Bab 5

1117 Words
Setelah satu tahun lebih menumpang di rumah saudara ibu, akhirnya ayah mampu membuat rumah mungil sendiri untuk keluarga Ayu. Letaknya paling belakang dibandingkan dengan posisi rumah penduduk yang lain. Rumah berdinding anyaman bambu itu menghadap ke utara, ada sungai memanjang di sebelah barat dan rumpun bambu mengelilingi mengikuti alur sungai. Di bagian tenggara terdapat pemakaman umum yang berjarak sekitar sepuluh meter dari rumah, batu nisan terlihat jelas dari pintu dapur. Rumah baru ini memliki dua kamar tidur yang dipisahkan oleh sekat anyaman bambu setinggi dua meter. Kamar depan yang bersebelahan dengan ruang tamu ditempati oleh Ayu dan Umar, sedangkan kamar belakang yang berbatasan dengan dapur dipakai oleh ibu, ayah, dan Amira. Kamar mandi berada di luar, dengan sumur yang masih menggunakan ember kecil yang diikat pada kerekan dari tali plastik sebagai alat untuk menimba. Dinding kamar mandi setinggi satu meter dari bekas anyaman bambu yang sudah banyak berlubang di sana sini sehingga harus ditambal dengan spanduk bekas atau kain kain bekas yang sudah tidak terpakai. Ayu senang karena kini ia memiliki kamar sendiri, meski harus berbagi dengan Umar setidaknya ia bebas bisa tidur nyenyak dengan pintu yang terkunci. Tidur, adalah hal yang paling menyenangkan. Ayu bisa membayangkan apapun yang ia mau di malam malam panjang sebelum terbuai alam mimpi. Membayangkan masa depannya kelak, cita cita dan harapan yang dipanjatkan setulus hati pada Sang Empunya kehidupan. Terkadang gadis kecil itu berharap esok ia terbangun dalam keluarga yang berbeda, keluarga yang lebih kaya dan menyayanginya sepenuh hati. Kadang ia berharap semua rasa sakit dan pilu ini hanya mimpi, esok mungkin ayah dan ibu bisa bersikap lebih lembut dan manis padanya. Ayu sangat menyukai tidur, baik itu tidur siang ataupun malam. Dalam tidurnya, semua kepedihan, sakit hati, lelah, dan kesepian, hilang untuk sesaat. Ayu selalu mengumpulkan energi positif dalam tidurnya. Memohon pada Tuhan agar memberinya mimpi indah yang penuh harapan, karena saat terbangun, neraka yang baru harus dijalani. Gadis manis itu tergeragap bangun. Wajah, selimut, dan kasurnya basah kuyup. Ayah melemparkan segayung air dingin dari kamar sebelah, lagi. Sepertinya itu adalah hobby baru Ayah yang sering ia lakukan akhir-akhir ini. "Bangun anak pemalas!" teriak Ayah, "mau tidur sampe kapan kamu?!" Ayu meringis, mimpi indahnya tercerabut begitu saja. Ia bangun dengan setengah hati kemudian menjemur kasur, mandi dan berangkat sekolah. Kini Ayu sudah duduk di kelas 5 SD. Gadis itu mendesah pasrah membayangkan rutinitas hariannya kali ini; pulang, masak, menjaga adik, merapikan rumah, kadang diselingi beberapa pukulan, tamparan, atau cubitan. Tidur, bangun, mengulang cerita yang sama. Hidup monoton dan penuh tekanan batin. Karena jarang diberi uang jajan, beberapa kali diam-diam Ayu atau Umar mengambil uang Ibu di lemari pakaian, seratus atau duaratus rupiah. Tapi terlalu takut untuk mengakui saat Ibu bertanya. "Siapa yang ambil uang Ibu?" tanya Ayah. Ternyata Ibu melaporkan perbuatan kakak beradik itu kepada Ayah. Ayu dan Umar terdiam di hadapan Ayah, sudah biasa disidang seperti itu. Paling dapat tamparan atau cubitan, mereka sudah kebal. "Ngaku!" bentak Ayah sambil mengayunkan sapu lidi ke betis Ayu dan Umar. Ayu hanya meringis, mengusap betis kanannya yang sudah membengkak terkena sabetan. Bekas sapu lidi tercetak jelas di sana, memerah dan sedikit lecet. Kali ini bukan Ayu yang mengambil uang Ibu, tapi dia tidak mau menuduh Umar. Tidak tega kalau Umar harus di hukum sendiri karena kadang ia juga mengambilnya. "Keluar kalian!" Ayah menarik tangan Ayu dan Umar ke halaman. "Berdiri di sana!" perintahnya lagi sembari menunjuk pohon mangga, lalu masuk ke dalam rumah. Pria itu kembali membawa tali jemuran, mengikat tubuh Ayu dan Umar ke batang pohon. "Jangan lepasin sampai mereka ngaku," kata Ayah kepada Ibu yang menatap dari depan pintu. "Ngga usah kasih makan." Kedua bocah ingusan itu berdiri tanpa suara, merasakan sinar matahari yang semakin panas dan menyengat. Haus dan lapar, sudah hampir dua jam mereka terikat seperti ini. Ayu menunduk, saat teman-temannya berjalan lewat depan rumah, menunjuk-nunjuk dan tertawa ke arahnya. Malu setengah mati. Tanpa Ayu sadari, rasa marah dan benci perlahan mulai merasuk dalam hati. Benci pada ayahnya, juga ibu yang saat ini perlahan sedang berjalan menghampiri Ayu dan Umar. "Masuklah," kata Ibu setengah berbisik, "Ayah lagi tidur, jangan berisik. Sana makan," ujarnya lagi sembari melepas ikatan di tubuh Ayu dan Umar. Hari sudah hampir sore. Ayu tidak menjawab. Untuk apa? Bukankah karena Ibu mengadu, Ayu dan adiknya dihukum sedemikian rupa. Ayu menarik tangan Umar, mengajak bocah itu pergi ke rumah Tante Yani. Tidak menyahut atau berbalik saat Ibu memanggil nama mereka. Ingin sekali rasanya minggat dari rumah, tapi pergi ke mana? Ingin mengadu dan meminta tolong, tapi pada siapa? Ayu bingung, tidak ada sanak keluarga yang dikenalnya di sini. Lagi pula, tidak ada uang satu rupiah pun di kantong. Hanya ada Tante Yani yang tidak dapat berbuat banyak. Tetangga pun cuma bisa menatap dengan iba, bukan hak mereka untuk ikut campur masalah rumah tangga orang lain, begitu kata mereka. Tantenya itu tidak banyak bertanya saat melihat Ayu dan Umar datang ke rumahnya. Ia hanya menyuruh kedua anak kecil itu melihat makanan di atas meja dan makan. Itulah yang Ayu sukai dari tantenya ini. Ayu mengembuskan napas pelan, seandainya saja ia anak Tante Yani dan bukan anak ibu. "Ayo pulang," ajak Ibu. Wanita itu menyusul ke rumah adiknya."Udah maghrib, kalian dipanggil Ayah." Ayu bergeming, tidak sudi pulang ke rumah. Gadis itu sudah bertekada dalam hati, kali ini ia akan memberontak. Tatapan mata Ayu yang sarat emosi mengiringi kepergian Umar yang beranjak mengikuti Ibu pulang ke rumah. "Kamu mau tidur di sini?" tanya Tante Yani. "Boleh?" "Iya, nanti tidur sama Andin aja ya. Bibi berangkat malam." kata Bibi. Beliau bekerja di dapur Rumah Sakit. Jam kerjanya kadang pagi, siang, atau malam. Andin adalah anak perempuan tante, usianya terpaut tiga tahun dengan Ayu. Kadang Andin tidur di rumah nenek dari pihak ayahnya jika Tante Yani tugas malam. "Iya, terima kasih, Tante." Wanita berparas mirip dengan ibunya itu tersenyum kemudian menyuruh Ayu makan malam. Ayu makan dengan lahap, masakan tantenya terasa sangat nikmat. Setelah selesai makan Ayu duduk menonton TV di ruang tamu, tak dihiraukannya kedatangan ibu yang kedua kali untuk menjemputnya, menyuruh pulang. "Ngga mau, aku nginap di sini aja." "Ayolah, nanti kalau Ayah yang ke sini, kamu tambah dihajar." "Udah sana, pulang," ujar Tante Yani menengahi, "sebentar lagi Bibi berangkat." Ayu ingin sekali melawan, tapi tidak tega melihat ibu terus membujuk dan merayu, tidak enak hati juga kepada Bibi. Akhirnya Ayu mengalah dan berjalan di belakang Ibu, pulang. "Dasar anak sialan kau!" maki Ayah begitu Ayu masuk ke dalam rumah, "udah berani kurang ajar kamu ya! Anjing! Kerbau! Sini kamu!" Ayah menarik rambut Ayu dengan kasar, membanting tubuh kurusnya ke kursi. Pria itu meledak dalam kemarahan, tangannya menampar dan memukul berkali kali. Ayu melihat Umar tampaknya telah lebih dulu dihajar dan menangis sejak tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD