Kamu Mau Bekerja dengan Saya?

1208 Words
Laura merasa aman, karena dia tidak terlambat. Masih tersisa lima belas menit lagi sebelum jam mengajar Abi selesai, gadis itu kembali duduk di kursi yang tersedia di depan ruangan Abi, sambil memainkan ponsel jadulnya. Abi sedang membolak-balikkan lembaran skripsi milik Laura, sambil menanti gadis itu masuk ke ruangannya. Namun, setelah sepuluh menit menanti, Laura tak kunjung masuk, membuatnya ragu apa benar yang dilihatnya tadi adalah Laura? Lantas, lelaki itu meninggalkan kursinya dan mengintip keluar. Terlihat gadis yang sedang dinantinya sedang duduk santai sambil memainkan sebuah game. "Kayaknya kamu memang nggak punya niat untuk lulus, ya?" Tanya Abi kesal, lantaran Laura terlihat santai sekali, apalagi dia sedang bermain game. Abi tidak menyukai orang yang suka membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak penting seperti itu. "Pak." Gadis itu langsung menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Saya nggak tau kalau Bapak udah di ruangan, saya pikir masih di kelas," jawab Laura hati-hati. "Masuk!" titah lelaki itu. Laura mengikuti langkah Abi, yang sudah lebih dulu masuk ke ruangan. Gadis itu lebih banyak menunduk. "Duduk!" titahnya lagi. Laura menurut, dia duduk di kursi yang tersedia tepat di hadapan meja Abi. "Ceritakan masalahmu, saya kan udah bilang dari awal. Ngerjain skripsi itu hanya perlu waktu dan fokus, nggak ada yang sulit kalau kamu serius." Abi melirik sekilas pada gadis yang terlihat ketakutan itu. Sejujurnya, diantara banyak mahasiswi bimbingan Abi, Laura adalah yang paling dia nantikan kehadirannya. Apalagi, Abi ingat kalau selama pengerjaan skripsi, gadis itu baru menemuinya sebanyak tiga kali dalam jarak waktu berbulan-bulan lamanya. Abi merasa kehilangan, maka dia memutuskan untuk menghubungi Laura terlebih dahulu. Dia mengeyampingkan egonya, dan Laura adalah mahasiswi pertama yang dia hubungi duluan. Apa Laura istimewa? Entahlah, Abi belum bisa menentukan hal itu. "Maaf Pak, selama ini, saya kuliah sambil bekerja," jawab Laura dengan nada sedih. Bukan sengaja dibuat-buat agar dosennya merasa iba, tapi memang begitulah adanya. "Bekerja? Kenapa kamu nggak selesaikan dulu kuliah kamu, setelahnya baru bekerja?" Tanya Abi lagi, seolah sedang menginterogasi Laura. "Kalau saya nggak kerja, saya nggak makan, juga nggak bisa kuliah, Pak." Laura mengangkat kepalanya, menatap Abi sekilas. Namun, hanya bertahan beberapa detik saja, karena Abi juga membalas tatapannya. Laura kembali menunduk, dengan mata yang berkaca-kaca. Abi tidak serta merta percaya dengan alasan yang diucapkan Laura. Jaman sekarang, banyak juga mahasiswa yang suka berbohong, dengan berbagai modus, berharap iba dan belas kasihan dari dosen agar skripsinya dipermudah. Apalagi, Abi adalah seorang yang sangat realistis dalam berpikir. "Orang tua kamu?" Meski pertanyaan ini agak menjurus ke masalah pribadi, tapi Abi merasa perlu mencari tahu. "Saya… saya korban broken home, Pak. Orang tua saya bercerai waktu saya SMA. Awalnya saya ikut mama saya, tapi karena ada sesuatu yang membuat hidup saya nggak nyaman, saya terpaksa keluar dari sana, dan memilih hidup sendiri. Saya bukannya nggak berusaha untuk meminta uang dan biaya hidup dengan ayah saya, saya selalu bilang kalau saya pingin kuliah. Tapi, jangankan direspon, telepon dan pesan saya aja nggak pernah dibalas." Laura menceritakan kisah hidupnya, kali ini matanya tak lagi berkaca-kaca, melainkan air matanya sudah tumpah deras. Laura menyeka air matanya menggunakan ujung lengan sweater yang dikenakannya. "Ini." Abi menyodorkan sekotak tisu kepada gadis malang di hadapannya itu. "Makasih," sahut Laura. "Kamu bukannya lagi mencoba membuat saya iba dengan kisahmu, kan?" Tanya Abi sekali lagi, meyakinkan. "Terserah Bapak, mau percaya atau enggak, saya hanya menceritakan yang sebenarnya," ucap Laura dengan suara yang semakin melemah. "Padahal skripsi kamu tinggal sedikit lagi, saya yakin kalau kamu fokus mengerjakannya, pasti selesai dalam waktu yang cepat." Abi menatap lurus pada gadis itu. "Saya juga maunya begitu, Pak. Sebenarnya saya udah pasrah-" "Sayang sekali, sedikit lagi, kamu yakin?" Laura menggelengkan kepalanya. "Enggak, kalau memang masih ada kesempatan, saya akan berusaha," jawabnya. "Kamu harusnya bisa membagi waktu, pagi dan siang kamu bekerja, malamnya kamu bisa melanjutkan skripsi kamu," saran Abi. "Masalahnya, untuk mencukupi kebutuhan hidup dan biaya kuliah, saya harus bekerja di tiga tempat, Pak. Malamnya saya juga masih-" "Oh begitu, cukup, cukup penjelasan kamu. Terlalu menyedihkan," potong Abi. "Begini aja…" lelaki itu menjeda kalimatnya sejenak. "Kamu keluar dari semua pekerjaan kamu-" "Apa?!" Laura memekik kaget. "Saya belum selesai ngomong," tegas Abi. "Oh iya Pak." Laura kini sudah lebih tenang, tak ada lagi perasaan menggebu-gebu seperti beberapa menit lalu saat dia bercerita. "Saya tawarkan kamu hanya bekerja di satu tempat aja, mau?" Laura tidak mau senang dulu, bekerja di satu tempat tentu hasilnya hanya sedikit, sedangkan biaya yang dia butuhkan sangatlah banyak. "Eum, maaf Pak saya to the point, gajinya-" "Saya tanya, berapa total gaji kamu bekerja di tiga tempat?" "Tiga juta lima ratus, Pak," jawab Laura jujur. Tanpa ada yang ditutupinya. "Saya gaji kamu tujuh juta, kamu kerja di rumah saya, gimana?" tawar Abi lagi tanpa ragu. "Tujuh juta, Pak? Saya mau, kerjanya, gimana Pak?" Abi tertawa kecil. "Kamu ini, polos atau apa. Kalau kerjanya di rumah saya, kira-kira apa?" "Asisten rumah tangga? Pembantu?" Laura awalnya kaget, agak tidak terima. Namun, jika dipikir-pikir, apa salahnya dia menerima pekerjaan ini? "Iya, kamu bisa masak?" Selama ini, Abi belum memperkerjakan seorang pelayan di rumahnya. Sejak bercerai dari mantan istrinya, dia memberhentikan semua pelayan, karena ingin menjaga privasinya, Abi memilih tingga sendirian. Hanya ada pekerja paruh waktu yang datang beberapa hari sekali untuk membersihkan rumahnya. "Bisa, Pak," sahut Laura. Dia terlihat antusias. Menurutnya lebih baik dia bekerja di satu tempat saja, meski sebagai pembantu. Dari pada harus mondar mandir, ke beberapa tempat. Selain melelahkan, juga boros karena banyak ongkos ojek yang harus Laura keluarkan. "Oke, mulai hari ini, kamu keluar dari semua pekerjaan kamu, dan bseok pagi-pagi sebelum jam enam, harus sudah tiba di rumah saya." tegas Abi. "Itu… terlalu cepat, Pak." Laura bukan mengeluh, dia hanya memikirkan caranya pergi secepat itu. "Kamu harus udah tiba di rumah saya sebelum saya mengajar," jelas Abi. "Oh begitu, baik Pak." Laura mengangguk mengerti. "Makasih ya Pak," ucap Laura sopan. Tidak lupa dia menampilkan senyum terbaiknya. Abi menolehkan pandangan ketika mahasiswinya itu tersenyum, terlalu bahaya jika sampai dia menikmati. "Tapi, saya nggak tau di mana rumah Bapak." Laura menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Setelah ini, kamu ke mana?" tanya Abi, dia melirik arloji branded ratusan juta di tangan kirinya. "Saya mau ketemu manajer di tempat saya bekerja, Pak. Sesuai saran Bapak, saya mau berhenti. Tapi, Bapak nggak lagi ngeprank saya, kan?" Jujur saja, Laura masih ragu dengan kebaikan Abi. "Kamu pikir, saya orang kurang kerjaan? Kerjaan saya banyak yang lebih penting, dari pada harus ngerjain kamu." Abi merapikan mejanya yang sedikit berantakan, lalu dia berdiri. "Ayo," ajak lelaki itu. "Ayo, ke mana Pak?" "Astaga." Keluh Abi. "Ikut saya-" "Tapi kan saya, masih harus singgah ke beberapa tempat, Pak." Laura mengikuti langkah Abi yang sudah keluar dari ruangan. "Saya antar, nggak lama kan?" Laura menggeleng yakin. "Sebentar aja Pak, semoga saya nggak kena omel karena berhenti tiba-tiba." "Bilang aja ke manajer kamu, kalau kamu mau berangkat ke Singapura." Sebenarnya Abi sedang mengajaknya bercanda, tapi Laura tak bisa memahaminya karena nada bicara lelaki itu terdengar ketus. "Ngapain ke Singapura, Pak?" tanya Laura polos. "Jadi TKW," sahut Abi. Lalu lelaki itu tertawa renyah sambil berjalan. Hingga dia tidak menyadari banyak pasang mata yang melihatnya sedang tertawa. Hal yang sangat langka terjadi dari seorang Abimana Narendra Roland. Sementara gadis di belakangnya, mengerucutkan bibir lantaran kesal dengan sikap dosennya. Namun, di sisi lain ada rasa bahagia yang tak terkira dalam benaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD