Trauma Tak Berkesudahan

1041 Words
“Ayah!” Laura berlarian dari ruang keluarga, menuju pintu utama rumah. Mendengar suara mobil sang ayah yang sangat dikenalnya, membuatnya tergesa-gesa menyambut kepulangan ayahnya dari luar kota. Merasa kesepian sudah lebih dari satu minggu, Laura antusias saat mengetahui ayahnya sudah tiba.  Namun, sayang sekali. Apa yang Laura ingin lakukan saat itu langsung terhenti. Saat sang ayah berjalan menuju pintu sambil merangkul pundak seseorang wanita yang biasa dia panggil dengan sebutan Tante. Amalia, sekretaris ayahnya.  “Kamu belum tidur?” tanya lelaki itu, ketika mendapati Laura beridiri di ambang pintu sambil cemberut.  Laura menggelengkan kepalanya. Matanya mulai berkaca-kaca, menahan kecewa. Seketika rasa rindu yang dia simpan dan pendam untuk sang ayah, berubah menjadi benci yang terdalam. Meski Laura masih duduk di bangku SMA, dia bukan tidak mengerti tentang ciri ciri orang yang sedang selingkuh.  “Tante Amel nggak punya rumah, ya?” sindir Laura dengan tatapan mata yang tajam. Laura sudah muak dengan semua ini, dan akhirnya harus memberanikan diri menantang perempuan yang dia anggap tidak tahu malu itu.  “Maksud kamu, apa?” tatapan Laura dibalas lebih mengerikan oleh ayahnya.  “Kenapa setiap Mama nggak ada di rumah, ayah selalu bawa Tante Amel ke sini?!” protes keras Laura layangkan pada ayahnya.  “Bukan urusan kamu. Ini rumah Ayah. Kalau kamu nggak suka, sana masuk kamar!” titah sang ayah dengan ada keras.  "Nggak!" sahut Laura, setengah berteriak dan belum berpindah dari tempatnya. Tatapannya kini justru mengarah pada wanita seksi yang sedang bergandengan dengan ayahnya. "Dasar p*****r!" Maki Laura pada wanita itu. Emosi Laura semakin menjadi saat ternyata ayahnya lebih membela sekretarisnya daripada dia, anak sendiri.  Plak Pipi Laura perih seketika, tamparan keras mendarat di pipi kanannya dari telapak tangan lebar milik Pak Suwedi.  Laura meringis. Matanya tak lagi berkaca-kaca, melainkan air keluar mengalir deras. Menyakitkan. Gadis belia itu langsung balik badan, berlarian menuju kamarnya. Sialnya, dia terjatuh dan…  "Ya ampun, mimpi itu lagi." Laura membuka mata dengan buliran-buliran keringat sebesar biji jagung di keningnya. Laura menendang selimut yang menutupi kakinya. Dia segera beranjak dari tempat tidur. Meraih segelas air dari atas dispenser. Lalu menyalakan kipas angin. Entah kamar kosnya yang hanya berukuran tiga kali empat itu terlalu pengap, kekurangan udara, atau karena mimpi buruk itu, Laura harus kebanjiran keringat di malam hari seperti ini.  Laura membuka lebar jendela kamar kosnya. Dari lantai tiga, dia dapat memandangi jalanan yang masih padat akan lalu lintas kota, padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Masih terlalu dini, dan waktu menuju pagi masih terasa sangat panjang bagi Laura karena dia selalu menanti pagi, berharap datang lebih cepat. Sebab malam hari seperti ini, sering menjadi ketakutan tersendiri baginya karena mimpi buruk dan bayang-bayang masa lalu masih sering menghantuinya. Merasa sudah jauh lebih tenang, setelah menghirup udara segar, Laura menutup kembali jendela kamarnya. Berniat untuk memejamkan mata lagi, berharap setelah ini akan lebih nyenyak. Laura mengambil langkah mundur untuk menjauh dari jendela setelah menutupnya, tanpa sengaja dia menyenggol tumpukan buku-buku miliknya yang dia letakkan di atas meja berukuran kecil, hingga buku-buku itu terjatuh dibuatnya. “Malang banget nasib kalian, udah jarang dipakai, jatuh pula.” Berbicara dengan buku, Laura hanya mencoba menghibur diri. Hidup sendiri, benar-bear membuatnya merasa kesepian. Laura bahkan tidak memiliki seseorang yang bisa dia sebut teman, saat ini. Jangankan teman yang bisa membantunya saat susah, teman mengobrol saja, dia tidak punya. Menjadi mahasiswi semester akhir, nasib perkuliahannya benar-benar sudah di ujung tanduk. Laura merasa hidupnya sia-sia, saat dia berjuang mati-matian untuk bekerja keras demi membiayai kuliahnya, tapi dia malah tidak punya waktu untuk mengerjakan skripsinya karena dia bekerja dari pagi hingga malam, di beberapa tempat. Mata Laura kembali terpejam, lelahnya menjadi seorang pekerja paruh waktu, membuatnya tak bisa menghindari rasa kantuknya malam ini.   * “lo jangan munafik, lo juga mau, kan? Secara gue ganteng begini, nggak ada yang bakalan menolak,” ucap seorang lelaki yang sedang mencoba merayu Laura.  Gadis itu gemetar ketakutan, dia terjebak di sebuah ruangan sempit bersaa seorang lelaki yang tengah menatapnya dengan penuh nafsu. Kedua pundak Laura juga sedang dicengkeram sangat erat, hingga dia meringis sakit.  “Kak, jangan...” Lirih gadis itu, tanpa berani menatap lawan bicaranya. Laura menundukkan pandangannya, merasa jijik dengan lelaki penuh percaya diri di hadapannya itu.  “jangan apa? Jangan sampai nggak jadi? Makanya lo nurut, jangan bersuara, nanti kita ketahuan.” Lelaki bernama Cello itu tertawa licik. Membuat Laura tak berani berkutik.  Ini sudah yang ke sekian kalinya Cello menjebak Laura ketika rumah yang mereka tinggali sedang dalam keadaan kosong. Hanya ada beberapa orang pembantu yang sedang berada di dapur, dan tak mungkin akan mendengarkan teriakan Laura jika lelaki di hadapannya berbuat nekat. “Kak Cello, lepaskan aku,” pinta laura sekali lagi dengan nada yang sangat menyedihkan. Dia tidak akan mungkin menyerahkan dirinya pada Cello, si kakak tiri.  Lelaki itu benar-benar tak mengindahkan kata-kata Laura, dia justru semakin membungkukkan badan, untuk mendekatkan wajahnya pada Laura. Hingga deringan ponsel milik Cello, berhasil menyelamatkannya, karena lelaki itu segera mundur beberapa langkah.  “Lo jangan ke mana-mana, tetap di kamar. Ada teman-teman gue datang, gue nggak mau nanti lo malah jadi incaran mereka, paham sayang?” Cello menangkup pipi Laura dengan kasar, hingga gadis itu ketakutan.  Beberapa detik setelahnya, Laura bisa bernapas lega karena lelaki licik itu sudah keluar dari kamarnya. Laura merasa, hal ini tak mungkin lagi dia biarkan. Entah hanya mengancam untuk sekadar menakut-nakuti Laura, atau Cello benar-benar memiliki niat lain padanya. Hal itu benar-benar membuatnya ketakutan. Laura berjongkok di balik pintu kamar, sambil mecengkeram kaos yang sedang dikenakannya, dia menangis sejadi-jadinya sampai sesenggukan.  Laura mengambil napas dalam saat dia kembali terbangun dari mimpi buruknya. Mimpi yang lebih mengerikan dari sebelumnya. Mungkin, ini adalah bagian dari nasib yang harus diterimanya, karena terus merasakan trauma tak berkesudahan tentang masa lalunya yang pahit.  Hidupnya benar-benar semakin hancur ketika kedua orang tuanya memilih jalan masing-masing, dan Laura dipaksa ibunya untuk ikut tinggal di sebuah rumah besar bak istana. Namun, tak ada kebahagiaan yang Laura temukan di sana, walau hanya setitik saja. Keluar dari sana, adalah pilihannya sampai detik ini, dengan konsekuensi dia harus berjuang menghidupi dirinya sendiri.  Sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela kamarnya yang tak bertirai, membuatnya tersadar bahwa, dia harus kembali memulai aktifitasnya pagi ini, mengais rupiah karena Laura sadar, untuk menikmati seteguk air putih saja, butuh biaya yang harus dikeluarkan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD