu, hati Emma dipenuhi gelombang yang sulit diredam. Ia tahu perasaan iri ini salah. Ia tahu Marissa tulus. Tapi ada sisi dalam dirinya yang menolak terus menjadi penonton kebahagiaan orang lain. Ia tak ingin lagi sekadar pelengkap dalam cerita sempurna keluarga Marissa.
Dan tanpa disadari, di tengah taman mawar yang seharusnya melambangkan keindahan, sebuah jurang kecil mulai tercipta.
Angin berhenti bertiup. Embun terakhir di ujung daun jatuh, pecah tanpa suara.