3

1152 Words
“Kau tidak ingin pergi ke mana pun?” “Tidak,” jawabku. Malam ini koki menghidangkan ayam panggang saus rempah dan kentang tumbuk. Armel sering menghabiskan waktu di rumah dan mendengar ceritaku mengenai surat-surat yang tiba-tiba datang secara beruntun. Satu surat terbalas, surat lain berdatangan. Oho, mungkinkah jaring pengaman status hidup pengangguran-kaya-rayaku telah terpasang?  “Ayah, tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja.” Armel meraih gelas berisi anggur dan menyesapnya. “Apa kau ingin memesan gaun baru?” Oh ayahku yang baik. Gaun-gaun itu tidak akan terpakai karena Alfred tidak mengizinkanku mengikuti pesta mana pun yang dihadiri olehnya. Kalaupun ada keluarga yang mengundangku, dan sangat kuragukan, itu pasti ditujukan kepada Armel.  “Gaunku yang lama masih bagus dan tidak perlu menghabiskan uang untuk pakaian,” usulku. Daging ayam terasa gurih dan renyah, terlebih tambahan paduan kacang yang memanjakan lidah. Saat menelannya pun hatiku senang karena saus rempah membuat tenggorokkanku hangat. “Percayalah, Ayah. Aku tidak keberatan menghabiskan waktu di sini.” Aku bahkan tidak peduli mengenai larangan “bersenang-senang dengan bangsawan lain” yang dijatuhkan Alfred kepadaku. Nay, tidak ada hal menarik dari perkumpulan ningrat. Lagi pula, ada kegiatan surat-menyurat yang kemungkinan besar menjadi menu utama daftar kegiatan pentingku. Anggap saja aku memiliki sahabat pena. “Feli, katakan apa pun yang kaubutuhkan.” Aku mengangguk.  “Tentu, Ayah.”  *** Selesai bersantap Armel bergegas menuju ruang kerja. Luke, sang pelayan utama, mengekor di belakang Armel.  “Duke, ada surat dari istana.” Sesuai perintah Armel, Luke menyortir surat yang ditujukan kepada Ophelia. Apabila ada surat untuk Ophelia yang berasal dari istana, Armel melarang Luke memberikan surat tersebut kepada putrinya. Armel mengempaskan diri ke kursi. Surat yang dimaksud ada di meja, belum tersentuh. “Surat dari Pangeran Alfred,” Luke menjelaskan. Dia mengerti perintah Armel bahkan sebelum sang duke bicara. “Diterima pagi ini dan dikirim langsung oleh kurir istana.” Bajingan tengik, umpat Armel. Bocah tidak tahu diri yang membuat Ophelia menderita. Sampai kapan pun dia tidak rela pemuda seperti Alfred menikahi putrinya.  “Bakar,” Armel memerintahkan.  “Apa Anda tidak ingin membacanya terlebih dahulu?” Luke memperingatkan. Tanpa ragu Armel berkata, “Bakar.” Armel bahkan pernah membakar surat dari Ivan, ayah Alfred, yang dahulu meminta izin mempertunangkan putranya dengan Ophelia pada usia sepuluh tahun. Jelas hanya siasat agar Armel tidak mengundurkan diri dari ranah istana. Walaupun Ivan merupakan teman Armel, tetapi Alfred sama sekali tidak mewarisi kebijaksanaan ayahnya. Bocah satu itu lebih mementingkan pendapat mayoritas daripada kebaikan bersama.  Tiba-tiba Armel mencemaskan masa depan Karmelion di tangan Alfred.  “Luke, apa ada surat dari Arcana?” “Belum, Duke.” Arcana memiliki beberapa pewaris. Tidak seperti Karmelion, pewaris Arcana memperlihatkan prestasi dan sikap terpuji. Penduduk Arcana bahkan tidak perlu mencemaskan adanya perang saudara sebab satu sama lain, antara pewaris, tidak memiliki niat buruk menumbalkan saudara. Armel bisa melihat masa depan Arcana terbentang luas. *** Masalah terbesar yang pernah ada dalam hidup Alfred mungkin hanya ada satu: Ophelia Valentine. Bahkan ketika dia menginjak usia 25 tahun dan Ophelia delapan belas tahun, masalah di antara mereka makin meruncing tajam seakan tidak ada kata damai dalam hidup putri Duke Valentine.  Gagang pedang terasa panas dalam genggaman Alfred. Keringat membasahi rambut merahnya dan seluruh wajah, membuat kemeja putihnya lengket ke badan. Sekali dua kali dia mencoba menebas musuh khayalan, bergerak lincah sembari memotong satu per satu masalah, yang andai bisa dihilangkan semudah itu, dengan bunyi desing. Ruang latih hanya digunakan oleh Alfred. Setidaknya malam ini dia bisa menenangkan diri tanpa perlu mencemaskan perhatian dari Ophelia. [Kenapa kau tidak bisa mencintaiku?]  Ophelia menanyakan hal yang jelas bisa dipahami semua orang. Gadis itu hanya tahu cara menyenangkan diri sendiri tanpa memedulikan pendapat serta perasaan orang lain. Alfred menoleransi sikap Ophelia hanya karena rasa hormat terhadap Duke Valentine. Namun, Ophelia makin menjadi dan puncaknya ialah kecelakaan di jembatan. Untung Fiona selamat dan “untung saja” Ophelia diselamatkan Kiel. Roland, pelayan pribadi Alfred, telah mengabarkan detail peristiwa tersebut secara terperinci.  Alfred menatap bilah pedang yang menampilkan pantulannya. Sepasang mata hitam balas memandang dengan kejenuhan serupa.  “Kau bisa bayangkan?” kata Kiel saat Alfred berkunjung ke kediaman Noyes. “Gadis itu mengirimi adikku surat permintaan maaf dan sebuket bunga ceri.” Rasa panas menyengat punggung, Alfred melemaskan otot bahu karena merasa tidak nyaman.  Perubahan.  Seolah itu mungkin terjadi. Masih terngiang di benak Alfred saran Fiona kepadanya, “Cobalah kirim surat kepadanya.”  Demi Fiona, adik sahabat terbaiknya, dia rela mengirim surat untuk Ophelia. Dalam hati dia berharap Ophelia kali ini benar-benar mawas diri dan berhenti menyakiti orang lain. “Apa kau yakin suratku sudah dikirim?” Alfred bertanya kepada Roland yang sedari tadi menunggu. Dia menyeka keringat di dahi menggunakan punggung lengan. “Roland?” “Sudah, Yang Mulia,” jawab Roland. “Seperti keinginan Anda.” Alfred menggigit bibir. Seminggu, pikirnya. Tidak ada balasan dari Ophelia. “Apa dia membalas?” Ada sedikit keraguan terdengar dalam nada suara Roland. “Belum, Yang Mulia.” Si pelayan sesungguhnya telah mengabarkan informasi bahwa Lady Valentine kini melakukan korespondensi dengan sejumlah gadis. Surat yang ditulis langsung oleh putri Duke Valentine dan sepertinya hanya surat dari Pangeran Alfred yang tidak dibalas. Roland tidak berani menyuarakan pendapatnya mengingat hubungan di antara Lady Valentine dan Pangeran Alfred terbilang tidak baik. Mungkin akhirnya Lady Valentine sadar dan memilih lelaki lain untuk dicintai, pikirnya. Entah mengapa kejengkelan menggelitik sesuatu di d**a Alfred. Biasanya Ophelia akan langsung membalas dan mendatangi Alfred. Namun, sekarang gadis itu bahkan tidak membalas sepucuk surat yang datang darinya.  Seminggu, pikirnya. Gusar. Fiona berkata bahwa Ophelia membalas surat dan sepertinya kedua gadis itu mulai memperlihatkan kedekatan. Hanya Kiel yang tidak senang dengan perubahan hubungan antara Fiona dan Ophelia. “Kau tidak bisa menduga pikiran seorang Valentine,” katanya kepada Alfred. Hanya surat. Selembar kertas bertuliskan permintaan maaf dan rasa terima kasih. Surat yang kini mengusik ketenangan Alfred. “Apa kau yakin mengirimnya ke alamat yang benar?” “Iya, Yang Mulia. Saya pastikan surat itu dialamatkan kepada Lady Valentine.” [Lalu, kenapa aku tidak mendapatkan balasan?] Sekali lagi Alfred menatap pedang, berusaha mempertimbangkan solusi mengenai Ophelia dan Fiona. Bukan rahasia umum bahwa publik menduga Alfred akan memilih Fiona sebagai calon putri mahkota. Fiona memenuhi kriteria yang Alfred harapkan ada pada pasangan. Lemah lembut, pengertian, berpembawaan menenangkan, dan yang terpenting tidak gampang tersulut emosi. Ophelia selama ini hanya mementingkan perasaan miliknya seorang. Dia bahkan tidak peduli pada ketidaknyamanan Alfred. Bagi Ophelia yang terpenting hanya Alfred membalas perasaannya.  [Bagaimana mungkin aku bisa menyukai gadis seperti itu?] Tentu saja Alfred merasa keputusan menolak perasaan Ophelia merupakan pilihan tepat. Sebagai calon penguasa Karmelion dia tidak boleh membahayakan keselamatan Karmelion demi apa pun. Entah mengapa Alfred merasa getir. ***  Selesai diedit dan direvisi pada 16 Mei 2021. ***  Halo, teman-teman. Terima kasih telah mampir menengok Ophelia. Semoga cerita ini bisa mencerahkan hari-hari kelabu. Ohohohoho. Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih atas dukungan yang teman-teman berikan kepada saya. Saya sayang kalian. Love youuuuuuu! Salam hangat, G.C
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD