"Dika mo cokat boleh?" pinta Dikara.
"Boleh, Nak. Satu skup saja, ya?" Raya kembali mengingatkan. Mereka memesan ice cream di salah satu gerai terkemuka. Setelah mendapat makanan dingin itu, Arkian bawa nampan menuju meja. "Ini punya siapa?" tanya Arkian mengangkat salah satu mangkuk berisi es krim cokelat.
"Punya Dika!" seru Dikara. Arkian langsung simpan makanan itu di depan Dikara.
Mall hari itu sangat ramai. Di luar gerai terlihat banyak orang bolak-balik. Di luar sana hujan turun dengan derasnya. Sudah lama tak hujan, Bandung kini disapa dengan kesejukan dari awan yang sudah mengalami kondensasi.
Dari kaca gerai langsung berhadapan dengan ujung esklator yang menanjak. Arkian melihat satu per satu orang yang naik ke lantai ini. Ada beberapa pasangan bersama anak mereka, terlihat gembira seakan tak memiliki kesedihan.
Sementara Raya dan Dikara masih berbagi obrolan. "Dika mo beli sepatu balu. Ental pake sekolah, Ateu."
"Emang Dika mau sekolah?" tanya Raya.
Balita itu mengangguk. "Kata Nenek, Dika bisa sekolah. Bental lagi mau empat tahun. Enam lagi, ya?" tanya Dika.
"Benar, enam bulan lagi." Raya menunjukan angka enam dengan jarinya. Dika mengikuti. "Coba hitung jari kamu yang berdiri ada berapa."
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam!" seru Dikara.
"Benar. Ada enam jari. Nanti dihitung di kalender rumah. Berapa banyak angka satu yang sudah dilewati. Oke?"
Dikara mengangguk. Dia mengambil sendok dan menyendok es krim dalam wadah. Ketika memasukan dalam mulut, terlihat Dikara tersenyum begitu manis sekali. Kepalanya bergerak ke sisi kanan dan kiri. Dia pun melompat-lompat perlahan di kursi. "Esklim enak," puji Dikara.
"Iya, enak. Kalau makan yang enak bilang apa?" Raya mengetes anak itu.
"Alhamdulillah," ucap Dikara. Anak itu menekan-nekan sendok ke cup es krim. "Tadi, Dika sama Papa solat, loh. Solat di masjid. Banyak olang sana tuh. Dika senang sekali," cerita Dikara.
"Wah, kamu sudah mau salat. Anak jagoan. Alhamdulillah, Dika sudah mau jadi hamba Allah yang pandai dan jagoan!" puji Raya.
Dikara kembali makan. Raya sempat melirik ke arah Arkian. Pria itu masih memandang ke luar dinding kaca. Raya menepuk lengan Arki hingga pria itu terperanjat. "Kak Arki kenapa?" tanya Raya khawatir.
"Aku? Ouh, tadi itu aku lagi lihat itu!" tunjuk Arkian ke luar jendela.
"Lihat apa? Enggak ada apa-apa," timpal Raya melihat ke sisi di mana Arkian menatap. Dia kebingungan sendiri karena hanya melihat eskalator dan orang yang naik ke lantai itu. Selebihnya di sisi kanan dan kiri ada toko ponsel dan laptop. "Kak Arki mau beli gadget baru?"
"Kepo kamu, tuh!" ledek Arkian.
"Dari tadi Kak Arki itu ngelamun terus. Aku ngobrol sama Dikara sampai enggak digubris. Kenapa? Lagi ada masalah?" tanya Raya.
Arkian menggelengkan kepala. Dia mengeluarkan suara lenguhan pelan. Terlihat lemas dirinya sampai menyandarkan dagu ke tangan. "Kamu pernah ingin melakukan sesuatu, tapi enggak bisa? Rasanya kesal, kecewa sama diri sendiri dan males ngapa-ngapain," ucap Arki.
Melihat ekspresi pria itu, Raya merasa kasihan. Sepertinya ada beban besar yang Arkian tanggung. "Ada masalah apa? Lebih baik cerita kalau enggak bisa selesaikan sendiri. Kak Arki memang sudah dewasa, lebih dewasa dari Raya. Bukan artinya Kak Arki lebih jago memecahkan masalah dibandingkan Raya," pinta Raya.
Arkian kini menatap gadis itu sambil tersenyum. Dia ambil sendok dan memainkan es krim di cup. Sesekali Arkian sendok makanan itu dan makan. Terasa dingin di mulut dan manis. Hanya saja dia tak percaya makanan manis bisa membuat bahagia. Nyatanya, Arkian masih merasa sedih.
"Aku rindu Laras," ucap Arkian. Kalimat yang selalu dia tepis akhirnya dia ucapkan di depan Raya. Ucapan yang membuat Raya merasa sangat kasihan. "Lucu, ya? Rindu sama orang yang sudah meninggal. Aku sampai bayangin Laras masih ada di sini. Tadi saja aku lihat orang mirip dia sampai aku kejar. Pas kukejar enggak ada. Malu enggak sih, itu hasil lamunanku sendiri ternyata."
"Nyimpen rasa cinta itu enggak enak emang. Anggap saja kayak suka sama seseorang, tapi orang itu enggak tahu. Ingin bilang cinta enggak berani, enggak bilang jadi beban. Kadang berharap bisa megang tangan dia, dengar dia bilang cinta dan sayang. Namun, itu mustahil banget, ya?"
Arkian mengangguk. "Kadang aku bingung harus gimana. Kamu tahu gimana perasaan aku sama Laras dulu. Gimana aku berjuang sampai bisa nikahin dia. Sempat ditolak mertua, sempat pula enggak diizinin orang tua."
"Tapi Kak Arki maju terus. Kak Arki hebat. Dan aku juga ngerti kenapa sulit buat Kak Arki lupa. Apalagi ada Dikara. Dia pasti ingatkan Kak Arki sama Kak Laras karena dia yang jadi tanda kalau cinta itu pernah ada." Raya mengusap kepala Dikara.
Arkian manyun. Dia menggeser kursi lebih ke depan. Gerai itu semakin ramai. Banyak keluarga yang datang ke sana untuk membeli es krim dan minuman dingin. Kemudian, mereka nongkrong di sana sambil mengobrol.
"Cuman kamu yang bilang gitu sama aku. Yang lainnya sudah cerewet dan maksa aku nikah lagi."
Raya menggigit bagian bawah bibirnya. Dia menyendok es krim, tetapi menjatuhkan lagi ke dalam cup. "Jatuh cinta itu mudah, melupakannya sulit. Butuh waktu. Jangankan untuk seseorang yang pernah jadi bagian hidup kita. Bahkan untuk melupakan seseorang yang hanya hidup dalam harapan saja sangat sulit. Suatu hari pasti Kak Arki bisa lupa. Hanya saja harus mulai dari sekarang. Perlahan, tetapi pasti," tegas Raya.
"Kamu benar. Aku sudah terlalu lama terjebak dalam masa lalu. Aku hanya butuh perlahan untuk lupa."
Raya menunduk perlahanan. "Jangan paksa diri kalau sulit. Semua butuh proses. Yang berusaha walau tak terlihat pasti lama-lama akan bertambah hasilnya. Semangat!" seru Raya sambil memegang tangan Arkian dan mengacungkannya ke atas.
"Terus kamu kapan mau nikah?" tegur Arkian langsung ke hati terdalam Raya.
"Kak Arki mau bayarin biaya dekor, Cathering, apa semuanya? Kalau siap, aku juga bakalan nikah cepat-cepat." Raya melepaskan tangan Arkian.
Sedang Arki mengeluarkan suara decakan dari mulutnya. "Kenapa harus aku yang bayar? Yang nikah 'kan kamu. Kecuali kamu nikah sama aku," seloroh Arkian.
Seketika Raya tertegun. Dia tatap Arkian dengan mata yang bergetar. Namun, pria itu masih santai memakan es krimnya. Raya menunduk kembali sambil tersenyum perih. "Kalau enggak ada yang mau nikahin aku, Kak Arki saja yang nikahin aku, ya?" pinta Raya.
Arkian malah tertawa. "Sayangnya banyak yang mau nikahin kamu. Contohnya si Bara, tuh!"
Keduanya sama-sama tertawa. Namun, hanya Raya yang tertawa palsu. Padahal dalam hatinya terasa nyeri.
***
"Ini paketnya apa?" tanya Aril dengan suara tinggi. Pria itu tengah memanggil bawahannya karena insiden sebuah paket.
"Katanya makanan, Pak," jawab salah satu pegawai.
"Makanan? Sudah dicek?" tanya Aril.
"Dari keterangan pengirim."
"Enggak tanya makanannya apa?" Aril semakin dalam bertanya. Pegawainya hanya menggelengkan kepala. "Harusnya kamu tanya, dong. Baunya kayak gini. Ini kalau kita paksakan kirim akan berbau ke paket lainnya. Sekarang tengok itu gudang! Belum lama saja sudah bau kayak gitu? Mau bersihinnya?" Aril berdiri sambil berkacak pinggang.
"Tapi kita enggak boleh langgar privasi pengirim, Pak," timpal karyawati lainnya yang berdiri paling belakang.
Aril menatap karyawati itu, sayang masih terhalang karyawan lain. "Kamu bagian apa?" tegur Aril.
"Saya billing staff, Pak," jawab wanita itu.
Aril sedikit kaget melihat wajah wanita itu, hampir mirip Laras walau tidak sepenuhnya. Hanya saja wanita ini punya pipi yang lebih tirus. Melihat sekilas memang mirip, hanya kalau melihat lebih lama baru mulai terlihat jelas bedanya.
"Nama kamu siapa?" tegur Aril.
"Yasmin, Pak."
"Kamu baru kerja di sini?"
"Saya sudah bekerja selama empat tahun di cabang lainnya, Pak. Dan baru pindah ke sini bulan lalu," jawab Yasmin.
Terlihat ekspresi kesal Aril. "Berarti kamu harusnya tahu aturan di sini. Privasi? Terus kalau sampai mereka ngirim bom, kamu masih terima gitu? Kalau sampai mereka neror orang, kamu juga terima? Yang enggak boleh kamu bocorin itu data pribadi pengirim, bukan isi paketnya!" omel Aril.
"Maaf, Pak," ucap Yasmin.
Aril menunjuk wanita itu. "Kamu yang izinin makanan ini masuk tanpa pelindung tambahan?" omel Aril.
Yasmin mengangguk. Dia menunduk seketika, tak berani lagi menatap wajah Aril. "Bagus! Sekarang gimana? Banyak paket yang terkena bau makanan ini dan bahkan minyaknya merembes terkena paket lain? Mau ganti?" omel Aril.
"Maaf, Pak."
"Maaf! Tunggu surat peringatan buat kamu. Sekarang kerja lebih hati-hati lagi! Bersihkan semua paket yang kotor! Syukur kalau hanya dilapisan pelindungnya. Kalau sampai ada yang komplain kena paket mereka, aku pastikan kamu ganti!" tunjuk Aril.
Yasmin mengangguk lalu berjalan keluar dari ruangan bersama karyawan lain. Mereka menepuk pelan bahu Yasmin yang terlihat tak lagi semangat.
"Sabar. Namanya juga kecelakaan. Sekarang kamu doa saja paket lain enggak ada yang kotor," saran salah satu temannya.
"Kalau sampai kotor, minta ganti saja sama pengirim. Dia enggak asuransiin paketnya, 'kan?" Yang lain ikut menimpali.
"Tetap saja, aku harus ganti. Gimanapun aku yang sudah lalai bikin semuanya jadi kayak gini. Pasrah saja, deh," keluh Yasmin. Dia menarik napas dan pergi ke mini market dekat kantor untuk membeli tisyu. Dengan benda itu, Yasmin bersihkan beberapa paket di gudang. Dia cek satu per satu. Syukur paket-paket itu banyak yang dilapisi plastik hingga tak terkena noda ke bagian dalam.
"Bau banget!" Yasmin menggerak-gerakan tangan di depan wajah. "Lagian orang itu ngirim apa, sih? Kok baunya sampai begini?"
Sementara Aril langsung membawa paket itu ke bagian contact. "Tolong hubungi pemilik paket ini, ya? Suruh datang cepat," pinta Aril.
"Baik, Pak."
"Kalau sudah datang, tolong tangani sesuai SOP. Kalau dia mengeluh dan sebagainya, hubungi saya di kantor," tegas Aril.
Setelah itu Aril berjalan menuju parkiran. Sudah waktunya dia pulang. Tiba di depan mobil ponselnya bergetar. Dia lihat nama yang muncul di kontak. Ini dari Liris, ibunya Arkian.
"Assalamualaikum, Bu," sapa Aril.
"Wa'alaikusalam, Ril. Kamu lagi kerja enggak?" tanya Liris.
"Sudah pulang, Bu. Ada apa?" Aril merasa tak enak hati tiba-tiba ditelpon ibu Arkian.
"Ibu mau tanya soal Arki sama kamu. Kamu itu 'kan sahabat dekat sama Arki. Mungkin kamu tahu gimana keadaan dia. Habis Ibu setiap tanya dia suka jawab baik-baik saja. Namanya insting seorang ibu enggak bisa dibohongi, Ril," curhat Liris.
Aril menyandarkan punggung ke mobil. "Aku ngerti perasaan Tante. Memang sih, kadang aku sering lihat Arki suka ngelamun. Aku mulai khawatir sama dia. Memang dia kayaknya bisa besarin Dikara dengan baik. Tapi dia enggak merhatiin dirinya sendiri. Kalau ditengok juga, dia kayaknya kurusan, Bu."
"Nah, 'kan? Kamu saja sahabatnya bilang kayak gitu. Apalagi aku Ibunya. Karena itu Ibu bingung mau gimana sama Arki. Ibu mau jodohin dia sama kenalan Ibu. Bisa enggak kamu bujuk dia supaya mau?"
Di sini tentu saja Aril bingung. "Aku bukannya enggak mau, Bu. Tahu sendiri gimana Arkian. Dia mau dibujuk gimana pun tetap saja enggak mau. Justru aku pikir Ibu yang paling bisa bujuk dia."
"Justru dia ada saja alasannya. Katanya kasihan Dikara kalau perempuannya enggak bisa sayang. Dikara masih kecil dan selalu alasannya Dikara. Padahal Ibu yakin dia kayak gitu karena enggak bisa lupain istrinya."
"Aku setuju sih apa yang Ibu bilang. Nanti aku coba bujuk. Mudah-mudahan kali ini bisa ngerti dia."
"Makasih banyak, Ril."
"Sama-sama, Bu."
Setelah telpon ditutup, Aril memasukan kembali benda itu ke dalam saku. Dia menarik napas panjang. "Apa aku ajak Bara juga, ya? Ngomong sama Arkian sendiri, pasti kalah."
Aril buka pintu mobil dan masuk ke dalam. Tiba di dalam, Aril telpon Bara dan mengajak ke rumah Arkian. Sebelum itu, Aril harus pulang dulu untuk mandi, berganti pakaian dan makan. Ibunya pasti bertanya kalau dia tak langsung pulang. Maklum, anak satu-satunya yang masih bujangan.