"Dikara! Apa kabar?" sapa Raya begitu melihat putra pemilik toko tempat ia bekerja turun dari mobil.
"Ateu, Dika bili ini." Anak itu menunjukan sebuah topi bergambar Winnie The Pooh dengan kapnya yang berwarna cokelat tua dan pelindung berwarna cokelat muda.
"Ini punya Dikara?" tanya Raya.
Arkian menutup pintu mobil. Pria itu merapikan kemejanya 'terutama di bagian punggung'. "Gimana toko, Dek? Sudah mulai ramai?" Arkian melihat di tangan gadis itu ada sebuah kotak berisi tumpukan roti.
"Pagi tadi banyak yang datang, Kak Arki. Mungkin karena jam sarapan. Ini roti sisa kemarin, mau aku buang." Raya melihat sekilas ke arah dus yang dia pegang.
"Hanya segitu?" Arkian memeriksa isi dus yang hanya terisi seperempatnya.
Raya mengangguk. Dia sedikit bergeser agar tak terkena tanaman di sisi pagar toko. "Iya, kemarin banyak konsumen datang beli. Pas banget waktu Kak Arki pulang."
Dikara menarik kemeja kerja Raya. Bagian bawah kemeja itu dibiarkan terurai ke bawah. "Ada apa, Dika?"
"Ateu, liat topi Dika, dong." Anak itu merengut sambil mengasongkan topinya.
Raya tersenyum. Dia turunkan dus di tangan ke paving blok. "Mana lihat." Raya mengambil topi itu. Dia perhatikan setiap sudut topinya. "Bagus sekali ini. Siapa yang beliin? Dika beli sendiri?"
Anak itu mengangguk dan meminta kembali topi yang masih dipegang Raya. Lekas Raya kembalikan topi milik Dikara. "Papa beliin. Kan Dika tabung-tabung. Uangna bayal topi entalan," jelas Dikara dengan bahasanya yang masih cadel. Dia kesulitan mengucap huruf L.
Ponsel Arkian terasa getarannya. Pria itu merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel dari sana. "Halo?" sapa Arkian pada pemilik nomor yang menghubunginya.
"Pak Arkian Nafees?" tanya lawan bicara.
"Betul, Pak. Maaf, ini dengan siapa?"
"Saya Arman, Pak. Ada kiriman terigu untuk toko France Bakery. Kira-kira siap diantar sekarang atau kapan, Pak?" tanya pria itu.
Arki menatap Dikara. Dia menepuk bahu Raya. "Dek, bawa Dika ke dalam, ya? Aku jawab telpon dulu. Tolong," pinta Arkian sambil berjalan ke sisi lain mobilnya.
"Baik, Kak." Raya menuntun Dikara masuk. Balita itu ikut dengan Raya tanpa merengek. Dia tak mudah dekat dengan orang lain, tetapi sangat lengket dengan Raya. Mungkin karena Raya sudah dianggap adik oleh Laras dan Arkian. Dia dekat dengan keluarga Arki dan Laras. Sejak bayi, Raya pula yang sering mengasuh Dikara sambil bekerja.
"Kalau bisa sekarang saja, Pak. Kemarin toko ramai, jadi bahan baku mulai menipis. Nanti saya atur dulu karyawan. Kirim lewat pintu belakang. Dari jalan depan, mutar saja. Masuk ke dalam gerbang komplek depan mall," jawab Arkian.
"Baik, Pak. Nanti saya kirimkan segera," timpal penelpon lalu menutup perbincangan mereka. Arkian berlari masuk lewat pintu samping ke arah dapur toko. Setelah menutup pintu cokelat dapur yang diberi hiasan di depannya, Arkian bertepuk beberapa kali untuk menarik perhatian karyawan yang tengah bekerja.
"Pegawai bagian resting di mana? Minta salah satu bagian baking yang jaga. Sisanya ikut ke pintu belakang. Terigu sebentar lagi datang," seru Arkian.
Pegawai langsung menempatkan diri. Mereka selalu ditegaskan untuk cepat mengambil keputusan. "Sufi!" panggil Gading pada rekannya dibagian baking.
Tak lama Sufi berlari masuk ke ruang resting di mana roti beristirahat agar mengembang sebelum kembali diuleni dan diberi toping. "Ada apa Kak Galih?" tanya Sufi.
Galih menunjuk pintu belakang di mana Arkian berlari ke sana. "Aku mau ke sana dulu, angkut terigu. Kamu tunggu dulu di sini. Pastikan semprot air bagian rak kanan. Lagi enggak manggang, 'kan?" papar Galih.
"Enggak, Kak. Masih nunggu rotinya ngembang dulu." Sufi langsung mengambil semprotan di atas meja.
"Oke, aku titipin." Galih berlari mengikuti Arkian.
Kedua pria itu berdiri di halaman belakang toko. Bangunan toko Arkian punya tiga pintu. Pintu samping tempat keluar dan masuk karyawan, pintu utama yang terbuat dari kaca tempat keluar dan masuk pembeli pun pintu belakang dari kayu tempat keluar masuk bahan dan mengeluarkan roti yang dikirim ke toko lain.
Toko roti itu terhitung paling besar di daerah itu. Arkian bahkan memiliki gerai di beberapa mall yang bekerja sama dengan gerai kopi. Rotinya dikenal lembut di dalam dan bertekstur. Bagian luarnya ada yang garing dan lembut, sesuai selera konsumen.
"Ini dari pemasok baru, Pak?" tanya Galih.
Arkian berdiri sambil melipat tangan. "Iya, Galih. Hampir semua toko ambil dari pemasok ini setelah kejadian kemarin. Kalau bahan baku terlambat, operasional toko kita ikut terganggu. Terigu dari pemasok ini bagus, untungnya ada yang mau ngasih tahu."
Pemasok sebelumnya tak juga mengirim terigu walau sebagian uang sudah ditransfer dan banyak pemilik bakery yang menjadi korban. "Enggak nyangka sih, Pak Komang kok bisa nipu pemesannya kayak gitu. Padahal sudah bertahun-tahun Pak Arki percaya dengan beliau." Galih mencoba menengok ke arah jalan.
"Kita enggak tahu apa yang terjadi dengan kehidupannya. Aku sudah silaturrahmi dengan beliau. Katanya beliau kena tipu hingga uangnya habis diperas di rekening. Beliau mencoba menutupi. Dia pikir akan mudah, ternyata sudah ditutupi dengan uang konsumen pun tetap tak tertutupi." Arkian membasahi bibirnya yang terasa kering.
Angin bertiup begitu kencang pagi ini. Mungkin efek jalan yang sepi hingga kendaraan begitu cepat berlalu-lalang. Pria itu melihat jam tangan. "Hari ini aku ada pertemuan di luar. Kalau sampai telat kirim, takutnya aku telat juga datang ke sana."
"Pertemuan penting, Pak?" Galih mengerutkan kening.
"Untungnya tidak, Galih. Jadi aku masih bisa lihat pengiriman bahan bakunya."
Terlihat mobil box menepi. Penjaga parkir langsung membantu menepikan kendaraan itu. Perlahan mobil box berhasil berbaris bersama kendaraan lainnya di sana. Sopirnya turun. Arkian menyambut pria itu.
"Pak, saya Arman yang tadi telpon," ungkap Pak Arman dan disambut uluran tangan Arkian. Keduanya berjabat tangan.
"Ini pegawai saya. Nanti akan bantu turunkan terigunya, Pak."
Galih langsung mengikuti Pak Arman ke belakang mobil box. Sedang Arkian berdiri tak jauh dari mobil demi melihat proses penurunan karung tepung terigu.
Arkian sempatkan mengecek kualitas terigunya. "Ini bagus, Pak. Saya kemarin sempat pesan di tempat lain, tapi kurang terpakai. Ternyata benar-benar berpengaruh sekali untuk roti saya, Pak."
"Syukurlah, kalau anda puas dengan bahan bakunya. Sebenernya ini dari perusahaan yang sama yang ditangani Pak Komang. Hanya saja dialihkan. Hanya sebagian konsumen yang dialihkan. Jadi mungkin sebagian lainnya belum tahu," terang Arman.
"Begitu. Pantas saja saya lihat hampir sama. Dipikir beda produk. Pokoknya terima kasih banyak, Pak."
"Sama-sama Pak Arkian. Saya izin menurunkan dulu terigunya dari mobil."
Arkian menepuk bahu Galih. "Yang lain panggil sekalian. Kenapa belum keluar juga?" tanya Arkian.
"Nanti sekalian masukin ini ke dalam," jawab Galih.
***
"Napa dak siniin?" tanya Dikara saat melihat Raya menata roti dalam rak.
"Beda, Nak," jawab Raya.
"Beda? Sama. Nih bulet-bulet," sanggah Dikara.
"Iya, bentuknya sama. Tapi kalau dilihat bagian dalamnya punya isi yang beda. Ada tulisannya di sini. Dikara sudah bisa baca belum?" Raya menunjukan tulisan di kemasan roti.
"Belum. Papa bilangna empat taun skola. Ateu mo skola?" Anak itu hanya setinggi rak roti tingkat pertama. Demi bicara dengan Raya, Dikara perlu mendongak.
"Ateu sudah lulus sekolah. Sekarang tinggal kerja." Sambil bicara dengan Dikara, Raya masih menata roti di rak.
"Wah, Lulus kelja gak?" tanya Dikara lagi. Dia memang selalu penuh dengan rasa penasaran di usianya.
"Mungkin kalau Ateu sudah nikah. Jadi di rumah; jagain rumah, bersihin rumah, masak, jaga suami, dan jaga anak. 'Kan sekarang belum nikah. Jadi masih kerja Ateunya." Raya usap rambut Dikara.
Anak itu memutar bola mata. Tak lama dia angkat sebelah kakinya kemudian dihentakan ke tanah. Tak lama Arkian muncul dari pintu dapur. Pria itu berjalan tergesa-gesa menuju kantor. "Ma Papa saja, tuh. Papa belum nikah."
Raya terkekeh. Ujung bibirnya terlihat manis karena terlekuk. "Papa sudah nikah sama Mama Laras. Makanya ada Dikara. Memang Dika enggak lihat foto nikahnya?"
Dikara menggaruk kening. "Dika dak diundang Papa, nih. Jadi Dika dak liat Papa nikah. Sedih ya, Ateu."
"Waktu itu, 'kan Dikara belum ada. Belum lahir. Dikara lahir kalau Mama Laras sama Papa Arkian menikah. Jadi kalau belum menikah, belum lahir," jelas Raya.
"Kan Mama Lalas dah ninggal."
"Makanya Dikara doain Mama." Raya merasa nyeri setiap kali Dikara mengatakan ibunya sudah meninggal. Kasihan sekali Raya pada anak itu.
"Nenek bilang, Papa nikah lagi bisa." Dikara menggerakkan telunjuknya.
Tak lama terdengar suara pintu terbuka. Arkian muncul dari sana menenteng sebuah tas di tangan. Dia mengulurkan tangan ke arah Dikara. "Dikara, ikut Papa. Hari ini ada acara. Kita ke sana, yuk!" ajak Arkian.
Dikara menggeleng. "Dika mo sama Ateu Laya. Papa pulang cana!" tolak Dikara. Dia spontan memeluk kaki Raya.
"Tante Raya harus kerja. Kalau kamu ikuti terus, kapan Tante bisa kerja?" nasihat Arkian.
"Ateu Laya lulus kelja. Papa nikah saja. Nikah Ateu Laya," pinta anak itu.
Seketika Arkian tercekat. "Nikah gimana? Tante Raya itu adiknya Papa. Jadi enggak boleh nikah," tolak Arkian.
Raya hanya sedikit menyunggingkan bibirnya. Sedang Dikara terlihat sangat kecewa hingga tak mau menatap Papanya lagi. "Dika mo punya Mama, 'kan?" pinta anak itu.
"Ada Mama Laras," timpal Raya mengusap punggung Dikara. Dia tak ingin anak itu terluka.
"Mama Lalas gak ada. Gak temen Dika main, gak suapin Dika. Dika mau Mama ada." Dengan punggung lengan Dikara menutup matanya.
Saat itu ada beberapa pengunjung di sana. Mereka melihat anak itu dengan iba. "Kang Arki, cepat nikah lagi. Kasian itu, Dika," saran salah satu pembeli yang memang sudah sering membeli di toko ini.
"Bukannya enggak mau, Bu. Nikah lagi gampang, tapi yang mau jaga anakku siapa? Enggak semua perempuan mau terima anak dari wanita lain." Arkian menggendong Dikara yang hanya diam saja merajuk.
"Iya, sih. Mending kalau dapat yang sayang anak. Kalau dapat yang ujungnya jahat sama anak kita. Jauh lebih kasian Dek Dikanya."
"Nah itu, Bu." Arkian mengusap kening putranya. Dia mendekatkan bibir ke telinga Dikara. "Beli balon pulangnya, mau?" tawar Arkian.
Tak lama Dikara menurunkan lengannya. Dia tersenyum. "Mau beli. Balonnya satu?"
"Iya satu saja. Kenapa harus banyak. Memang mau diapain?" Arkian sedikit mundur karena posisi lorong antar rak sempit. Kaki Dikara bergerak-gerak, mungkin bisa menendang rak tanpa sengaja.
"Mau kasih temen," jawabnya.
"Memang kamu punya teman?" Arkian terkekeh. Mumpung anaknya lupa, dia gendong Dikara keluar toko. Raya hanya memperhatikan mereka dari posisinya semula.
"Punya. Di lumah da Dolaemon, pikacucucu ada. Ouh itu, ada panda." Dikara menggerak-gerakkan tangannya.
Tiba di parkiran, Arkian membuka pintu mobil. Dia dudukan Dikara di kursi samping kemudi. "Mo mana, Pa?" tanya Dikara.
"Kita mau ke acara makan-makan," jawab Arkian. Pria itu memasang safety belt menyilang di tubuh Dikara. Barulah Arkian menutup pintu mobil. Pria itu memutari kap kendaraannya dan masuk ke dalam pintu di sisi lain.
Baru duduk di depan kemudi, ponselnya kembali bergetar. Lekas Arkian ambil benda itu di saku celana dan mengangkat telpon masuk. "Arki? Kamu di mana?" Orang di seberang sana langsung menegur.
"Masih di toko. Tadi mau monitoring dulu bahan masuk. Pemasoknya beda orang. Ternyata importirnya sama. Tadinya kupikir beda. Tapi ini mau ke sana, Bar." Sambil memegang ponsel, Arkian mengenakan safety belt.
"Jangan ke sini. Mendingan kamu lihat dulu makamnya Laras," saran Bara.
"Kenapa?" Arkian menaikan sebelah alis.
"Katanya kompleks pemakaman itu lagi digugat. Aku lihat beritanya di televisi," ungkap Bara.
"Digugat gimana? Itu kompleks pemakaman keluarga Laras, loh!" Arkian terlihat kaget mendengarnya.
"Kamu cek berita di televisi dulu, Ar. Pokoknya kamu harus cepet tanganin."
Arkian langsung mencari sumber berita di web pencarian berita. Dia melihat ada satu berita yang memang menyebutkan tentang gugatan itu. "Aku harus tanya dulu sama ibu mertuaku, Bar. Nanti aku hubungin kamu lagi, ya?" Arkian menutup telponnya.