Raya masih menatap Arkian di balik rak-rak roti. Dia menunggu waktu di mana Arkian meninggalkan Dikara sendiri. Biasanya Dikara selalu membuntuti Raya. Tak tahu kenapa di saat sedang butuh, malah Dikara begitu menempel pada Papanya.
Raya menarik napas panjang. Wanita itu menggeser beberapa bungkus roti, bukan karena sengaja. Dia tanpa sadar melakukan itu akibat tak sabar. Tiba-tiba seseorang menyentuh bahunya. Jelas Raya terkaget. Wanita itu berbalik dan menemukan Sufi ada di sana.
"Kamu kenapa, Raya? Ngapain lihatin Pak Arki terus kayak gitu?" tegur Sufi. Raya menyimpan telunjuk di depan bibir.
"Jangan keras-keras, aku lagi dapat misi," tegas Raya.
"Misi apa?" Sufi penasaran.
"Ini masalah keluarga. Aku enggak bisa bilang. Soalnya ...."
"Ateu!" panggil suara anak kecil. Raya saat itu merasa senang. Akhirnya Dikara memanggilnya juga.
"Ada apa, Dika?" tanya Raya langsung menghampiri Dikara yang berdiri di samping Arkian. Sedang Arkian sedang bicara dengan seorang pembeli laki-laki. Dari pakaiannya pembeli itu sangat rapi. Terlihat jelas dia pegawai kantoran. Kemejanya terlihat rapi tanpa sedikit pun bagian yang kusut. Ada lipatan yang dibuat setrika di bagian atas lengan kemeja dan memanjang hingga bahu.
"Ateu, Dika mau main temenin," pinta Dikara.
"Dia mau masuk kantor," jelas Arkian.
"Ouh, iya. Biar Raya temenin di sana, Kak." Raya menuntun Dikara masuk ke dalam kantor. Dia tutup pintu agar kalau Arkian datang, Raya bisa tahu.
Dikara lari ke atas karpet tempat di mana dia biasa main. Begitu duduk anak itu langsung mengeluarkan isi kotak mainan. Ada banyak mainan plastik dan kayu di sana berbagai bentuk dan warna. Bahkan ada pula yang bentuknya pepohonan.
Dikara mulai membangun pagar dari balok. Sedang Raya tengah menyusun kalimat yang pas untuk bisa merayu anak itu. "Dika. Mau punya Mama enggak?" tawar Raya.
"Dika maunya Ateu Raya mama Dika," tegas anak itu seperti biasa. Raya menunduk lesu. Dia ambil salah satu balok dan memutarnya di atas karpet.
"Ateu Raya enggak bisa jadi Mama Dika. Karena Ateu Raya itu enggak pantas sama Papa Arki. Dika tahu mainan ini?" tanya Raya mengambil sebuah balok.
"Iya, balok itu!" tunjuk Dika.
"Sekarang ini apa?" Raya mengambil lego.
"Lego," jawab Dikara.
"Bisa enggak balok digabungin sama lego kayak gini?" Raya mengambil lego lainnya dan menyatukan dengan lego yang pertama. Dikara menggelengkan kepala. "Ateu Raya sama Papa Arkian itu kayak balok sama lego ini. Jadi enggak bisa sama-sama," jelas Raya.
Tentu meski Liris sayang pada Raya, wanita itu pun ingin putranya mendapat wanita sepadan. Mau bagaimana pun Raya sayang pada Dikara, Raya tetap saja ada di kasta yang berbeda dengan pria itu. Bukannya Raya penakut atau lemah, dia merasa beruntung bisa diperlakukan baik oleh Liris. Itu sudah lebih dari segalanya.
Raya menyibak rambutnya ke belakang. "Dika, Papa itu enggak mau cari Mama baru karena sayang sama Mama Laras. Tapi Mama Laras sudah meninggal. Mama ada di tempat yang Papa Arki enggak bisa ke sana," tambah Raya.
"Tahu. Mama Laras di kuburan temenin malaikat." Dikara memang sudah mengerti jika diajak bicara.
"Karena itu, Papa harus ketemu pasangan yang ada di tempat yang sama. Tapi Papa enggak mau dengar apa yang Ateu bilang, Nenek Liris dan Nenek Sofi katakan. Tapi Dika pasti bisa maksa Papa. Makanya Ateu mau ajakin Dika buat bikin permainan. Nanti hadiahnya Mama baru," saran Raya.
"Gimana? Dika mau ikut!" seru anak itu. Raya lega karena Dikara terpancing akan ucapannya.
"Jadi gini. Permainanya, Dika harus main di rumah Nenek Sofi. Siang ditemenin sama Nenek. Buat jagain Nenek Sofi. Dika bisa jagain Nenek Sofi?" tantang Raya.
Dikara mengangguk. Anak itu mengatupkan kedua bibirnya. Dia sepertinya tidak sabar untuk mendengar kalimat setelahnya. "Nanti kalau Ateu pulang dari toko, Ateu akan datang ke sana. Jadi Ateu nginep di rumah Nenek Sofi. Dika bisa main sama Ateu, ya?" pinta Raya sambil mengangkat tangan.
Dikara menepuk tangan Raya dengan sebelah tangannya. "Siap, Ateu! Dika pasti bisa. Tapi hadiahnya Mama baru, ya?"
"Bukan cuman Mama baru. Kalau Papa nikah lagi, Dika punya adek baru juga. Jadi nanti keluarga Dika hanya dua, bisa jadi empat."
"Hore!" seru Dikara berjingkrak. Dia begitu bahagia dengan apa yang Raya janjikan.
Raya lekas menghubungi Sofi dan memberitahukan tentang Dikara yang setuju dengan misi mereka. "Kalau gitu, Ibu langsung ke sana, ya? Makasih banyak Raya. Jangan lupa pulang kerja langsung bawa pakaian ke rumah Ibu, ya?" saran Sofi.
"Iya, Bu. Pasti. Mudah-mudahan ini berhasil, ya?"
Raya tak lama menutup telpon. Terlihat Dikara sudah membuat sebuah kebun binatang selama Raya menjelaskan banyak hal pada Sofi. "Dika, Nenek Sofi mau jemput. Jadi kita bereskan ini dulu, ya?"
Baru Dikara menjawab, terdengar pintu kantor dibuka. Raya kaget. Dia langsung meminta Dikara untuk merahasiakan hal ini. Arkian tersenyum melihat putranya betah main. "Kamu mau makan, enggak?" tawar Arkian.
"Dika mau rumah Nenek Sofi, Pa. Nenek Sofi kangen Dika katanya," ucap Dikara.
"Mama Sofi nelpon ke kamu?" tanya Arkian bingung. Darimana lagi Dikara tahu Neneknya kangen dia.
"Tadi Bu Sofi chat Raya. Cuman nanya kabar. Terus Raya bilang kalau lagi sama Dika. Jadi Raya telpon Bu Sofi. Terus Bu Sofi bilang kalau dia kangen sama Dikara," jelas Raya.
"Ouh. Mau ke rumah Neneknya kapan? Nanti Papa anterin ke sana, ya?" tawar Arkian.
"Bu Sofi mau jemput ke sini, Kak. Katanya sekalian pulang dari mana gitu. Lewat sini, kok," dusta Raya walau jantungnya berdebar tak karuan akibat harus berdusta pada Arkian.
"Oh, ya sudah. Papa siapin dulu keperluan kamu. Mau dijemput kapan dari rumah Nenek Sofi?"
"Nanti Dika telpon Papa. Dika mau nginep, ya?" izin Dikara. Arkian terlihat lama berpikir. "Ya sudah, Papa susul nanti malam. Sekalian Papa nginap juga. Kamu itu harus ditungguin."
"Dika sudah besar Kak Arki, jangan terus diikutin. Dia harus belajar tanpa Kak Arki. Nanti di sekolah juga enggak ditungguin," nasihat Raya.
"Kamu enggak tahu dia gimana. Dia itu masih harus dilihatin pembiasaannya. Kalau enggak, nanti lupa."
"Dikara sudah pinter, Papa!" protes Dikara sambil manyun.
"Dengar, tuh. Dika sendiri bilang. Belajar untuk percaya dengan anak sendiri. Apalagi Kak Arki selama ini sudah asuh dia dengan baik. Artinya dia juga bisa mandiri."
Arkian menatap putranya. Dia beberapa kali terdengar mendengkus. "Tapi aku biasa sama dia ke mana pun," timpal Arkian.
"Waktu itu Kak Arkian ninggalin Dika main sama Raya dan Bi Nah. Dika baik-baik saja, kok. Jangan terlalu khawatir, apalagi sampai enggak percaya sama kemampuan anak sendiri. Biarin saja Dika nginep di rumah Bu Sofi. Kak Arki main saja dulu. Mumpung ada waktu bisa sendirian," saran Raya.
"Sama Bara dan Aril? Ogah!" tolak Arkian sambil tertawa.
Siang harinya Sofi benar datang. Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam toko. Langkah Sofi mulai melambat. Dibuka pintu kaca toko roti itu. Sofi langsung disambut Raya yang melihat mobil Sofi menepi dari kejauhan.
"Siang, Bu," sapa Raya.
"Dikaranya mana?" tanya Sofi melirik ke setiap sudut ruangan.
"Tadi lagi disuapin sama Kak Arkian di kantor. Biar Raya antar," tawar Raya. Dia tuntun Sofi ke kantor Arkian. Dikara baru selesai makan. Anak itu berjalan turun dan hendak ke kamar mandi. "Nenek!" sapa Dikara.
"Cucu Nenek sudah besar. Sini peluk?" tawar Sofi merentangkan tangan.
"Dika mau cuci tangan dulu," tolak anak itu.
"Dia baru selesai makan, Ma. Nanti, ya? Duduk dulu, Ma." Arkian ikut menuntun Sofi sampai duduk di kursi tamu. Setelah itu dia susul Dikara ke kamar mandi.
Sofi melihat sekitar ruang kerja Arkian. Bahkan demi mengasuh anak, Arkian sulap sebagian ruangan menjadi ruang main. Melihat itu Sofi merasa miris. Andai putrinya masih ada, mungkin Arkian dan Dikara bisa hidup dengan normal. Arkian pergi kerja tanpa harus khawatir berlebihan karena ada istri yang dipercaya bisa menjaga.
Raya undur diri. Setelah ini giliran Sofi yang akan meneruskan perjuangan. "Dikara mau nginap di rumah," ucap Sofi.
"Tadi Raya sudah bilang, Ma. Nanti malam Arkian susul ke sana. Soalnya masih banyak kerjaan," ucap pria itu.
"Kalau gitu, biar Dikara Ibu bawa duluan, ya?" izin Sofi.
"Baik. Hati-hati di jalan. Aku sudah siapin tas. Susunya ada di sana. Camilannya juga. Nanti malam Arkian ke rumah sekalian bawa pakaiannya," jawab Arkian.
Dikara langsung memeluk erat neneknya. "Nenek, Dika kangen!" ucap Dikara dengan erat.
"Iya, kamu itu jarang main ke rumah Nenek. Padahal Nenek kangen sekali," jawab Sofi.
"Soal tanah makam gimana, Bu? Kata pengacara yang Arki tunjuk keputusannya masih minggu depan. Tapi kenapa sudah ada plang tanah mau dijual? Arki kebetulan pas ulang tahun Laras ke sana."
Sofi pun ikut kaget. "Iyakah? Siapa yang tempel?" tanya Sofi.
"Justru Arkian tanya sama Ibu karena Arkian sendiri enggak tahu. Mungkin enggak dari pihak lawan?"
"Sepertinya, Ar. Kita tunggu saja keputusannya. Kamu ambil foto plangnya enggak?"
"Aku foto, Bu. Nanti aku kirim. Mungkin kita bisa balas tuntut untuk itu. Mereka gegabah. Sudah tahu keputusannya belum turun, tapi sudah berani segitunya."
"Ya sudah, nanti Ibu urus. Sekarang yang penting Dikara dulu. Ibu mau langsung pulang."
"Baik."
Sofi tuntun Dikara keluar kantor. Arkian bawakan tas Dikara hingga ke mobil. Ada sopir yang mengantarkan Sofi ke sana. "Pak, tolong antar Ibu sampai rumah dengan selamat," pinta Arkian.
"Baik, Pak Arki."
Setelah itu mobil Sofi meninggalkan parkiran toko Arkian. Pria itu melambai. "Rasanya sedih lihat anak sendiri pergi. Padahal cuman ke rumah Neneknya. Nanti malam juga ketemu," batin Arkian.
Namun, Sofi tak langsung pergi ke rumah. Mobilnya berbelok ke arah rumah Arkian. Perjalanan yang cukup panjang hingga tiba di rumah itu.
"Duduk, Nyonya." Bi Nah mengantarkan Sofi ke ruang tamu.
Sofi duduk di ruangan itu. Dia masih merasa sedih setiap kali datang ke sana. Dia ingat Laras yang selalu menyambut setiap Sofi datang berkunjung. "Bi Nah. Tolong pakaian Dikara dikemas. Dia mau tinggal beberapa hari di rumah. Setidaknya sampai Arkian mastiin punya calon istri.
"Jadi Nyonya?" tanya Bi Nah. Tentu perempuan itu pun sudah tahu rencana Sofi dan lainnya.
"Jadi. Mau gimana lagi? Kalau enggak gitu dia mana mau cepat nikah. Dikara sebentar lagi sekolah, Arkian akan lebih sibuk urus Dikara kalau sendirian."
"Mudah-mudahan semuanya berhasil, Nyonya. Bukannya tega, memang ini yang terbaik," timpal Bi Nah.
Perempuan itu lekas pergi ke kamar Dikara dan mengemasi pakaian anak itu. Sedang Sofi masih ada di ruang tamu. Dikara berjalan-jalan mengelilingi sofa.
"Nenek! Nanti kalau Dika enggak mau ke Papa, Dika dikasih Mama baru?" tanya Dikara kembali memastikan.
"Iya, makanya Dika harus betah di rumah Nenek. 'Kan nanti Tante Raya datang ke sana," nasihat Sofi.
"Iya, Dika anak baik. Dika enggak manja. Nanti punya Mama baru!" seru anak itu.
Tak lama Bi Nah turun. Wanita itu membawa tas berisi pakaian Dikara dan keperluan lainnya. "Nyonya, kalau ada yang kurang telpon saja. Nanti biar saya antar ke rumah sana."
"Makasih banyak, Bi Nah."
Barulah Sofi pamitan untuk pulang. Sampai di mobil, Dikara duduk di kursi belakang dengan Sofi. Anak itu melambaikan tangan ke arah Bi Nah. "Dadah, Bi Nah! Dika mau nginep. Nanti Dika pulang!" pamit anak itu di jendela mobil.
"Iya, hati-hati Tuan Dika!" balas Bi Nah turut mengulurkan tangan. Jendela mobil Sofi menutup dan Dika langsung duduk. Kaki anak itu di luruskan ke depan dan naik turun tak karuan.
"Dika senang?" tanya Sofi.
"Senang banget! Ateu Raya mau nginep! Senang!" jawab Dikara.