"Mau ke mana Kak Arki?" tanya Raya melihat Arkian buru-buru meninggalkan kantornya sampai kunci jatuh saking ingin cepat pergi.
"Mau ke rumah mertua, lihat Dikara. Habis aku tuh kangen," jawab Arkian sambil memutar kunci pintu kantor.
"Baru juga beberapa jam lalu, masa sudah kangen." Raya menyandarkan punggung ke kaca jendela kantor Arkian.
"Nanti kerasa kalau sudah punya anak kamu. Jangankan berjam-jam, semenit saja dia enggak ada kabar sudah enggak karuan perasaanku. Takutnya dia celaka atau rewel."
"Namanya anak pasti rewel. Kalau celaka juga karena memang dia lagi aktif. Lagian dia di rumah Neneknya, bukan di tengah hutan ini."
Arkian menggetok kepala Raya. "Aku juga tahu. Justru karena sama neneknya aku makin khawatir. Ibu sudah sepuh, Dikara lagi enggak mau diam. Takutnya Ibu kecapean ngikutin Dikara ke mana-mana. Ya sudah, aku pamit dulu mau langsung ke sana. Dah, Raya!" pamit Arkian lalu melangkah keluar toko. Pria itu hampir saja menabrak seorang pembeli akibat terlalu cepat melangkah.
"Maaf, Mbak. Enggak sengaja," ucap pria itu sambil menundukan kepala. Kini langkah Arkian akhirnya tiba di luar toko. Dia melihat ke sisi kanan dan kiri mencari mobilnya. Tadi mobil sempat dipinjam Galih untuk menukar uang receh ke bank. Jadilah Arkian tak tahu di mana mobilnya terparkir.
Ternyata mobilnya diparkir di toko orang lain. Arkian menepuk kepala. Dia berjalan ke arah mobil dan sempat masuk ke dalam toko tersebut untuk minta maaf. Barulah Arkian menyetir mobilnya menuju kediaman Sofi.
Selama di perjalanan, Arkian agak kesulitan karena jalanan yang macet akibat banyak kendaraan parkir di pinggir jalan hingga memakan sebagian badan jalan. Belum lagi harus melewati lampu merah dengan durasi paling panjang di kota ini. Rumah Sofi berada di pinggiran kota dan berbatasan dengan Kabupaten. Rumahnya berada di daerah dataran tinggi. Tidak heran kalau suhunya lumayan dingin dan menyegarkan. Di pinggir jalan pun banyak pohon Cemara berbaris.
Tiba di gerbang rumah Arkian menekan klakson. Lama Arkian menunggu dan gerbang tempat itu tak juga dibuka. Lama kelamaan Arkian heran sendiri. Dia turun dari mobil dan menekan bel yang ada di pinggir pagar. Bahkan satpam penjaga rumah pun tak datang menghampiri. Pos satpam terlihat kosong tiada kehidupan terlihat dari sisi di mana Arkian berdiri sambil mengintip di antara lubang pagar.
"Kok enggak ada siapa-siapa?" batin Arkian. Pria itu kembali masuk ke dalam mobil untuk mengambil ponsel. Langit mulai berubah hitam. Arkian meninggalkan toko sekitar pukul setengah tujuh setelah salat Maghrib. Terasa dingin berada di sini. Padahal pria itu memakai jaket.
Menunggu lama telponnya untuk diangkat oleh Sofi, Arkian sampai membuat suara dengan mengetuk dashboard mobil. Semakin lama perasaannya semakin tak karuan. Untung saja Sofi mengangkat telpon Arkian.
"Ibu, kenapa enggak ada di rumah? Arkian mau jenguk Dikara," pinta pria itu.
"Maaf, Ar. Ibu bukannya egois. Dikara baik-baik saja. Hanya Ibu dan ibu kamu sudah sepakat, kalau kamu enggak juga nyari calon istri, enggak Ibu izinkan kamu ketemu dengan Dikara," ungkap Sofi membuat Arkian kaget luar biasa.
"Loh, kenapa gitu, Bu? Dikara itu anak aku. Gimana bisa Ibu larang aku ketemu sama dia? Hak aku untuk bisa ngasuh dia." Suara Arkian bergetar menahan emosi dan rasa terkejut.
"Ibu tahu. Hanya saja hak Dikara untuk merasakan kasih sayang seorang ibu. Kamu sebagai ayah tentu juga tahu soal itu. Tapi kamu selalu nolak permintaan Ibu untuk nikah lagi."
"Aku punya alasan, Bu. Wanita itu enggak cocok untuk jadi ibunya Dikara. Mau gimana lagi?"
"Enggak cocok untuk Dikara apa kamu? Jawab! Dari sekian banyak perempuan, masa tak satu pun keibuan. Enggak mungkin, Ar. Kamu cuman lari dari kenyataan kalau kamu enggak bisa lupain Laras. Pokoknya kalau kamu enggak nurut apa kata Ibu, Dikara enggak akan ketemu kamu lagi!" tegas Sofi.
Arkian mengusap kepala karena bingung harus melakukan apa. Bisa saja dia lapor polisi, tetapi pelakunya mertua dan ibunya sendiri. Akhirnya Arkian mengakui kekalahannya kali ini.
"Baik! Arkian akan cari calon istri. Tapi janji, setelah Arkian bawa perempuan itu ketemu sama kalian, kembalikan Dikara," tegas Arkian.
"Baik. Kenapa Ibu harus keberatan. Keingin Ibu hanya melihat kamu menikah lagi agar Ibu meninggal dalam keadaan tenang nanti. Setidaknya menantu dan cucu Ibu ada yang mengurus."
"Aku bicara dengan Dikara dulu boleh, Bu?" izin Arkian.
Sofi menekan tombol speaker. "Papa!" panggil Dikara.
"Dika gimana kabarnya?" tanya Arkian.
"Baik. Dika suka sama Nenek. Papa jangan ke sini, ya! Kalau mau ke sini kasih Dika hadiah mama baru," jawab anak itu.
Tentu Arkian bingung. "Dika apa enggak kangen sama Papa?"
"Habis Papa enggak kasih mama baru," timpal anak itu lagi.
Arki menarik napas panjang. Lalu pria itu keluarkan dari hidung. Di depannya gerbang rumah Sofi masih tertutup rapat. "Iya, nanti Papa akan cari. Kamu di sana baik-baik, ya. Tolong enggak repotin nenek, apagi lari-larian. Nenek enggak bisa kejar kamu."
"Iya, Papa. Dika anak pinter. Dika kata Ateu Raya mandiri."
"Syukurlah. Jangan lupa sebelum tidur berdoa dulu. Mau Papa kirim buku ke sana?" tawar Arkian.
"Ada, kok. Dika bawa sendiri rumah."
"Ya sudah. Selamat malam, Nak. Salat dulu sebelum tidur, ya? Papa kangen kamu," ucap Arkian lirih.
"Papa juga. Dadah, Papa!" pamit Dikara. Begitu telpon tertutup, Arkian mendadak lesu. Tanpa sadar air matanya mengalir. Ditatap pintu rumah Sofi. Andai kalau dia berani menabrak gerbang dan menerobos ke dalam untuk membawa putranya.
Sayang, Dikara sendiri bahkan berada di sisi neneknya. Mau tidak mau Arkian harus ikuti apa yang mereka ingin agar bisa kembali membawa pulang Dikara. Walau hatinya sangat berat. Saat memejamkan mata, Arkian mengingat hari pertama ia bertemu dengan Laras. Hari di mana hatinya tertaut hingga kini tak bisa melupakan wanita itu.
Beberapa tahun lalu ketika presiden masih Susilo Bambang Yudhoyono. Arkian pergi ke kampus seperti biasanya. Dia memakai kaos kaki di depan teras rumah. Walau ada kursi di sana, tetap saja Arkian memilih duduk di lantai.
"Arkian, bekalnya sudah kamu bawa?" tanya Liris.
"Sudah, Bu. Ini aku masukin dalam ransel," timpal Arkian. Di sampingnya ada kotak kuning bekas margarin yang kini diisi beberapa lembar roti. Kotak itu Arkian masukan ke dalam tas lalu berjalan masuk ke dalam mobil.
"Pak, antar agak jauh sedikit dari kampus, ya? Aku malu kalau ketahuan diantar sopir. Habis sering dikatain anak manja," pinta Arki.
"Baik."
Motor yang biasa Arkian bawa ke kampus kemarin rusak. Ban motornya tertusuk paku dan harus diganti. Sayang, Arkian sedang tak punya uang. Dia juga tak berani bilang pada ayahnya. Bukannya dibantu bayar service, Arkian pasti malah kena omel.
Arkian periksa ponselnya. Tak ada chat yang masuk ke dalam aplikasi chat dengan latar hijau itu. "Aril sama Bara apa enggak jadi pergi, ya?"
Bara dan Aril mengikuti kegiatan mendaki gunung dengan grup pendaki di kampus. Sedang Arkian memilih menjadi seorang mahasiswa sipil. Arkian butuh waktu untuk bisa berdagang, membuat dagangan hingga promosi makanan yang dia jual di berbagai media sosial.
Mobil milik ayah Arkian menepi dua bangunan sebelum kampus. Di sana Arkian turun sambil menenteng tas kain berisi dagangan. Hari ini dia menjual kroket dengan isian udang dan original. Dagangannya selalu laku dan hampir ditunggu pembeli yang kebanyakan mahasiswa di kampus.
Setelah berjalan cukup lama akhirnya Arkian tiba juga di gerbang kampus. Pria itu berjalan dengan penuh percaya diri. Dia optimis hari ini barang dagangannya akan habis karena beberapa pembeli sudah konfirmasi pemesanan dan kirim uang.
Saat itu terdengar suara bel sepeda. "Awas! Remnya blong! Tolong!" teriak seseorang. Arkian berbalik dan melihat ada sepeda yang melaju kencang ke arahnya. Refleks pria itu menurunkan tas kain di tangan dan menahan laju sepeda dengan kedua tangannya. Untung masih bisa ditahan akibat pengendaranya seorang wanita.
"Mbak, hati-hati! Di sini jalan umum. Kalau bawa sepeda jangan kayak bawa sapi," omel Arkian.
Perempuan itu membuka helm sepedanya dan mengaitkan tali strap ke stang sepeda. "Kang, aku juga tahu bawa sepeda harus hati-hati. Tadi 'kan sudah dibilang, ini karena remnya blong." Wanita itu kelihatan sewot.
"Harusnya sebelum dipake diperiksa dulu, Teh." Arkian ikutan sewot.
"Panggil Laras saja, Kang. Aku belum tua amat buat dipanggil Teh sama orang seumuran!"
"Panggil Arkian saja. Aku juga belum terlalu tua amat untuk dipanggil Kang oleh orang seumuran. Lagian, tahu dari mana kita seumur?"
Laras mengangkat sebelah sudut bibirnya hingga sebelah alis ikut terangkat. Di jalan saat itu terlihat ramai banyaknya orang. Mendengar Laras dan Arkian saling adu mulut, mereka menjadi pusat perhatian.
"Semua orang juga tahu Arkian yang bucin akut sampai nangis gara-gara diputusin di kantin," ungkap Laras lalu terkekeh.
Jelas sekali itu membuat Arkian merasa malu. Kejadian berbulan-bulan lalu masih dibahas hingga sekarang. Padahal dia sudah coba move on, tetapi tak bisa. Sebenarnya bukan diputuskan. Perempuan itu mantan pacar Arkian dan posisinya Arkian ingin mereka balikan karena mantannya putus dengan pebinor. Kebetulan memang Arkian dan wanita itu putus karena hadirnya pria lain.
"Kenapa harus bahas itu?" protes Arkian sambil mendelik.
"Maaf, deh. Dan makasih sudah nolong tadi. Sebenarnya remnya blong bukan aku enggak ngecek, tapi karena aku awam soal sepeda. Dan ini juga baru dibawa ke tukang service. Aku percaya dia, karena itu kupikir sepeda akan baik-baik saja," jelas Laras dengan suara yang lembut.
Arkian mengangguk-angguk. "Kalau gitu biar aku bantu bawa ke parkiran. Nanti pulang ngampus aku benerin."
"Bisa?"
Arkian mengangguk. Pria itu memang mudah merasa kasihan dengan orang. Dia kaitkan tas kain berisi dagangan di sepeda dan menuntun benda itu ke parkiran. Laras mengikuti dari belakang.
"Benar kata orang, Arkian itu orangnya baik," puji Laras.
"Makasih." Mata Arkian masih terpaku ke depan. Gedung kampus semakin terlihat mendekat.
Laras melirik ke sisi kanan dan kiri. Tak selang lama matanya kembali menatap Arkian. "Dia ganteng juga ternyata," batin Laras.
"Sekarang sudah punya pacar lagi?" Mungkin ini terkesan bodoh, tetapi Laras lebih baik bertanya dibandingkan penasaran.
"Emang pacaran itu semudah bikin sambel bawang? Hari ini habis dan besok tinggal bikin lagi?"
"Ya enggak, sih. Tapi hati harus ada penghuninya biar penghuni yang lama tidak terus menetap. Lagian kamu baik gini sama sekali enggak cocok sama mantan yang dulu. Mantan kamu itu agak bermasalah orangnya."
Arkian tertegun. Kini mata keduanya saling tatap. Laras tersenyum. "Laki-laki apa enggak pernah bergosip? Kami para wanita sering sharing. Tentu kami tahu apa yang terjadi seputar kampus ini. Dan rata-rata saking penasarannya sampai nyari tahu sendiri."
"Buat apa? Lebih banyak hal penting yang harus aku urusi dibanding hal seperti itu."
Laras melihat dagangan yang menggantung di stang sepedanya. "Kalau gitu biar aku kasih tahu karena hal ini pasti penting buat kamu. Mantan kamu itu sudah beberapa kali aborsi. Dia lagi lapor mantannya ke polisi karena enggak mau tanggung jawab. Aku bukannya menghakimi dia dan menganggap dia enggak pantas mendapat cinta. Hanya saja menurut aku, kamu pantas mendapat yang lebih baik. Makanya melek, lah!" nasihat Laras.
Arkian tertegun. Senyuman Laras terkembang. "Masih banyak wanita cantik di dunia ini yang enggak problematik. Yang pasti enggak akan hamburin waktu kamu."
Entah kenapa setelah itu Arkian mulai berubah mendengarkan perkataan Laras. Namun, setelah mendapat wanita yang membuat Arkian bahagia, dia harus kehilangan wanita itu selamanya. Dia punya alasan melupakan mantannya yang dulu. Namun, dia tak punya alasan melupakan Laras. Wanita itu terlalu sempurna bagi Arkian. Wanita yang tak memiliki celah apa pun di mata seorang Arkian.