Malam terasa panjang di rumah Arki. Bara dan Aril duduk di depan kolam ikan. Ada sebuah gitar yang tengah Bara mainkan sedang Aril menyanyikan berbagai lagu zaman remaja mereka dulu. Mulai dari lagu Mengejar Matahari hingga lagu Yang Terdalam. Sedang Arkian mengetik berbagai laporan keuangan di laptop. Sepertinya hanya Arkian yang paling sibuk dari ketiganya. Apalagi setiap menjelang akhir bulan.
"Minggu ini kita traveling ke mana, yuk. Sudah lama kita enggak main ke alam. Kali nemu jodoh," ucap Aril menghentikan kegiatan menyanyinya.
Bara masih memetik gitar, hanya kali ini lantunan musiknya berbeda. Dia hanya sebatas memainkan asal terdengar merdu. "Inget zaman SMA dulu kita sering nongkrong di kantin sekolah. Ada pengurus kantin, namanya Pak Salim?" Bara memulai nostalgia mereka.
"Iya, yang kalau kita uangnya kurang dia izinin hutang dulu. Tapi dia inget terus loh. Sampai seminggu enggak bayar, dia masih nagih. Habis itu aku ogah hutang lagi di kantin," komentar Aril.
"Ya siapa suruh ngehutang, Jang!" ledek Arki walau matanya sama sekali tak berpindah dari layar laptop.
Aril memutar kursi ke arah Arkian. "Tapi anaknya cantik banget. Sayang waktu itu aku masih bau kencur. Si Teteh itu sekarang sudah nikah belum, ya? Masih cantik enggak?" Ada saja pembahasan yang Aril angkat.
"Yang pasti kalau nikah bukan sama kamu dan masih cantik pun bukan milik kamu!" Bara menoyor kepala Aril. Jadilah mereka saling tendang-tendangan hingga meja tempat Arkian bekerja bergeser.
Jelas orang kerja langsung memelototi keduanya kesal. "Kalian bisa diem enggak, sih? Dikara saja yang masih balita enggak seaktif kalian!" bentak Arkian.
Bara dan Aril langsung diam. Di antara ketiganya memang Arkian yang paling pendiam. Sedang Aril sudah jelas, paling pecicilan. Badannya pun paling kecil di antara mereka. Bara punya badan yang tinggi besar, tetapi tak gemuk. Arkian standar saja. Dia tak gemuk pun tak kurus. Tingginya juga di seratus delapan puluh senti meter, lebih pendek sedikit dari Bara.
"Kalau ingat masa lalu tuh suka sedih. Dulu zaman SMA kalau minta uang sama bokap, enggak dikasih pasti pengen cepet kerja biar punya duit sendiri. Habis kerja? Capek, kesel, bosen. Rasanya pengen balik ke zaman sekolah dulu. Mau nongkrong sama teman gini saja susah." Tangan Aril memukul-mukul meja. Matanya menatap lurus ke depan. Ada pohon cemara di sana dan juga tembok pembatas dengan rumah yang berbelakangan dengan Arki.
"Iya, bener banget. Sekolah tuh jauh lebih asik dari sekarang. Dulu paling tuntutannya cuman nilai. Sekarang? Dimintain gaji, dimintain uang jajan, belum ditanya kapan nikah ...." Bara ikut-ikutan bicara.
"Kapan punya anak, kapan anaknya nikah sampai ditanyain kapan mati," timpal Arkian.
"Kagak gitu juga kali, Ar!" protes Bara dan Aril.
"Lagian orang ngapain kepo sama kita, sih? Apa perlu kita bikin laporan hidup setiap hari?" Bara berdiri dari kursi. Dia melakukan peregangan.
Ponsel Arkian bergetar hingga menimbulkan suara yang membuat ketiganya kaget. "Kupikir jurig 'hantu'." Bara mengusap d**a.
"Raya yang telpon." Arkian mengambil ponsel dan mengangkatnya.
"Ada apa, Ra?" tanya Arkian.
"Kak Arki, ada paket tadi di kantor. Raya simpen di laci," jawab Raya.
"Paket dari siapa?" Arkian menutup jendela aplikasi di laptop.
"Dari PT. Perkasa Sejahtera. Raya enggak berani buka isinya. Pokoknya ada nama Kak Arki."
"Hmm ... iya tahu. Makasih banyak. Tapi kenapa bisa ada di kamu?"
"Pulang dari mall, Raya ke toko dulu. Ituloh, lipstik Raya ketinggalan di ruang karyawan. Sekalian pulang bareng Galih dan Sufi. Untung ke toko dulu. Soalnya yang dari ekspedisi nganterin jam sepuluhan."
"Malem banget," komentar Arkian.
"Iya, mana perempuan. Katanya sih sekalian lewat saja. Ya itu saja Kak Arki."
"Makasih banyak, Ra. Salamin buat Ibu dan Bapak, ya?" Arkian hendak menyelesaikan obrolan.
"Raya, enggak mau salam buat Bang Bara?" goda Aril hingga terkena pukulan Bara di lengan atas.
Arkian tekan tombol loud speakernya. "Katanya ucap salam buat Bang Bara?" Arkian mengulangi.
Raya tertawa. "Bangbara apaan? Tawon?" Dalam bahasa sunda, bangbara adalah lebah besar yang tubuhnya hitam berbulu dari subfamily Xylocopinae.
"Astaga. Masa aku disamain sama tawon?" protes Bara.
"Iya, emang bangbara itu tawon, 'kan?" Raya menimpali.
"Kang Bara, deh," ralat Bara.
"Ya sudah. Assalamualaikum, Kang Bara," salam Raya.
Aril dan Arkian tertawa. "Cuman gitu?" protes Aril.
"Ya namanya salam kayak gitu." Raya tak mau kalah.
"Wa'alaikusalam, Neng Raya. Tidur yang nyenyak dan mimpi yang indah. Kalau bisa mimpiin aku," goda Bara.
"Kalau mimpiin Kak Bara sebelah mana indahnya. Yang ada malah mimpi buruk!" protes Raya.
"Ya sudah enggak usah!" Bara langsung manyun.
Raya mematikan telponnya. Sedang Arkian kembali simpan ponsel di atas meja. "Yang sabar, ya? Tadi itu walau enggak jelas, dia nolak kamu," seloroh Arkian.
"Enggak usah ditegasin juga kali, Ar. Tega banget kamu, tuh!" Bara mendorong pelan bahu Arkian. Arkian dan Aril cekikikan mendengar itu.
Laptop Arkian sudah dimatikan. Mereka masih lanjut nongkrong di sana sambil makan kacang bawang. Malam itu terasa sunyi dan dingin. Terlihat langit begitu bersih dan beberapa titik bintang ada di atas sana.
Pagar sebelah kiri rumah Arkian langsung menghadap jalan raya di luar komplek. Aril terpaku ke arah sana. "Ngapain sih orang nyimpen karung di pinggir jalan," batinnya. Tak lama Aril terkaget. Seingatnya tadi ke rumah ini dia tidak melihat ada karung di sana.
Pria itu kembali melihat ke arah jam. Sudah jam dua belas malam. Dia pun mulai terasa mengantuk. Besok dia harus masuk kerja. Namun, ketika Aril kembali menatap ke arah karung, benda itu berdiri semakin tinggi. Pria itu berjalan masuk. "Aku duluan. Ngantuk," pamit Aril.
"Halah, dasar anak-anak. Jam segini sudah tidur saja!" ledek Bara sambil menepuk lengan Aril.
Aril tak bicara apa pun. Dia terus saja masuk ke dalam rumah. Sampai di dalam, Aril ambil ponsel di saku dan mengirim chat ke Arkian.
Aril : Ar, ada pocong di pinggir jalan dekat pagar.
Tak lama ponsel Arkian berbunyi. Pria itu mengambil ponsel dan mengecek chat yang masuk. Dia tengok ke arah pagar luar yang berbatasan dengan jalan. Awalnya Arki tak melihat hingga dia lihat benda putih melompat ke seberang jalan. Arkian mengambil laptop dan masuk ke dalam tanpa pamit.
Bara yang merasa ditinggalkan tentu saja ikut. "Main masuk saja enggak ajak!" protes pria itu. Sampai di pintu, Arki tutup pintu dan menguncinya.
Aril masih di sana, mengintip dari jendela. "Ada apa sih?" tanya Bara.
"Pocong," jawab Aril dan Arkian bersamaan.
***
"Yang benar saja?" tanya Raya begitu Arkian bercerita di toko.
"Beneran, masa aku bohong. Orang yang liat aku sama Aril juga," jawab Arkian.
"Kak Bara enggak lihat katanya." Raya memeluk baskom tempat roti yang belum disimpan dalam rak.
"Pas dia ngintip, makhluknya sudah menghilang. Pokoknya sampai semalam kita tidur di kamar Dika," cerita Arkian.
"Lagian seumur-umur tinggal di sana, baru kali ini Kak Arki cerita horor." Raya tarik kursi yang ada di depan Arkian dan duduk di sana.
"Iya, seumur tinggal di sana aku baru kali ini lihat yang begitu. Mudah-mudahan dia enggak netap di sana. Jadi khawatir kalau ninggalin Dikara tidur sendiri." Mata Arkian sempat berpaling ke arah Dikara yang tengah main mobil di sofa tamu kantornya.
"Ya doa saja. Jin kayak gitu pasti takut sama orang yang senantiasa berdoa sama Allah." Raya melihat paket di atas meja yang masih belum dibuka. "Itu enggak Kak Arki lihat dalamnya?"
"Ouh ini merchandise. Waktu kapan aku ikut seminar mereka, enggak kebagian. Jadi tahu isinya apa. Cuman mug sama totebag gitu. Kalau mau bawa saja, buat di rumah." Arkian malah memberikan paket itu ke Raya.
"Mug di rumah banyak. Dapat dari souvernir pernikahan," tolak Raya.
"Dapet souvernir nikahan muluk, terus nikahnya kapan?" ledek Arkian.
"Hilih, Kak Arki itu yang harusnya ditanya nikahnya kapan. Aku sih masih muda, ya. Masih mau main sama teman. Masih mau jalan-jalan sendiri sama ngobrol dan nongkrong gitu. Kak Arkian waktunya cari Mama Dikara," tegas Raya.
"Aku mau ikut kencan buta, kok. Lusa. Mama yang pilihin calonnya," jawab Arkian membuat hati Raya terasa nyelekit.
Raya tersenyum menyembunyikan perasaan. "Ouh, selamat Kak Arki. Pokoknya jangan lupa kalau jadi, aku harus pagar ayunya," pinta Raya.
"Kamu mah pager beton kali, Dek!" Arkian meledek untuk ke sekian kali.
"Sudahlah, ngomong sama Kak Arki bikin lelah." Raya berdiri dan keluar dari kantor.
"Ateu, Dika ikut!" Dikara bangun dan lari menyusul Raya. Sempat gadis itu berhenti sejenak dan mengulurkan tangan hingga Dikara tiba dekatnya dan membalas uluran tangan itu.
Kini tinggal Arkian di sana. Pria itu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Hingga terdengar suara ponsel. Arkian membuka kunci layar dan melihat ada pesan dikirim.
Liris, ibunya hanya mengirim pesan ping. Tak lama satu per satu foto perempuan masuk ke dalam chat itu. Arkian menaikan sebelah alis. Padahal baru tadi pagi dia menyetujui permintaan ibunya untuk ikut kencan buta dan siang ini sudah berjibun kandidat yang ibunya kirimkan.
Tak lama Liris menelpon. Tak ingin lama, Arkian angkat telponnya takut kena omel. "Arki, kamu pilih yang mana, ya?" pinta Liris.
"Sekarang? Tunggu aku mikir dulu, Bu. Lagian aku enggak tahu gimana mereka, 'kan? Kasih penjelasan soal sifatnya," pinta Arkian.
"Lah, kamu ketemu dulu. Makanya kamu pilih yang kamu suka dari wajahnya. Nanti Ibu atur biar lusa dia datang," jelas Liris.
"Aku pikir Ibu bikin jadwal lusa itu karena sudah ada calonnya. Ternyata malah masih milih. Gimana sih, Bu," Arkian sewot.
"Sudah, pilih dulu. Kalau soal sifat sudah ibu pastikan mereka orang yang baik semua. Pokoknya kamu pilih."
Setelah Liris mematikan telpon, Arkian mulai semakin bingung. Dia lihat satu per satu wanita yang ibunya pilih, tetapi tak satu pun yang menarik perhatian. Di sana pria itu semakin menunduk lesu. Arkian berdiri dan berjalan keluar kantor. Dilihat ada Raya berdiri di antara rak roti bersama Dikara. Dia tengah menyimpan roti yang tadi dia bawa.
"Dek, Kakak bisa minta bantuan, enggak?" pinta Arkian.
"Bantuan apa?" Raya merasa aneh dengan ekspresi wajah Arki yang terlihat lesu dan muram.
"Itu, tolong pilihin satu saja." Arkian perlihatkan layar ponselnya. Raya lihat ada foto wanita di sana.
"Pilih gimana?" tanya Raya semakin bingung. Arkian berikan ponselnya pada Raya. Di sini Raya menurut saja. Dia geser satu per satu wanita. Mereka cantik-cantik dan terlihat berpendidikan juga berwibawa. Bahkan ada salah satu yang memakai seragam dinas.
"Yang ini," tunjuk Raya pada wanita yang mengenakan kemeja batik dan rok kantor.
"Ini? Bukannya kayak wanita karir?" Arkian malah melalukan protes.
"Kak Arkian tadi minta Raya pilihin, 'kan? Emang ini buat apa?"
"Ibu minta aku kencan buta sama salah satu dari mereka. Yang kamu pilih ini bakalan ketemu aku lusa," jawab Arkian.
Raya mengangguk. Bahkan tak ada dirinya masuk dalam kandidat itu. "Ya sudah, itu saja. Semoga berhasil," ucap Raya berat.
Arkian nyengir. "Kalau nitip Dikara lusa boleh? Kamu cuman perlu ngawasin, 'kan? Lagian nyimpen roti ini tugasnya Sufi. Jangan capek-capek."
Raya memutar bola matanya. "Kalau ada maunya emang selalu baik. Coba kalau lagi enggak ada maunya. Pasti sudah teriak manggil suruh ini dan itu."
"Iya, maafin Kak Arki. Nanti enggak gini lagi, deh. Lagian kamu itu jangan ngambek terus. Mau cepat keriput." Arkian kembali ke kantornya.
Dika menarik pelan tangan Raya. Kini Raya menunduk agar matanya bisa saling tatap dengan Dikara. "Ateu, Papa mau apa?" tanya Dikara.
Raya bingung sendiri bagaimana dia harus menjawab. Anak itu pasti kecewa kalau tahu Papanya akan bertemu dengan wanita yang mungkin jadi ibu tirinya kelak.