Dia, Alenta

1777 Words
"Itu Alenta, penyanyi baru jebolan ajang pencarian bakat." Raka menoleh kepada Dami. "Lo pasti nggak pernah ngikutin acara Indonesian Singer, kan?" Raka meledek Dami, tidak henti-hentinya teman satu bandnya tersebut mengolok dirinya yang jarang mengikuti acara di TV. Cahaya Alenta, kira-kira nama itulah yang disebut Raka dan teman-teman satu bandnya yang lain. Perempuan yang Dami perkirakan tingginya lebih dari seratus tujuh puluhan itu, seseorang yang sama yang dimaksud oleh Fano. "Gue lemah kalau ditatap begitu," gerutu seseorang, tahu-tahu muncul di tengah-tengah Dami serta teman-temannya. "Dam, lo nggak lihat sorot mata Alenta yang sendu, banget?" "Nggak." Raka serta teman-teman Dami yang lain jadi salahpaham. Mereka kira, itulah jawaban pendek Dami perihal Alenta yang sedang mereka bicarakan. Benar dugaan Raka, Dami tidak akan tahu siapa Alenta mau pun penyanyi-penyanyi baru yang tengah hits belakangan. Dami, adalah orang yang tidak akan mau pergi dari zona amannya. Jika tidak memiliki kesibukan bersama Missing You, Dami akan diam di apartemen seharian, atau pergi latihan sendiri di studio. Kalau kata anak zaman sekarang, Dami termasuk manusia nolep, nggak, sih? "Masa lo tega nggak mau bantuin gue, Dam? Coba lo lihat." Fano meluruskan kedua tangannya, menunjuk Alenta di tengah-tengah panggung sedang melakukan latihan untuk acara nanti malam. "Dari tatapannya aja, jelas kosong, Dam. Kalau lo mau bantuin gue, lo bisa dapet—" "Gue bilang nggak, ya nggak, anjing!" bentak Dami. Sontak, teman-teman band Dami diam serentak. Raka yang semula mencerocos, tidak henti-hentinya mengagumi kecantikan sang penyanyi, kini pun ikut diam. Kedua mata laki-laki tersebut mendelik, refleks memukul paha Dami lalu balas menyentak, "Ya biasa aja dong! Nggak usah pake anjing, kan, bisa!" Dami bungkam. Menunduk dalam, menggelengkan kepala menahan geram di d**a akibat ulah Fano. Sementara si arwah penasaran tersebut malah terkekeh-kekeh senang melihat kesalahpahaman yang terjadi. "Huhh," Raka mendesis, menepuk-nepuk sebelah bahu Dami. "Selesai konser kita nanti, lo harus pergi liburan." "Bener, Bang." Adam menyahut setuju. "Lo kelihatan stress akhir-akhir ini." Braga menambahkan, tidak kalah prihatin melihat sang vokalis sering marah-marah beberapa hari terakhir. "Kalau ada masalah, lo bisa berbagi sama kita." "Gue cerita pun kalian nggak akan paham," gerutu Dami, membungkukkan punggung, menangkup kedua tangannya sembari menatap lurus kepada Alenta. "Karena dia, hidup gue jadi tambah kacau sekarang!" Lagi-lagi, anggota Missing You dibuat heran dengan tingkah Dami. Setahu Raka dan lainnya, Dami mau pun Alenta belum pernah bertemu satu sama lain, berinteraksi saja tidak pernah. Bagaimana bisa perempuan cantik itu menjadi akar permasalahan Dami? "Dam!" seru Raka, beranjak dari kursi memanggil Dami dengan suara besar. "Klarifikasi dulu sebelum cabut! Hei, maksud lo apa?! Dami!" Fano memandangi kepergian Dami. Ini bukan kali pertama dia membuat Dami semarah itu. Sebelum-sebelumnya, Dami jauh lebih marah karena dirinya tidak berhenti mengganggu laki-laki itu. Fano menarik napas panjang. Kedua bahunya turun dengan lesu, sepasang matanya tidak berhenti memandangi punggung sang vokalis hingga menghilang di antara jajaran kursi penonton yang kosong. "Ada affair antara mereka?" Adam menyenggol lengan Braga, bertindak seolah dirinya adalah biang gosip. "Galak gitu. Mana ada yang berani deketin Bang Dami," celetuk Andro, satu-satunya anggota paling kalem. "Ck, gue tahu Bang Dami, tuh, galak. Jarang ngomong," decak Abra. "Tapi, beberapa hari terakhir, Bang Dami beneran kayak lagi tertekan." Raka memiringkan kepalanya. "Masa, Dami diem-diem punya hubungan sama Alenta, sih?" Raka, Braga, Adam serta dua anggota Missing You lainnya kompak mengarahkan pandangannya kepada Alenta. Fano mengentakkan kedua tangannya, berjalan mengitari anggota Missing You sembari memasang tampang kesal. Sembarangan! Dami dan Alenta baru pertama kali bertemu, hari ini! Mana mungkin memiliki hubungan spesial? Pendekatannya dari mana? Dari mimpi?! *** "Alen, penampilan lo bagus, banget! Gue bangga sama lo!" "Lo bikin nangis orang-orang yang denger lagu lo." "Alen, gue denger, lo dapet tawaran main film, ya?" "Gue bilang apa! Lo pasti bakal sukses. Coba aja lo terima masukan gue dari dulu. Pasti udah terkenal dari lama." "Len, lo beneran nggak bisa lihat gue, ya? Dengerin suara gue juga?" Bahu Fano menunduk lesu. Perempuan itu sama sekali tidak melihatnya. Seberapa banyak Fano berusaha agar Alenta melihat ke arahnya, sampai kapan pun, Alenta tidak akan pernah bisa melihat kehadirannya. Mendengar suaranya pun tidak akan pernah bisa. Alenta menarik napas berat, melepas anting dan aksesoris yang melekat di badannya. Fano memerhatikan Alenta, sekali pun kini mereka telah berbeda alam, di hatinya, cuma ada Alenta. Sampai kapan pun, hanya Alenta yang akan terlihat di matanya. Malam ini perempuan itu sangat cantik. Gaun merah menyala, rambut hitam yang terurai hingga ke punggung, serta make up yang sedikit berat untuk menunjang penampilannya di atas panggung, membuat Alenta berbeda dari biasanya. Apa lagi tatapan matanya.... Fano menunduk, memandangi sepasang kaki telanjang Alenta yang terdapat bekas luka. "Lo ngelukain diri sendiri ya," gumam Fano sedih. "Jangan kayak gini, Len. Lo emang kehilangan gue, tapi bukan berarti lo sendiri. Lo masih punya Natla, Davian sama Rindu. Mereka juga temen-temen lo." Suara tangis Alenta tiba-tiba pecah. Perempuan itu menunduk, menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis keras. Fano terenyak, tidak pernah dia kira kalau kehilangan dirinya, Alenta seperti kehilangan setengah hidupnya. "Udah gue bilang. Gue benci orang yang ingkar janji!" Alenta mendongak, memukul-mukul meja rias di depannya. Fano menggeleng kuat. "Nggak, Len! Gue nggak ingkar janji, sumpah!" "Lo pergi ninggalin gue," isak Alenta, menepuk-nepuk dadanya. "Gue benci sama lo, Fan. Gue benci." "Jangan, Len," Fano berjongkok di bawah kaki Alenta, memandangi luka perempuan itu nelangsa. Andai saja Fano bisa menyentuh manusia, Fano akan mengobatinya. Laki-laki itu mengerang, menarik rambutnya frustrasi. Kenapa Tuhan secepat ini membuatnya meninggal? Kenapa Fano harus mengalami hal tragis? Kenapa?! "Jangan sakitin diri lo, Len. Jangan," mohon Fano. "Ada, atau tanpa adanya gue, lo berharga. Jangan sakitin diri lo lagi cuma karena kehilangan gue, Alen." Percuma, sekuat apa pun Fano berteriak mengingatkan Alenta, nyatanya perempuan itu masih saja menangis sembari meneriakkan namanya sambil menangis. Fano harus apa? Fano hanya ingin mengatakan bahwa dirinya ada di samping perempuan itu. Tidak peduli kini dia hanya seorang arwah penasaran, Alenta sangat berarti untuk Fano. Ketika Alenta senang, maka Fano ikut senang. Dan sebaliknya, jika perempuan itu sedih dan menangis sekuat ini, hati Fano terasa disayat pisau. Melihat air mata jatuh di pipi Alenta, sama seperti Fano mati berkali-kali. *** "Aduh," keluh Tiara, mengaduk-aduk tasnya gelisah. "Kenapa?" tanya Alenta. "HP gue ketinggalan kayaknya." Tiara masih mengaduk-aduk tasnya. "Lo ke mobil aja duluan. Gue balik ke ruang kostum dulu. Kayaknya, HP gue ketinggalan di sana waktu nyusul lo." "Hmm." Alenta mengangguk tanpa membantah sang manajer. Tiara berlarian masuk ke dalam gedung. Sementara Alenta, perempuan itu pergi ke arah mobilnya yang terparkir. Alenta berjalan santai. Malam semakin larut, dan gedung tempatnya tampil malam ini tidak banyak orang yang wara-wiri. Alenta mengangkat sebelah tangan, memandangi jarum arloji yang melingkari pergelangan tangannya kemudian menghela napas. Sejujurnya Alenta lelah. Dia ingin sampai di rumah, dan tidur dengan nyenyak. Setidaknya, itu harapan kecil Alenta. Mengingat beberapa hari terakhir dirinya mengalami masalah tidur. Langkah Alenta berhenti sebelum perempuan itu sampai di depan mobilnya. Perempuan itu menengok ke sekitar. Hampir tidak ada orang selain jajaran mobil di sekitarnya. Alenta menggeleng kecil, memijat ujung keningnya. Mungkin dia terlalu kelelahan sampai berpikir ada orang yang sedang mengikutinya. Tidak lama, suara beberapa orang terdengar dari belakang. Alenta menarik napas lega. Setidaknya, dia merasa aman melihat rombongan Missing You berjalan ke arah mobil mereka. "Gue aja yang nyetir!" teriak Raka, menarik kunci di tangan sang manajer. "Jangan kasih ke Raka kalau mau umurnya panjang!" balas Abra, berkacak pinggang di tengah-tengah anggota Missing You. Alenta mendesis menahan marah. Tiara menyuruhnya menunggu di dalam mobil, tetapi tidak memberinya kunci? Akh, Alenta benar-benar ingin marah rasanya! Alenta membalikkan badan, mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya. Sesaat, sepasang matanya sempat menangkap sosok Dami. Keduanya berpandangan kurang dari lima detik sebelum laki-laki itu masuk ke dalam mobil rombongan Missing You. "Hal—akh, sial. Gue lupa," keluh Alenta, memukul keningnya dengan kesal. "HP Tiara, kan, ketinggalan!" Alenta berbalik lagi, memunggungi Dami yang entah kenapa laki-laki itu masih di sana. "Dam, buruan masuk! Kenapa masih di luar?" Raka menurunkan kaca mobil, lantas menyembulkan kepalanya menegur Dami. "Lagi lihatin siapa, sih? Siapa?" Tanpa melirik Raka, Dami memberi isyarat kepada laki-laki itu untuk diam dan tidak mengganggunya. Raka ikut meletakkan satu jari di bibirnya seolah latah mengikuti gerakkan Dami. Bahkan, Raka menemukan laki-laki berpakaian serba hitam sedang berjalan ke arah... Alenta? "Dam, Dam, Dami!" jerit Raka, menerobos setengah badannya dari pintu mobil. Jika dilihat sekilas, laki-laki berpakaian serba hitam itu seperti orang biasa. Raka pikir, orang itu penggemar Alenta. Namun, begitu benda mengkilap keluar dari saku celana laki-laki tersebut, Raka tidak bisa tidak khawatir. "Keluar, keluar!" Raka memerintahkan Braga dan lainnya keluar mobil. Alenta sibuk menggerutu. Tiara tidak kunjung kembali lebih dari sepuluh menit, sedangkan dirinya berada di tempat sepi. Ya, dia masih mendengar suara dari rombongan Missing You, bahkan, ketika salah satu anggota berteriak, "Dam, Dam, Dami!" Alenta mendengar jelas. Punggung Alenta menegang, seperti ada orang lain di belakang tubuhnya. Kemeja hitam, serta rambut hitam pekat seorang laki-laki adalah pandangan pertama yang dilihatnya. Tidak hanya satu, ada dua orang. Di balik punggungnya, itu Dami, vokalis Missing You. Sementara laki-laki lainnya, entah siapa, membelalakan matanya. Terlihat marah walaupun setengah wajahnya tertutup masker hitam. "HEH!" Teriakkan Raka, kemudian disahuti anggota Missing You lainnya jelas membuat si laki-laki berpakaian serba hitam tadi menoleh. Pandangan mereka semua, termasuk Alenta, tertuju ke tangan Dami yang menggenggam erat sebuah pisau. Alenta menutup bibirnya dengan kedua tangan, jelas shock berat. Sempat laki-laki itu menyeringai, sebelumnya akhirnya menarik gagang pisau begitu kuat hingga darah dari telapak tangan Dami menyembur ke arah lain. "Jangan kabur lo!" jerit Braga, menepuk bahu teman-temannya mengajak mengejar laki-laki berbaju serba hitam tadi. Alenta mematung di tempat. Dami, sang vokalis penuh kharisma tersebut berdiri tegak biarpun telapak tangannya berdarah-darah. Keduanya saling berhadapan, menatap satu sama lain seolah bergumam, "Kenapa?" "Kenapa dia nolongin gue?" batin Alenta. "Kenapa gue nolongin dia, sial!" pekik Dami, marah kepada dirinya sendiri. "DAMI!" Raka memekik heboh. Darah segar menetes dari telapak tangan Dami. Temannya itu tidak mengatakan apa pun selain memaki. Entah siapa yang sedang dimaki Dami. Raka membantu Dami mencari tempat duduk. Sementara Alenta masih terbengong karena shock. Raka mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya. Dia mengguyur luka Dami dengan sebotol air kemasan yang diambilnya dari mobil rombongan Missing You. "Sok pahwalan banget lo." Raka menggerutu sambil melilit telapak tangan Dami menggunakan sapu tangannya. "Lo kenal sama orang tadi?" Raka ikut menoleh ke Alenta. Dami bukannya menjawab pertanyaannya, justru melemparkan pertanyaan kepada Alenta. Raut wajah Dami terlihat dingin dengan tatapan mata yang tajam. Alenta menggeleng. Lidahnya mendadak keluh, tidak bisa dia gerakkan karena terlalu shock. "Lo bisa hati-hati nggak, sih? Ngerepotin orang banget!" sentak Dami. Raka di sampingnya sampai melongo. Alenta sama terkejutnya. Lagi pula, siapa yang mau berada dalam bahaya seperti tadi? Tidak ada. Dan lagi, siapa juga yang minta diselamatkan laki-laki itu?  To be continue--- 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD