Chapter 5. Segitiga

1821 Words
"Assalamualaikum," salam Arkian begitu masuk ke dalam rumah mertuanya. Rumah sederhana yang ada di salah satu perumahan nasional itu memiliki hanya satu lantai, tetapi lumayan luas. Pagarnya saja tinggi bercat hitam dengan halaman yang ditumbuhi rumput hias dan bunga mawar pun pohon mangga yang kini tengah berbuah lebat. Sayang, belum ada mangga yang matang. Melewati pintu, Arkian disambut patung kuda berdiri yang menghadap ke pintu dan membelakangi ruang tamu. Dikara sudah menjadi kebiasaanya untuk menyentuh patung itu setiap kali datang. "Kuda napa gak duduk, sih? Beldili telus. Kakina gak sakit?" Dikara mengusap kaki kuda. Arkian hanya mengusap kepala putranya. "Kita ketemu Nenek dulu. Ikut Papa!" ajak Arkian menuntun Dikara masuk ke dalam ruang tamu. "Saya panggilkan ibu dulu, Pak." Pembantu meninggalkan Arkian di sana dengan Dikara untuk memanggil pemilik rumah. Dikara naik ke atas sofa. Dia melompat-lompat di sana. "Dika, ini bukan trampolin. Ini sofa, tempat bertamu. Kita sepakat kalau bertamu harus gimana?" tegur Arkian dengan suara halus. "Duduk saja, ya?" Dikara mengoreksi kesalahnnya sendiri. Arkian tak memaklumi meski Dikara masih kecil. Anak itu mulai dibiasakan, kapan harus bersikap mengikuti aturan sosial dan kapan dia bisa mengikuti keinginannya sendiri. Karena aturan bukan ditegaskan dengan kata-kata, tetapi dibiasakan dalam kehidupan anak sehari-hari. Tak lama Sofi, mertua Arki datang. Wanita itu mengenakan gamis panjang dan kerudung instan. "Arki, padahal Ibu mau nelpon kamu. Syukur kamu datang duluan ke sini. Ada yang ingin Ibu bicarakan," ucap wanita yang kini berusia lima puluh tahun itu. Sofi duduk di sofa yang dilapisi kulit sintetis berwarna putih. Dia berhadapan dengan Arki di sana. Mendengar apa yang Sofi katakan, terlihat wajah Arkian mengerut. Perasaanya mendadak tidak enak, apalagi mengingat artikel yang dia baca tentang status tanah makan keluarga di mana Laras, istrinya dimakamkan. Arki sedikit berdeham. Dia berusaha untuk menyiapkan diri kalau ada sesuatu yang mengkhawatirkan. "Gini. Dulu itu orang tua Ibu punya tanah banyak." Sofi menyandarkan lengannya di sandaran sofa. Arkian mencoba mendengarkan apa yang mertuanya jelaskan terlebih dahulu. Dia tak ingin memotong penjelasan dan membuat masalah ini menjadi buram. "Kebetulan itu tanah milik Neneknya Laras. Dapat dari pemberian Buyut. Nah, memang sudah disertifikat. Hanya saja keluarga Uwanya Ibu istilahnya meminta bagian tanah itu. Dengan alasan itu tanah orang tua yang harusnya dibagi waris," jelas Sofi. Arkian mengangguk. "Lalu bagaimana?" Arkian ingin lebih jelas menjejaki masalah ini. "Mereka ingin tanah itu dijual dan uangnya dibagi. Ibu enggak bisa kayak gitu. Sertifikatnya atas nama ibunya Ibu, 'kan? Di sana banyak makam keluarga termasuk makam nenek dan juga Laras. Mau dipindahkan ke mana, Arki?" Terlihat Sofi sendiri berat mendengar kabar ini. "Begini, Bu. Dari keterangan itu sudah diberikan setelah atau sebelum meninggal?" "Sebelum, Ar. Hanya sertifikatnya dibuat setelah kakeknya Ibu meninggal." "Ada surat perjanjian yang menunjukam tanah itu benar diberikan?" Arki mencoba menemukan hal yang bisa membantu masalah itu. "Ada. Masih disimpan sama kakaknya Ibu." Arkian mengangguk. "Tanah yang sudah diberikan tentu tak dihitung waris, dong. 'Kan sudah ganti pemilik. Akan lebih baik surat itu, bawa ke pengadilan sekalian sertifikat. Enggak baik pindahin makam. Apalagi makam di sana banyak. Mindahinnya butuh dana yang banyak. Lebih baik perjuangkan haknya Ibu dan saudara," saran Arkian. "Iya, Ar. Duh, Ibu malu karena masalah ini sampai masuk berita. Enggak tahu siapa yang lapor ke wartawan. Padahal inginnya sama saudara itu adem saja." Arkian tersenyum. "Saudara juga punya pikiran dan perasaan masing-masing yang tidak bisa kita kendalikan, Bu. Kalau ada gesekan, maklum. Karena intinya saudara itu hubungan keturunan. Di balik itu, mereka tetap individu." "Makasih banyak. Ibu tadinya takut kamu khawatir soal ini." Pembantu di rumah itu membawa nampan dengan camilan dan minuman hangat di atasnya. "Dedek Dika minum cokelat hangat, ya?" tawar Bi Sari. "Makasih banyak, Bi," ucap Arkian. "Makasih, Bibi." Dikara mengikuti ucapan Papanya. Dia masih duduk sambil menepuk-nepuk lututnya. "Wah, Nenek baru lihat topi itu." Sofi menunjuk topi di kepala Dikara. "Beli ma Papa. Jalan mau toko, Nek," jawab Dikara. Ia sengaja melepas topinya kemudian turun dari sofa dan berjalan ke arah neneknya. Topi itu Dikara berikan pada Sofi. "Nek, lihat ini. Ateu Laya liat sudah." Terlihat betapa bahagianya Dikara menunjukan benda itu pada Neneknya. Sofi meminta Dikara duduk di sampingnya. Anak itu naik ke sofa dengan cara memanjat lebih dulu karena tinggi. Duduk dia di samping neneknya. Kepala Dikara mendongak agar bisa menatap mata Sofi. "Nenek suka, gak?" "Suka sekali Nenek, Dika. Bagus," puji Sofi. "Dika beliin nenek, ya? Beli dua. Kalau cuci satu lagi pake," ide balita itu. "Iya. Makasih banyak, Cucu." Sofi memeluk cucunya dan mengecup kening Dikara. Arkian hanya bisa diam menatap kedekatan nenek dan cucunya itu. Dikara memang tak kurang kasih sayang dari siapa pun. Hanya saja sosok ibu memang sulit diganti. Kalaupun ada ibu baru, apa mungkin bisa sayang layaknya Laras? "Kamu enggak kerja, Ar?" Sofi kembali mengajak berdialog. Arkian tertegun. Dia tanpa sadar merenung. "Gimana, Bu?" "Ibu tanya, kamu enggak kerja? Tuh, mulai ngelamun lagi. Berapa kali Ibu bilang, cari istri. Biar kamu kerja tenang, Dikara ada yang ngasuh. Dia juga enggak baik kalau dibawa ke toko terus. Belum lagi kalau ada yang ngerokok di dalam toko," nasihat Sofi. Arkian menggelengkan kepala. "Nanti saja, Bu. Sekarang masih mau ngasuh dia. Nanti saja kalau dia mulai cuek sama orang tua karena mulai sosialisasi. Sekarang dia masih butuh Arkian." Sofi menarik napas. Terasa berat helaan napasnya. "Nanti dia keburu mengerti dan mungkin keburu tidak menerima wanita itu. Lebih baik sekarang di saat dia belum tahu banyak." Arkian tetap menggeleng. "Aku bantu urus masalah makam Laras saja dulu, ya? Masalah itu bisa dibicarain nanti lagi, Bu." Sofi bingung bagaimana cara menghadapi menantunya itu. Tentu sulit bagi Sofi jika Arki menikah lagi. Dia merasa kasihan pada Almarhumah putrinya. Namun, Arkian tetap saja butuh sosok seorang istri. "Nanti lagi kapan? Kamu sudah bilang nanti dari Dikara masih bayi. Sekarang dia sudah bisa makan sendiri, lari-lari, sudah pintar. Masa kamu masih bilang nanti? Kamu pikirin baik-baik, Ar. Kamu itu lelaki, butuh sosok istri yang bisa urus kamu dan perhatian sama kamu. Kalau kamu lihat ke arah Dika terus ya pasti berat. Coba lihat ke diri kamu sendiri," saran Sofi. *** "Dika! Bawa apa ini?" tanya Bara melihat Dika yang duduk di kursi cafe sambil memeluk balon di tangannya. "Balon ni, Oom. Mau?" tawar Dikara sambil mengulurkan tangan yang memegang benda itu. "Enggak usah. Buat Dika saja. Kalau Oom yang bawa, nanti Oom dimarahin Papa Arki," tolak Bara. "Papa gak malah, kok. Papa bilang bagi-bagi baik, Oom. Satu agi mobil." Dikara menunjuk mobil papanya yang terparkir di luar, hanya terhalang kaca dari tempat mereka duduk. "Oom sudah enggak main balon, Nak." Bara duduk di depan ayah dan anak itu. "Aril mana, Ar? Katanya mau ke sini?" tanya Bara sambil menengok ke berbagai arah. "Enggak tahu. Nanti juga dia datang. Dia yang ajak, malah dia yang telat. Rese emang," omel Arki. "Namanya juga kuya batok 'kura-kura batok', Ar. Pastinya jalannya lambat. Kayak baru sekali ini saja jadi korban jam karetnya." Bara memanggil pelayan untuk meminta menu. Tak lama pelayan datang membawa buku menu dan berdiri tak jauh dari kedua sahabat itu. Bara membuka perlahan menu di tangannya. Dia terlihat begitu berkonsentrasi hingga tak sadar Arkian dan Dikara menertawakannya. "Mbak, saya mau Bruschetta. Minumnya jus melon saja," pesan Bara. "Maaf, Mas. Di menu kami tidak menyediakan jus melon," jelas Pelayan sambil tersenyum. Mungkin di dalam hatinya sudah ingin tertawa akibat konsumennya sudah gagal fokus. Semakin keras Arkian dan Dikara tertawa. "Kamu kenapa, Bar? Lagi banyak pikiran apa gimana?" Bara menggaruk kepalanya. "Enggak, kok. Aku pikir bisa pesen minuman yang enggak ada di menu." "Maaf, Mas. Bahan bakunya tentu tidak kami sediakan. Jadi silakan pilih yang ada di menu." "Maaf, Mbak. Teman saya ini emang agak gitu. Kalau sepeda sih, rantainya lepas," ledek Arkian. "Apaan, Ar! Jangan menjatuhkan harga diriku di depan wanita cantik begini. Mbak sudah punya pacar belum?" tanya Bara. "Enggak punya pacar, Mas. Adanya suami," jawab pelayan dengan polosnya. Arkian tertawa hingga melempar wadah tusuk gigi ke arah temannya. "Jangan sembarangan nembak. Kena tolak yang malu bukan kamu, doang. Aku yang jadi teman kamu juga ikut malu!" "Sama teman perhitungan!" Arkian merebut buku menu. Pertama dia tawarkan dulu apa yang Dikara inginkan. "Gak pedes-pedes, Papa," pinta Dikara. "Ini enggak pedes, kok. Mau ini saja? Manis. Ada cokelatnya," saran Arki yang langsung dibalas anggukan Dikara. Barulah pria itu mengembalikan menu pada pelayan. "Mbak, saya mau s**u cokelat tanpa es, terus es s**u matcha. Makanannya puding custard dan sirloin moon side steak." Pelayan lekas mencatat pesana. "Aku minumnya samain sama dia saja, Mbak." Bara menunjuk Arkian. Pelayan mengangguk dan meninggalkan keduanya. Dikara melihat ke luar kaca dinding. "Itu! Oom Alil," tunjuk Dikara. Arkian dan Bara menatap ke tempat yang sama. Mereka melihat pria itu tengah berlari kemudian naik ke teras. Kini Arkian dan Bara memalingkan pandangan ke pintu. Benar saja, Aril muncul dari sana sambil nyengir kuda. "Maafin aku. Tadi itu ada urusan penting," ucap Aril. Dia duduk di samping Bara. "Yang kira-kira, Ril. Kamu yang ajakin datang ke sini tadi. Malah kamu yang terlambat. Gimana, sih!" Bara terlihat jelas sewotnya. "Aku tadi sampai ngebut ke sini. Soalnya tadi ke rumah mertua dulu. Kupikir bakalan telat. Ternyata tuan rumah lebih telat lagi," protes Arkian. "Maaf." Aril menepuk bahu kedua sahabatnya. "Gimana bahan bakunya? Aman?" Aril langsung menjuruskan obrolan mereka. "Aman. Terigu yang kemarin kamu saranin ternyata dari importir yang sama. Jadi enggak rubah rasa roti. Sekarang yang aku butuhin karyawan. Di toko cuman ada delapan orang. Jadi kalau ada lonjakan pembeli, mereka belum siap benar," keluh Arkian. "Buka saja lowongan. Akun IG toko kamu lumayan banyak follower, 'kan?" saran Bara. "Pengennya yang sudah bisa dipercaya. Jadi kalau ditinggal aman. Kasian kalau terus minta Raya ajarin dan awasi." Arkian mengambil balon Dikara yang jatuh ke lantai. "Ouh iya, Raya apa kabar?" tanya Bara dengan nada yang langsung membuat Arkian langsung tertegun. "Sumpah, cara kamu nanyain Raya kayak lain," ledek Arkian. "Lain gimana? Dia adek kelas kita, 'kan. Kita bertiga dekat sama dia. Wajar kalau nanyain kabar," jelas Bara. "Kamu ada kontaknya. Tanyain saja sama orangnya. Gini sih kelihatan banget, Bar!" Aril ikut berkomentar. Bara hanya mengusap bagian belakang kepalanya. Ketiga orang ini memang bersahabat dengan dekat. Arkian, Aril, Bara dan Raya duduk di bangku SMA yang sama. Hanya saja saat Arkian dan duo sahabatnya kelas tiga, Raya baru kelas satu. Sedang Arkian mengenal Laras di universitas. Kebetulan ketiga pria ini dan Raya masuk universitas negeri yang sama. Orang tua Raya bekerja di rumah Arkian sebagai sopir dan pembantu. Raya sering main di rumah itu dengan Arki. Jadi Arki menganggap wanita itu seperti adiknya sendiri. Orang tua Arki juga sangat sayang pada Raya. Mereka memang orang yang terkenal dermawan. "Raya baik-baik saja, sih. Tadi juga dia kerja kayak biasanya," jawab Arkian. Setelah lulus, Arkian membuka toko roti. Sedang Bara bekerja di bank. Dan Aril menjadi manajer di salah satu cabang perusahaan ekspedisi. "Bagus kalau baik-baik saja. Bilang salam dari Bara," timpal Bara. "Cie," baik Arki dan Aril sama-sama meledek Bara. Sedang Dikara manyun sambil menatap pria itu kesal. "Ateu Laya mamana Dika!" batin anak itu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD