3. Mood

1037 Words
Saat ini Nirmala masih dengan posisinya yang tengkurap sambil matanya tak lepas menatap layar ponselnya yang telah mati. Kedua pipinya masih bersemu merah, kejadian beberapa waktu yang lalu masih terekam dengan jelas di kepalanya. Demi apa pun yang ada di dunia ini, Nirmala seakan merasa dia baru saja kejatuhan rejeki nomplok, saat ia dengan isengnya melakukan panggilan video call dengan dr.Rey yang justru ia malah disuguhi pemandangan eksotis di depan matanya secara live. Pemandangan tubuh kekar dr.Rey sukses membuat seluruh tubuh Nirmala terasa panas dingin sebagai efek sampingnya. Model iklan majalah dewasa Calvin Klein saja rasanya kalah jika harus dibandingkan dengan pemandangan eksotis tubuh dr.Rey di mata Nirmala. Dan beruntungnya, dalam gerakan tangannya yang gesit tadi Nirmala sempat beberapa kali mengambil gambar screenshot dari hasil video call-nya dengan dr.Rey. Masih dengan senyum malu-malu menyebalkannya, Nirmala terus-terusan menggeser layar smartphone-nya untuk melihat hasil screenshot-nya tadi. Dalam pikiran Nirmala kini, bahkan telah tersusun berbagai rencana jahat untuk melakukan guna-guna atau pelet sekali pun jika itu merupakan pilihan terakhirnya agar ia bisa memiliki dr.Rey. "Pokonya dr.Rey harus nikah sama aku, gak mau tau. HAHAHA!" Layaknya orang gila, Nirmala tertawa sendiri di kamarnya. Sesekali ia memperbesar layar hp-nya untuk melihat detail tubuh dr.Rey yang bertelanjang d**a, bahkan sesekali ia menciumi foto dr.Rey dalam diamnya. Dasar psikopat. Suara ketukan dari pintu kamarnya berhasil mengalihkan kegiatan Nirmala yang sedang mengagumi layar ponselnya, ia menatap tajam pintu kamarnya seolah-olah mengutuk siapa pun yang mengganggu kegiatannya. Pada akhirnya dengan langkah malas-malasan Nirmala berjalan membuka pintu kamarnya dan langsung memasang wajah datarnya ketika mendapati siapa yang mengusiknya. 'Pelakor!' "Nirmala, ayahmu menelpon." Tanpa menjawab perkataan ibu tirinya, Nirmala segera menutup pintu kamarnya dengan keras hingga menimbulkan suara berdebum tanpa mempedulikan respon wanita yang berstatus ibu tirinya itu. Sementara Nuri -ibu tiri Nirmala- hanya mengelus dadanya pelan mendapati sikap Nirmala yang tak pernah baik padanya, lalu tanpa kata dia pergi meninggalkan Nirmala karena sudah tau respon gadis itu yang tidak akan pernah luluh olehnya. Wajah Nirmala yang semula sumringah kini berubah kusut setelah melihat wajah wanita itu. Ia membenci wanita itu, dia adalah pelakor. Dan parahnya ayahnya malah membawa wanita pelakor itu ke rumahnya sebulan setelah ibunya meninggal dengan seorang anak kecil berumur 5 tahun yang diakuinya sebagai anaknya. Cih, drama macam apa ini. Disaat Nirmala tengah berduka atas kematian ibunya yang mengidap penyakit komplikasi, sebulan setelahnya ia justru dihadapkan pada kenyataan bahwa ayahnya selama ini diam-diam menyimpan seorang selingkuhan yang bahkan telah memiliki anak berusia 5 tahun. Bangsat bukan? Nirmala kira kisah seperti itu hanya akan ia temui di cerita-cerita fiktif atau drama norak yang sering tayang di televisi, tapi nyatanya kisah hidupnya tidak jauh dari kata norak saat drama sialan itu menimpa kisah hidupnya, miris. Dengan kondisi mood yang sudah hancur total, kini Nirmala tidak tau harus berbuat apa. Inilah alasan kenapa dia sangat malas jika harus berada di rumah, karena baginya kini rumah bukan lagi tempat untuk pulang, melainkan neraka. Meski pun sudah setahun berlalu semenjak wanita ular itu tinggal satu atap dengannya, namun tak sedikit pun Nirmala luluh akan sikapnya yang mencoba baik pada Nirmala. Nirmala sudah terlanjur mengeraskan hatinya di detik pertama semenjak ia mengetahui fakta b******n dari ayahnya. Rasanya tak ada yang bisa menggambarkan perasaan Nirmala saat ini, ia terlalu banyak menyimpan emosinya. Segala sesuatunya ia simpan sendiri hingga menggelapkan hatinya, namun saat di luar Nirmala justru malah bersikap sebaliknya. Begitu ceria dan konyol, hingga tak akan seorang pun menyangka luka terpendam apa yang tersimpan di balik setiap tingkah konyolnya. Terdiam selama beberapa saat, Nirmala berpikir bahwa ia tidak akan bisa jika terus-terusan satu atap dengan orang yang dia benci. Ia ingin kabur, namun dia tidak tau kemana tujuan yang akan dia datangi. Tak menunggu waktu lama, Nirmala kini segera memakai setelan baju kasual dan mengambil tasnya. Ia memutuskan untuk sekedar jalan-jalan ke luar dan pulang larut malam. Ya, jika berada di rumah hanya akan membuatnya cepat tua dan stress, lebih baik dia pergi ke luar dan melupakan masalah di luar, hitung-hitung sebagai pelarian tidak terlalu buruk. Setelah beberapa saat berjalan tak tentu arah di luar, kini Nirmala tengah berada di halte bus. Entah kenapa dia ada disini, gabut yang melanda terkadang memang membuat Nirmala ingin pergi seenak jidatnya. Sambil duduk di bangku tunggu, Nirmala kembali membuka layar hp-nya dan memutuskan untuk menghubungi temannya. Karena mungkin menginap di rumah temannya tidak terlalu buruk, lagi pula Nirmala juga malas sekali jika harus kembali ke rumah. *** Di sekolah kini Nirmala hanya menelungkupkan dagunya ke atas meja, berulang kali meniup poninya khas gaya orang gabut pada umumnya. Ia merasa pelajaran guru yang sedang menuliskan rumus kimia di depan sangat membosankan baginya. Terlalu bertele-tele, ribet, dan endingnya tidak berguna. Nirmala bukan anak yang bodoh, hanya saja dia sering kali malas belajar dan beberapa kali malas mendengarkan guru yang sedang menjelaskan di depan. Pemikirannya terlalu abstrak hingga sulit untuk ditebak oleh orang di sekitarnya, sering bertingkah konyol namun tak jarang juga omongannya pedas setajam silet. Nyelekit. "Na, lo abis ini mau ke rumah sakit kan? Gue ikut yaa, oke makasih." Nana yang ditanya Nirmala hanya geleng-geleng pelan sambil menggerutu pelan dengan kebiasaan Nirmala yang kalau bertanya suka dijawab sendiri seenak jidatnya. "Gak gue iyain juga pasti lo ikut, lagian apa bagusnya dokter itu sih La, dia udah om-om loh," melihat pelototan Nirmala kontan Nana buru-buru mengoreksi perkataannya, "oke dia ganteng untuk ukuran om-om, ya tapi masa selera lo om-om sih La." Tak mau menyerah begitu saja dengan pendapatnya, Nana tetap berusaha menegaskan bahwa laki-laki yang disukai atau lebih tepatnya yang digilai Nirmala adalah seorang om-om menurut pandangan Nana. "Gue gak denger, pake headset," Nimala mengabaikan perkataan Nana dan sibuk dengan layar ponselnya. "Ih lo mah gitu kalo dibilangin, jangan-jangan lo dipelet ya sama dokter itu?" "Wahh mau dong dipelet, ikhlas banget dedek. Malah gue yang ada niatan mau pelet dr.Rey," Nirmala nyengir lebar kepada Nana yang dibalas Nana dengan menepuk jidatnya tidak paham dengan cara pikir sahabatnya.  Dia juga sering heran bagaimana bisa ia bersahabat dengan sosok aneh bin ajaib semacam Nirmala. Kepribadian penuh kejutan dari gadis itu sungguh berukang kali membuatnya mengucap istighfar tiap kali melihatnya. Tingkahnya sekarang tak ubahnya seperti gadis lugu yang telah terkena semar mesem. (Guna-guna yang populer di daerah Jawa) Cinta itu, emang terkadang bikin orang tambah gila. To be Continued...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD