Apa Masalahmu?

1100 Words
Meski kisah hidupnya menyedihkan sampai detik ini, terkadang Laura tidak lupa bahwa masih ada hal-hal yang sangat pantas untuk dia syukuri sampai hari ini. Dia memiliki paras yang cantik dan menawan. Laura hanya perlu memoleskan sedikit liptint dengan harga terjangkau pada bibirnya. Pagi ini, dia sudah bersiap rapi, mengenakan seragam kerjanya. Sebuah SD milik Swasta yang kebetulan bertempat di sekitar kosnya, menjadi tujuannya pagi ini. Laura hanya perlu berjalan kaki untuk tiba di sana. Membersihkn toilet, menyiram tanaman dan membuang sampah, adalah tugas Laura pagi ini. Sejak satu bulan lalu, laura resmi bekerja paruh waktu di sekolah ini, sebagai cleaning service. Tanpa malu, dia menerima pekrjaan itu, meski bayaran yang dia dapatkan tidaklah banyak. Laura hanya perlu menghabiskan waktu sekitar tiga jam saja di sekolah itu. Setelahnya, dia memiliki tujuan lain, yaitu sebuah rumah makan, pekerjaan paruh waktunya di sana sebagai pencuci piring. Gadis itu mengenakan sweaternya, menunggu ojek online yang sudah di pesannya. Kali ini, dia tidak bisa berjalan kaki, karena rumah makan yang di tujunya berada lumayan jauh, di sekitar kampusnya. Ingat kampus, Laura jadi ingat skripsinya yang sudah terbengkalai hampir satu bulan lamanya. Getaran ponsel di saku celana jin Laura menyadarkan lamunannya saat berada di atas motor. "Hah?" Dia terlonjak kaget, dan memastika sekali lagi, bahwa dia tidak salah lihat. Dosen pembimbing 2 memanggil… Dosen pembimbingnya yang bernama Abimana itu menghubunginya, apa dia sedang bermimpi saat ini? "Mas, bisa minggir sebentar nggak? Saya harus terima telepon," ucap Laura, dia setengah berteriak karena saat itu suasana cukup berisik. "Bisa kok Neng," sahut si tukang ojek. Laura memegangi dadanya, sebelum menerima panggilan itu. Ada apa ya? Pikirnya. "Halo, Pak. Selamat pagi," ucapnya pelan, dan sopan. Laura merasa harus berhati-hati, sadar dia sedang berbicara dengan siapa. "Laura Varisha Aruna, benar?" Nada ketus terdengar dari suara lelaki di seberang sana. Menyebut nama lengkap Laura tanpa cela. "Iya benar, saya Pak," sahut Laura sedikit tergagap. Siapa yang tidak panik, dihubungi oleh seorang dosen paling tampan se fakultas. Namun, jangan ditanya bagaimana karakternya, sedikit dingin, cuek, ketus, dan mengerikan. Bahkan Dosennya yang bernama Abi itu juga terkenal dengan mulut dan sindirian pedasnya. "Apa masalahmu? Ini udah minggu ke empat saya tunggu hasil revisi skripsi kamu, apa kamu nggak niat lulus? Apa perlu saya ingatkan kalau semester depan adalah jatah terakhir kamu berada di kampus ini sebelum di drop out?" Lelaki bernama Abimana itu melontarkan banyak pertanyaan tanpa jeda, seakan tidak memberi kesempatan pada Laura untuk menjawab. Ya, walaupun sebenarnya Laura juga bingung mempersiapkan jawaban. Gadis itu mengambil napas dalam, sebelum menjawab. Dia sudah merangkai kalimat di dalam kepalanya. "Pak, begini… bukannya saya nggak niat lulus, saya tau kalau semester depan sudah masuk semester ke empat belas, tapi-" "Saya nggak mau bertele-tele. Begini saja, kalau kamu masih niat lulus dan saya bantu, saya tunggu kamu di ruangan sekarang!" Laura belum sempat menyelesaikan kalimatnya, lelaki itu langsung memotongnya hingga Laura tak berkutik, dan panggilan pun terputus secara sepihak. Gadis itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia bingung dengan keadaan. Namun, di satu sisi, merasa senang karena masih ada yang peduli dan perhatian padanya, saat dirinya sendiri saja sudah pasrah dengan urusan kuliahnya. "Mas, saya rubah tujuannya ya. Tapi masih searah, kok." "Baik Neng." * Sampailah Laura di tempat tujuannya, tempat yang sudah lama tidak dia datangi. Mungkin sudah lebih dari satu bulan, terakhir kali dia ke kampus adalah untuk konsultasi skripsi dengan lelaki itu. Tidak Laura sangka, ternyata dia peduli. Laura melangkah dengan tergesa-gesa, dia berada di sini, tepat setengah jam setelah Abi menghubunginya. Gadis itu menggenggam ujung sweater yang dikenakannya, sebelum masuk. Menghilangkan rasa gugup yang kian menerpa. "Selamat siang, Pak." Mata Laura langsung tertuju pada meja kebesaran Abi. Di atas meja itu tertulis terdapat sebuah papan nama bertuliskan Abimana Narendra Roland, S.H, M.H Namun, sapaan yang Laura ucapkan sia-sia, karena ternyata lelaki itu tidak berada di sana. "Bu, Pak Abinya-" "Dia ada jadwal ngajar sejak setengah jam lalu, beliau berpesan, kalau ada yang mencari, wajib menunggu di luar," jelas seorang wanita di dalam sana. Salah satu staf yang membantu pekerjaan beberapa dosen yang berada di ruangan itu. "Baiklah Bu, terima kasih." Laura mendesah kecewa, sembari melirik jam di tangan kirinya. Dia terlambat setengah jam. Wajar saja jika ditinggalkan. Apalagi Abi adalah seorang yang sangat disiplin mengenai waktu. Tidak lupa Laura mengirimkan pesan singkat pada manajer di rumah makan tempat dia bekerja, dia meminta izin satu hari dengan konsekuensi gajinya dipotong. Masih ada waktu sekitar satu jam sebelum dia bertemu dengan Abi. Laura merasa perutnya perih, dia belum makan sejak malam. Miris, memang sangat miris karena dia harus berhemat. Sembari menunggu, Laura berjalan menuju kantin, untuk mencari sesuatu yang bisa dia nikmati, dengan catatan harganya murah dan mengenyangkan. Di masa remajanya, Laura tidak pernah memusingkan soal makan, dia tidak tahu apa itu menabung dan berhemat, karena sang ayah selalu memfasilitasi dan mencukupi kebutuhannya. Tapi itu dulu, sebelum semuanya berubah hancur dan Laura diabaikan oleh kedua orang tuanya yang sibuk dengan kehidupan masing-masing. Sebungkus nasi kucing dengan lauk teri dan tempe, berhasil membuat Laura kenyang dan mengucap syukur siang itu. Dia menyesap teh hangatnya, sambil tersenyum. Tidak menyangka dia mampu menghidupi dirinya sendiri sampai ke titik ini. Laura hanya berharap, suatu saat dia dapat menemukan seseorang yang bisa menyayanginya sepenuh hati, menjaganya, melindungi dan mampu memberikannya kebahagiaan. * Entah apa yang membuat seorang Abimana mengakhiri jam mengajarnya lebih cepat siang ini. Padahal, masih tersisa setengah jam lagi. Namun, setelah memberikan materi dan tugas pada mahasiswanya, dia langsung menutup pertemuan dan meninggalkan kelas. Langkahnya cepat, sambil menenteng laptop dan buku. Awalnya, dia hanya memandang lurus ke depan, tapi ada sesuatu yang menarik perhatiannya, berjarak sekitar lima puluh meter darinya. Abi tersenyum miring saat Dia melihat seorang gadis memakai sweater berwarna pink, berlarian di lapangan. Rambut kuncir kudanya bergoyang ke sana kemari. "Itu dia?" Abi mempercepat langkahnya saat menyadari Laura terlihat tergesa-gesa menuju ruangannya. Dia memang manis, cantik, tapi malas. Ngerjain skripsi seperti nggak niat. Abi memuji Laura dalam hatinya, tapi setelah memuji, lelaki itu malah mengatai tanpa tahu masalah yang Laura alami. "Pak Abi, dikejar siapa?" tanya Intan, staf yang membantunya selama ini. "Lagian, ini belum selesai jam ngajarnya, kan?" Wanita itu melirik jam dinding. "Nggak ada, saya mau ketemu seseorang," ucapnya santai, melonggarkan dasi di lehernya, Abi meneguk air putih yang ada di atas mejanya yang sudah disiapkan oleh Intan. "Ada yang nyari Bapak tadi, apa dia yang Pak Abi tunggu?" tanya Intan, ingat tentang Laura. "Bagaimana ciri-cirinya?" Abi ragu, karena bisa saja ada mahasiswa lain yang ingin bertemu dengannya. "Pakai sweater warna pink, jeans biru, rambutnya diikat," jelas Intan. "Saya nggak yakin," sahut Abi terlihat acuh. Padahal dia sudah tahu kalau itu memang Laura.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD