Usapan Lembut di Pipi

1117 Words
Laura sadar diri akan siapa dirinya, dia berjalan di belakang Abi sang dosen dengan jarak yang sangat sempurna. Lagipula, lelaki di depannya itu seperti tidak berniat mengajaknya sebab langkahnya terlalu besar, berbanding terbalik dengan langkah Laura yang kecil-kecil. Entah karena gadis itu sedang berjalan di belakang si dosen populer, atau karena outfit yang dikenakannya, tidak cocok untuk ke kampus, kini dia menjadi pusat perhatian. Tentu saja Laura tidak peduli itu. Tibalah mereka di area parkir khusus dosen, Abi berhenti tepat di sebelah mobil sport mini cooper berwarna hitam. Laura melirik ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang melihatnya kini. Namun, sayang sekali, dia lupa dengan siapa dirinya saat ini. Dosen paling tampan sefakultas, tentu banyak pasang mata mahasiswi yang sedang melihat ke arah mereka. "Kenapa, nggak mau naik?" lelaki itu bertanya, kala Laura terlihat bingung. Dia takut dianggap mahasiswi yang senang 'bermain' dengan dosen. Apalagi, tatapan mereka ke Laura seakan penuh tanya dan menilai dirinya negatif. "Pak, boleh nggak saya naiknya di depan gerbang fakultas aja?" Tanya Laura dengan suara yang sangat pelan. "Apa?" Abi benar-benar tidak mendengar apa yang dikatakan mahasiswinya, sehingga membuatnya mengayunkan langkah untuk mendekat. Laura jadi semakin serba salah. "Kalau ngomong yang jelas," ujar lelaki itu. "Itu Pak, saya naik di depan gerbang aja, nggak enak dilihat sama yang-" Tidak mengindahkan kata-kata Laura, lelaki itu justru membuka pintu mobil dan tidak Laura sangka Abi akan mendorongnya memaksa masuk. Ini gila atau apa? Hingga Laura tidak punya pilihan lain selain duduk di dalam sana. Beberapa detik kemudian, disusul juga sosok Abi yang sudah duduk tepat di sebelahnya. Sebenarnya, Laura sangat tidak enak hati jika harus berada dalam satu mobil dengan lelaki ini. Namun, dia tidak punya pilihan. Sudah ada yang mau bersikap baik dan peduli dengan skripsinya saja, dia sudah bersyukur. *** "Sebentar ya Pak." Laura pamit, setelah mereka tiba di sebuah rumah makan tempatnya bekerja sebagai buruh cuci piring dengan upah tiga puluh ribu perhari. Kecil? Ya memang, tapi dia harus menjalani itu demi keberlangsungan hidupnya. "Saya tunggu di sini," sahut Abi. Tetap dengan nadanya yang dingin tanpa menoleh. Namun, ketika Laura sudah turun dari mobilnya, lelaki itu memandangi gadis itu sampai menghilang dan masuk ke dalam restoran. "Kok bisa-bisanya kamu telat?!" Itu adalah pertanyaan pertama yang dia dapatkan ketika menginjakkan kaki di dapur. Manager rumah makan itu menegurnya. "Maaf Bu, saya harus ke kampus tadi, ada urusan mendadak," jelas Laura tegas. Menandakan bahwa dia tidak gugup saat menjawab, karena dia tidak berbohong sama sekali. "Alasan, ya udah sekarang cepat cuci piringnya udah numpuk banyak itu!" Titah si wanita paruh baya. "Sekali lagi, saya minta maaf Bu, saya harus berhenti hari ini." Laura menunduk tanpa berani menatap sang manager. "Seenaknya aja kamu mau berhenti mendadak, kami belum dapat penggantinya-" "Iya Bu, maafkan saya. Tolong pengertiannya," ucap Laura sopan. Ya, dia tahu dia memang salah, tapi apa boleh buat. "Pergi sana!" Wanita itu memberi titah sambil balik badan, tanpa peduli lagi dengan Laura. "Tapi, Bu. Upah saya, selama dua minggu?" Laura hanya meminta haknya, mungkin bagi sebagian orang, uang sejumlah empat ratus lima puluh ribu itu bukanlah masalah. Tapi baginya, sangat berharga dan bisa untuk menutupi banyak kebutuhannya. Wanita itu mendekat ke Laura sambil tersenyum miring. plak Satu tamparan keras mendarat di pipi Laura, sontak membuatnya kaget dan reflek memegang pipi. Karena mereka kini sedang berada di dapur, semua pekerja yang sedang berada di sana menoleh ke mereka. Namun, tidak ada yang berani berbuat apapun selain diam dan menyaksikan. "Kenapa Ibu tampar saya?" Dengan masih mengusap pipinya, Laura bertanya dengan matanya yang semakin berkaca-kaca. "Berani kamu meminta hak, setelah meninggalkan pekerjaan secara mendadak?" tanya wanita itu tegas dengan tatapan matanya yang tajam. "Dasar nggak tau diri. Sana pergi!" titah wanita itu. Laura menelan salivanya kasar, menahan bendungan air di pelupuk matanya. Gadis itu segera membalikkan badan, melangkah keluar. Mungkin ini memang hukuman untuknya, tapi tak mengapa, karena setelah ini dia mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, hanya di satu tempat. Karena ingin berhati-hati, Laura berhenti sejenak tepat di teras restoran, dia menenangkan diri sambil masih mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan yang didapatnya. Dia juga menyeka air matanya, tentu saja demi menghindari banyak pertanyaan dari dosennya yang sedang menantinya di mobil. Setelah merasa tenang dan memastikan semuanya baik-baik saja, Laura melanjutkan langkahnya menuju mobil Abi. "Ada masalah?" Pertanyaan muncul dari lelaki itu ketika baru saja dia membuka pintu. "Nggak ada, Pak, maaf ya kalau saya lama," ucap gadis itu tanpa menoleh. Dia menatap lurus ke depan, demi menghindari tatapan dengan sang dosen. "Kamu nangis, dan ini pipimu merah." Mungkin naluri rasa iba terhadap sesama manusia dalam diri Abi sedang timbul, hingga dengan sangat mudah tangannya terangkat untuk mengusap pipi Laura yang jelas terlihat merah, sangat kontras dengan kulit putihnya. Usapan lembut Laura rasakan di sana, membuat jantungnya berdebar. Seakan perihnya hilang begitu saja. Ini bukan kali pertama dia mendapat usapan lembut seperti ini dari lawan jenis. Tapi entah mengapa kali ini rasanya berbeda. "Oh ini…" Laura menjeda kalimatnya, mencoba menetralkan pikiran. "Ada yang berbuat kasar ke kamu?" tanya Abi tegas, menatap Laura. Gadis itu mengambil napas dalam sebelum menjelaskan. "Jadi, tadi karena saya berhenti mendadak, managernya marah Pak. Saya mencoba minta hak saya selama dua minggu terakhir ini, dan dia malah nampar saya katanya nggak tau diri, berhenti seenaknya malah minta upah." Sesak di d**a Laura kembali terasa mengingat itu. “Berapa jumlahnya?" tanya Abi. Dia hanya melontarkan dua kata saja setelah Laura bercerita panjang lebar. "Empat ratus lima puluh ribu, Pak," sahut Laura. "Kirim kan nomor rekening kamu ke saya, ya. Nanti saya transfer gaji kamu di awal-" "Pak, nggak usah repot-repot. Saya belum kerja, masa langsung mau digaji?" Potong Laura cepat. Siapa yang tidak mau? Dia memang merasa seperti munafik saat mulutnya berkata tidak dan bertolak belakang dengan hatinya yang sangat menginginkan dan membutuhkan uang itu. "Jadi kamu nggak mau?" Laura mengangguk akhirnya. "Iya, mau Pak. Saya memang sedang butuh uang, untuk memperpanjang biaya sewa kamar kos dan memperbaiki laptop." Aku Laura. "Kirimkan nomor rekening kamu via WA!" titah Abi. "Nanti saya kirim via SMS aja, Pak. Buku tabungannya ada di kos, saya nggak hafal nomor rekeningnya," jelas Laura hati-hati. Abi tersenyum miring. Apa? SMS? Apa di jaman sekarang ini masih ada orang yang berkomunikasi menggunakan SMS, kecuali itu adalah sistem operator. "Jaman udah canggih, kenapa kamu masih ketinggalan?" tanya Abi disertai tawa kecil. Laura tersenyum pedih. "Saya nggak punya paket data, Pak. Belum isi." Laura berucap apa adanya. Meski terdengar aneh, Laura tidak pernah mempermasalahkan itu. Yang penting dia masih bisa berkomunikasi dengan baik, dia hanya menggunakan internet sesekali saja di tempat yang menyediakan jaringan Wifi. "Oh maaf." Sesal Abi. Ya, dia memang sedang menyesali sikapnya pada Laura barusan, dia telah menganggap apa yang dialami Laura sebagai lelucon.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD