Chapter 9. Yasmin Dan Raya

1809 Words
"Jam berapa?" tanya Bara ketika Aril menelponnya. "Jam delapan saja abis Isya. Biar enak. Jam segitu pasti Dika sudah tidur. Kalau gitu kita lebih enak ngobrolnya. Soalnya kalau belum tidur, Dikara kadang suka rewel," jawab Aril. "Emang mau ngomongin apa, sih?" Bara menyimpan handuk ke dalam wadah cucian. Aril menyeruput kopi yang dia baru buat dan duduk di kursi kerja. "Nanti dibahas di sana. Pokoknya kita ngumpul saja dulu. Sekalian kita nginep saja, lah. Lagi males aku di rumah," keluh Aril. "Kenapa? Tumben. Kena amuk lagi?" Bara cekikikan. "Biasa adekku. Bikin masalah lagi dia. Bapakku sampe ngomel terus. Jadi pusing ke otakku juga. Mendingan aku nginep saja di luar," jelas Aril. "Ya sudah, aku siap-siap dulu ini. Sekalian mau salat. Kalau on the way, aku hubungin kamu, deh." Bara menutup telpon. Aril lekas pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudu karena suara azan sudah terdengar. Selesai salat, Aril langsung mengambil tas dan mengisinya dengan beberapa helai pakaian. Setelah berkemas, Aril berjalan keluar dari kamar. Terdengar suara pintunya dibuka dan ditutup hingga memancing perhatian kedua orang tuanya. "Mau ke mana, Ril?" tanya ibu Aril. Aril menyiapkan diri untuk mencari alasan. Kalau salah ucap, dia bisa kena omel. "Aku mau ke rumah Arkian, Bu. Soalnya dia lagi ada masalah gitu. Ya, aku mau nemenin dia. Sekalian mau ngomongin bisnis juga," jawab Aril. "Di rumah juga lagi ada masalah sama adekmu itu! Ngapain kamu peduli masalah orang?" Bapak Aril mengomel lagi. Sudah Aril prediksi akan seperti ini. "Urusan bisnis bersama habis masalahnya. Kalau aku enggak ke sana, jadi enggak ada kejelasan." Aril lebih memilih berdusta mengatasnamakan bisnis agar terlihat berguna di depan kedua orang tuanya. "Ouh, ya sudah benerin urusanmu. Jangan bisnis yang enggak jelas kayak adekmu. Kaya enggak, rugi iya. Harus jaga uang baik-baik. Contoh itu Si Arkian, jadi pengusaha sukses. Kamu tiru cara usahanya. Ngerti?" nasihat Bapak Aril. Kali ini Aril bisa bernapas lega. Pria itu lekas keluar rumah. Dia nyalakan mobil. Syukur sampai mobil keluar dari lingkungan rumah, tak ada orang tuanya menyusul atau memanggil. Mobil Aril menjejal jalanan Kota. Di depan kendaraan saling berkejaran karena jalan sepi. Titik hujan turun dari langit dan menetes ke kaca mobil. Satu per satu tikungan dan lampu merah Aril lalui hingga masuk ke dalam kompleks perumahan. Rumah Arkian berada di blok A, paling depan. Rumahnya berlantai dua dengan gerbang hitam dan halaman yang tak terlalu luas, tetapi cukup untuk sebuah kolam renang, walau tak ada kolam renang di sana. Aril menepikan mobil. Dia matikan mesin mobil dan turun dari sana. Terdengar suara mesin mobil dari belakang. "Woy!" seru pemilik mobil itu. Aril melihat ke samping. Itu Bara tengah duduk di kursi kemudi mobil. "Buruan parkirin! Nanti ada mobil masuk, tahu!" omel Aril sambil menggerak-gerakkan tangannya. Bara memberi jempol. Dia setir mobil dan menepi tepat di depan mobil Aril. Kedua pria itu tak lupa memastikan mobil dalam keadaan aman ditinggal di sana. Maklum garasi mobil Arki hanya cukup dua mobil dan sudah diisi pemilik rumah. Di gerbang, mereka menekan bel. Tak lama terlihat pembantu Arki keluar dari pintu kecil garasi. "Bi, Arkian ada di rumah?" tanya Bara. "Ada, Mas Bara. Lagi ngobrol sama Pak Parno di halaman belakang," jawab Bi Nah. "Makasih, Bi." Bara dan Aril langsung masuk ke lingkungan rumah. Kedua pria itu berjalan menuju pintu. Bara tekan gagang pintu, tetapi terkunci. "Bi Nah, ini gimana Enggak bisa masuk," keluh Bara. "Lha, sudah malam pasti dikunci sama Tuan. Saya 'kan di rumah sebelah," jawab Bi Nah. "Terus aku masuk lewat mana?" Bara bingung sendiri. Rumah Arkian ini ada dua bagian. Satu bagian kecil digunakan untuk rumah pembantu dekat dapur dan tempat mencuci. Sedang rumah paling besar tentu rumah pribadi pria itu. "Bi Nah mau lewat belakang dulu. Nanti minta Tuan bukain," saran Bi Nah yang langsung diiyakan oleh kedua bujangan itu. Mereka lumayan lama menunggu Bi Nah pergi. Tak lama terdengar suara pintu dibuka. Arkian muncul dari sana. "Ngapain ke sini?" tanya Arkian dengan nada kesal. "Mau nginep. Lagi mumet. Bokap lagi ngomel lagi. Biasa adekku habisin uang enggak jelas," jawab Aril. Arkian menatap Bara. Teman prianya itu menunjuk Aril. "Aku nemenin dia. Kasian kalau kalian berduaan. Nanti yang ketiganya setan," jawab Bara. "Kamu setannya, dong? Kamu 'kan yang ketiga," ledek Aril hingga Bara menggetok kepala pria itu. "Masuk! Udaranya dingin." Arkian membuka pintu lebih lebar. Begitu kedua temannya masuk, Pria itu mengunci kembali pintu. Arkian nyalakan lampu ruang tamu. Baik Aril dan Bara langsung menyerbu rebahan di sofa. "Tamu macam apaan, kagak ada sopan-sopannya," omel Arki. "Kayak sama siapa saja! Lagian juga kita sama-sama bujangan. Bedanya kamu bujangan beranak," seloroh Aril. Hanya Arkian yang duduk di sofa. "Ar, mau soda, dong." Aril minta soda, tetapi dia bangun dan berjalan sendiri ke dapur. "Nah, kapan lagi ada tamu baik kayak gitu? Minum saja ngambil sendiri." Bara menunjuk Aril. "Iya emang kalian tuh, tamu yang mandiri. Saking mandirinya minta ditabok!" Arkian menunjukkan tinju ke arah Bara. "Dika ke mana, Ar?" Bara pura-pura melihat ke arah mezanin 'balkon dalam ruangan'. "Jam berapa sekarang? Dia pasti sudah tidur, Bar. Tahu sendiri anakku. Dia itu jarang bergadang. Terakhir saja malam tahun baru diajak bergadang malah tidur." Arki memindahkan bantal sofa ke belakang punggungnya. "Anak yang baik. Dia tuh ya tahu banget Papanya sibuk. Di toko betah, di rumah juga sama. Walau kecil sudah mandiri," puji Bara. "Namanya dipaksa keadaan. Mau rewel sama siapa? Dia tahu Papanya harus cari uang. Kalau Papanya enggak bisa cari uang, dia enggak bisa jajan. Kadang rewel, sih. Untung kalau di toko ada Raya. Dia 'kan nurut banget sama Raya. Mungkin karena Raya teman ibunya." Aril kembali dari dapur. Pria itu menyimpan kaleng soda di atas meja. Arkian tertegun. "Ouh iya, tadi aku pergi sama Raya. Dia kabur kencan buta," adu Arki. "Raya?" tanya Bara dengan ekspresi kaget. "Bapaknya jodohin dia sama anak kenalan Bapaknya. Cuman dia sendiri ngerasa enggak cocok. Makanya milih kabur ikut aku beliin Dika es krim. Cepetan deketin lagi, Bar. Keburu dia cocok sama yang dijodohin," saran Arkian. "Aku sering chat dia. Tapi enggak dibales," keluh Bara. Arkian dan Aril saling tatap. "Aku pikir dia enggak nyaman aku deketin terus. Ya sudah, kalau emang jodoh enggak akan ke mana, 'kan?" tanya Bara. Arkian dan Aril mengangguk. "Eh, soal jodoh. Gimana kamu, Ar? Sudah ada calon?" Arkian membuka kaleng soda. "Dibilang berapa kali, aku tuh enggak ada niatan nikah buat sekarang ini. Aku mau fokus besarin Dikara dulu. Kalian tahu gimana sekarang dia lagi butuh aku buat asuh dia. Nanti saja kalau Dikara sudah empat tahun," tolak Arkian. Bara mendecakkan mulut. "Nanti sudah Dikara empat tahun, kamu pasti bilang nunggu dia enam tahun. Terus saja mundur kayak gitu." Bara bangkit dan duduk di sofa. Dia naikan kedua kaki ke meja. "Emang kamu enggak mau punya anak lagi?" Aril memutar kaleng sodanya di meja. Mendengar kata punya anak lagi seakan menjadi teror untuk Arkian. "Dan kehilangan istri lagi?" tanya Arkian lemah. "Banyak wanita yang selamat melahirkan lebih dari yang meninggal. Jangan suuzon sama Allah. Itu memang takdir Laras untuk meninggal dalam keadaan sebaik itu. Justru kamu bersyukur." Aril jadi emosi. Arkian menggaruk pergelang tangannya. "Kalian enggak tahu rasanya. Kehilangan orang paling berharga itu sakit. Dan kalau sampai terulang, jujur aku enggak kuat. Tolong ngerti. Kalian sahabat aku." "Gimana kalau orang baru itu bisa nyembuhin? Kamu bukannya trauma, Ar. Kamu cuman belum move on. Dari dulu kamu susah jatuh cinta. Sekali jatuh cinta ngebucin. Dulu dikhianatin Syifa, kamu sampai ogah pacaran lagi. Kalau bukan karena ketemu Laras, kamu enggak akan buka hati." Bara tahu benar seluk-beluknya Arkian. Di sini Arki tak dapat berkilah. Dia hanya diam saja. "Aku dengar Ibu kamu mau jodohin kamu. Masa kalah sama Raya, sih. Raya itu lebih muda dari kita. Dia saja berani ketemu sama cowok yang dijodohin sama orang tuanya. Masa kamu enggak berani!" ledek Bara. "Iya, Ar. Ketemu dulu. Kalau cocok lanjut. Kalau enggak ya tolak saja. Yang penting kamu sudah usaha," timpal Aril. Arkian berpikir lama. "Kok kamu tahu Ibuku mau jodohin aku?" tanyanya curiga. Baik Aril dan Bara saling tatap. Keduanya memberikan tanda V dengan jari telunjuk dan jari tengah. "Kita ini saudara, Ar. Ya pasti lah gosip apa saja nyampe ke kita," alasan Aril. "Saudara dari mana?" *** "Kak Ghani sama Kak Sufi sudah mau pulang?" tanya Raya sambil membuang beberapa sampah plastik bekas pelapis label. "Iya, Raya. Sudah mau jam sepuluh malam, nih. Aku mau tutup pintu toko dulu, ya?" Ghani berjalan ke luar dapur. Raya mencuci tangannya. Tak lama terdengar Ghani memanggil Raya. Wanita itu lekas membasuh dan melap tangan lalu berjalan pergi menghampiri Ghani. "Ada dari ekspedisi katanya nyari kamu," ungkap Ghani. Raya mengangguk. Dia berjalan ke luar dapur. Ada seorang perempuan duduk di kursi pelanggan memakai seragam warna hijau. Raya dekati perempuan itu. Dia agak terkejut karena kemiripan wajah perempuan itu sekilas dengan Laras. "Kak Laras?" batin Raya. Perempuan itu berdiri. "Ini asistennya Arkian Nafees?" "Iya, benar. Ada apa ya, Mbak?" tanya Raya. "Saya Yasmin, pegawai ekspedisi JND. Ada paket dan dikirim ke sini. Tapi kata pegawainya tadi Pak Arkian sudah pulang." "Ouh, iya, Mbak. Pak Arkian hanya sampai pukul setengah tujuh di toko." "Maaf enggak diantar kurir. Karena kebetulan saya lewat sini, jadi saya yang antar. Saya minta tanda tangan di sini, Mbak." Raya menandatangani sebuah kertas yang Yasmin bawa. "Maaf, nama Mbaknya siapa?" tanya Yasmin lagi. "Nama Saya Raya, Mbak." "Makasih banyak Mbak Raya. Saya permisi dulu." Yasmin menunduk tanda hormat lalu berjalan ke luar. Wanita itu memakai helm dan motor. Raya menaikan alis. "Dibilang mirip Kak Laras, enggak. Dibilang enggak mirip juga, mirip," batin perempuan itu. Raya memutar paket di tangan. Paket itu Raya simpan di kantor Arkian. Tak lupa Raya bersihkan meja Arkian yang berantakan. Mainan Dikara ada di mana-mana. Raya melenguh. "Dia pasti capek banget. Kak Laras, coba kalau Kakak masih ada." Raya duduk di kursi Arkian. Dia tatap foto Laras yang masih ada di sana. Raya melihat ke sekeliling kantor. Tak lama dia berdiri dan mengambil sapu. Banyak orang yang bingung dengan Raya. Dia lulusan pendidikan dan sudah sarjana, tetapi memilih menjadi karyawan toko. Gajinya memang tinggi, lebih dari karyawan lain karena Raya jadi asisten di sini. Dia bertanggungjawab atas semua pekerjaan karyawan sehingga harus mengawasi mereka. Namun, bukan persoalan gaji. Keluarga Raya sudah lama bergantung pada keluarga Arkian. Bahkan dia kuliah pun dibiayai keluarga Arkian. Liris memang menganggap Raya seperti anaknya sendiri. Apalagi Arkian anak satu-satunya dan Liris ingin punya anak perempuan. Tetap saja, Raya merasa dia berhutang budi hingga harus membantu mengurus Arkian. Raya sapu kantor itu. Sufi melihatnya dari luar. "Rajin banget, Ra," puji Sufi. "Iya, ini kotor. Kayaknya Pak Arki enggak sempet nyapu. Cleaning service yang baru masuknya besok, 'kan?" tanya Raya sambil mengambil pengki. "Iya. Ya sudah besok saja sama dia sekalian dibersihin. Ini sudah malam. Nanti kamu pulang kemalaman. Bahaya," saran Sufi. Raya mengangguk. Dia hanya menyapu seadanya lalu menyimpan alat kebersihan itu di sudut ruangan. Raya mematikan lampu ruangan Arki dan menutup pintu kantornya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD