Chapter 3. Hilang

1027 Words
Alat medis dilepaskan dari tubuh Laras. Arki duduk di lantai sambil memeluk lutut. Tangisnya pecah saat itu juga. Sofi pun sama, begitu terpukul wanita itu hingga pingsan di tempat. Laras akhirnya berpulang, meninggalkan suami dan putranya yang masih berjuang. "Laras!" panggil Arki. Ia meremas rambutnya sendiri karena begitu terpukul dengan kejadian ini. "Kamu janji sama aku, Ras. Kamu janji enggak akan ninggalin aku," ucap Arki. Rasanya baru kemarin Arki mengucap akad di depan penghulu. Kini, dia kehilangan Sang Istri untuk selamanya. Di toko ponsel Raya berbunyi. Wanita itu mengambil ponsel dan mengangkat telpon dari Bara. "Ada apa, Kak?" tanya Raya. "Ya, Laras meninggal tadi," jawab Bara. "Innalillahiwainnailaihirojiun. Kok bisa, Kak? Terus gimana bayinya?" tanya Raya dengan rasa khawatir. Laras temannya waktu kuliah dulu. Wanita itu sangat baik pada Raya. "Memang sudah lama ada masalah sama kandungannya, Ya. Sekarang sedang dimandikan di rumah sakit. Kamu dan karyawan lain kalau bisa tutup toko dulu. Terus datang ke rumah Arki, ya?" saran Bara. "Iya, Kak. Aku sampaikan ke pegawai lain untuk enggak menerima pelanggan dulu," ucap Raya lalu menutup telepon. Bara mengembalikan kembali ponselnya. Ia menatap Arki yang tengah berdiri di depan kaca ruang bayi. Bayinya masih ada dalam inkubator dan hanya bisa Arki lihat dari luar. "Ar, yang kuat kamu. Jangan banyak pikiran, ya? Sudah relakan saja, ini memang sudah takdir dan pasti ada rencana baik di balik ini semua, ya?" nasihat Bara sambil mengusap punggung Arki. "Sekarang gimana, Bar? Gimana caranya aku besarin anakku sendiri? Kalau dia tanya ke mana ibunya, aku jawab apa? Kalau dia tanya kenapa dia enggak punya ibu, aku jawab apa?" tanya Arki lirih. Air matanya kembali menetes. Ia merasa ada rasa sakit saat menelan ludah. Wajahnya memerah. Begitu sakit seperti ditikam berkali-kali. "Kamu pasti bisa, Ar. Kamu pria yang baik. Banyak orang yang peduli sama kamu. Aku juga bakalan bantu kamu, kok. Yang tabah, ya?" pesan Bara. Setelah dimandikan, tubuh Laras dibawa pulang. Arki duduk menghadap tubuh istrinya. Bara dan teman Arki lainnya memberitahukan pada pihak RT agar kematian Laras lekas diumumkan. Tak lama warga datang untuk melayat dan menyalatkan. Semua orang yang datang menatap iba ke arah Arkian. Mereka tahu pasangan muda itu selalu akur. Bahkan hampir tak pernah terdengar mereka bertengkar. Namun, mereka terpisah oleh maut dan tak bisa bertemu lagi untuk selamanya. "Nak, Arki. Harus tabah, ya? Dunia ini dan apa pun di dalamnya hanya sementara. Kini mungkin istri kita dan suatu hari diri sendiri kita akan berpulang. Banyak bersabar, pasti akan ada jalan," nasihat Ustaz. "Terima kasih, Pak," jawab Arki sambil meneteskan air mata. Dia yang mengantar Laras hingga ke makam dan menguburkan istrinya. Arki sempat berbisik di telinga Laras. "Dengar, istirahat dengan tenang. Semoga amal ibadah kamu diterima Allah. Aku akan jaga anak kita dengan baik. Aku akan sayang sama dia hingga dia enggak merasakan kekurangan kasih sayang. Aku sayang kamu, Laras." Akhirnya tubuh Laras ditutupi oleh papan-papan kayu, kemudian ditimbun tanah makam. Arki memeluk foto istrinya. Tangannya gemetaran. Kakinya lemas hingga berjongkok di sisi makam. Ini adalah hari terakhir keduanya bertemu. Selamat jalan Laras. *** Dua minggu kemudian, Arkian akhirnya bisa membawa putranya, Dikara pulang. Bayi itu semakin gemuk. Arki setiap pagi akan menjemur putranya di bawah sinar matahari yang masih hangat sambil memangku bayi itu. "Anak Papa, sudah makan, sudah mandi .... Jemur dulu, ya? Biar anget," ucap Arkian. Diusap pipi putranya sambil sesekali ditekan pelan. Dikara tersenyum. Kadang ia menguap. "Anak Papa lucu banget. Iya, 'kan? Jadi anak yang baik ya, Nak. Jadi anak yang nurut." Arkian sama sekali tak pernah meninggalkan bayinya. Meski Sofi dan ibunya sering meminta untuk mengasuh anak itu, Arkian menolak. Ia memakai alasan jika Laras memberinya amanah untuk mengasuh Dikara. Jadilah Dikara, sering Arkian bawa ke toko. Sambil kerja, dia menggendong Dikara. Walau kadang ada saja masalah. "Dek!" panggil Arki. "Ada apa, Pak?" tanya Raya yang langsung datang menghampiri pria itu. "Itu, bisa jaga Dikara dulu? Aku kebelet ada panggilan alam," jelasnya. Raya tertawa geli. "Ya sudah sini, mana Dikaranya?" Arkian langsung memberikan Dikara pada Raya sementara ia pergi ke kamar mandi. Kadang Arkian sering menunggu Dikara tidur untuk hanya sekadar makan dan melakukan kegiatan lainnya. Untung saja selama dia di toko, ada pembantu yang membersihkan rumah dan memasak. Kadang Ibunya datang untuk mengirim makanan. Tahun demi tahun berlalu. Dikara sudah biasa tumbuh di rumah dan toko. Bahkan pelanggan tetap Arki tahu benar anak itu. Mereka melihat saat Dikara bisa merangkak dan berjalan. Ada saja pelanggan yang memberi Dikara hadiah saat ulang tahun. Arkian memang ayah yang tangguh. Dia sama sekali tak punya keinginan untuk menikah lagi. "Kecuali kalau ada yang kayak Laras," tegas Arka setiap kali Bara membahas masalah pernikahan. "Mana ada, Ar. Kalau pun ada sama, enggak mungkin sama seratus persen." "Masalahnya itu anakku. Mana bisa wanita lain sayang sama anakku. Lagian apalagi yang mau aku gapai? Aku punya kerjaan, punya usaha, punya anak. Sudah!" tegas Arkian. "Hidup enggak bisa sempurna kalau enggak nikah, Ar," tambah Bara. "Kalau gitu, kamu duluan nikah sana. Jangan ke aku terus. Kamu juga belum nikah." Ada saja alasan Arkian untuk menolak tawaran Bara. Tahun demi tahun berlalu. Rumah Arkian kini semakin hangat akan keberadaan Dikara. Seperti hari itu. "Papa! Mana topi, Dikala?" tanya anak berusia tiga tahun yang masih belum lancar mengucap huruf R. "Lha, bukannya tadi Papa simpan di atas meja?" Arki menyimpan jasnya lalu berjalan ke luar kamar menuju kamar Dikara. Topi yang sudah ia siapkan tak ada di sana. "Tadi Papa simpan topi kamu di sini, loh," ucap Arkian menunjuk meja. Namun, topi tak ada di sana. Ia melirik ke sisi kanan dan kiri. "Kok enggak ada? Sudah Papa simpen di sini, loh!" tegas Arkian. Ia melihat jam tangan. Ponselnya tiba-tiba berdering. "Iya, Raya? Kenapa?" tanya Arkian pada seseorang di seberang sana. "Pak, Ada Pak Wahyu yang mau jual rumahnya buat toko roti," jawab Raya. "Iya kah? Suruh nunggu dulu, ya?" pinta Arkian. Pria itu lekas menggendong Dikara. Ia membawa tas putranya di punggung. "Papa, topi Dikala," rengek anak itu. "Nanti, ya? Papa harus cepet ke toko. Nanti kita beli pulangnya saja, ya?" ucap Arkian. Ia lari ke kamar dan mengambil kunci mobil. Tak lupa pintu dikunci dan barulah ia naikan Dikara masukan ke dalam mobil di jok depan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD