Chapter 15. Dua Kepentingan

1812 Words
"Tolong yang ini besok kalau bisa ganti resep dengan yang baru, ya? Kayaknya sekarang orang lebih suka dengan yang sedikit alot. Ouh iya, sample saus s**u cokelatnya sudah selesai?" tanya Arkian saat memeriksa toko roti. "Sudah, Pak. Kemarin sudah diminta sama Teh Raya. Katanya mau tes ketahanan dulu," jawab salah satu staf dapur. Arkian mengangguk. "Bagus, deh. Pokoknya kalau aku enggak ada, langsung ke Raya saja. Satu lagi, cek bahan yang habis ke bagian gudang. Aku enggak mau habis stock pas lagi banyak pembeli. Liat rak roti kosong, senang kalau karena laku. Tapi kalau enggak tersedia bahan, aku enggak suka!" Arkian berjalan meninggalkan dapur. Pria itu melihat Dikara main balon di dekat dinding kaca. Balon gas berbentuk Doraemon itu terbang dan tertahan dinding. Dikara menariknya ke bawah sesekali lalu sengaja membuat benda itu terbang dan menarik talinya lagi. "Dikara! Makan siang dulu, yuk!" panggil Arkian. Dikara mengangguk. Dia turun dari kursi pengunjung dan berlari menuju Papanya. Tangan Arkian mengulur dan dibalas oleh Dikara. "Makang siang dulu. Nanti Dika tinggi setinggi Papa. Enggak setinggi Oom Bara. Tapi ganteng Papa," ucap anak itu. "Makasih banyak. Tapi bilang gitu di depan Oom Bara malah ...." Hendak melanjutkan pembicaraan, Arkian melihat mobil Aril menepi. Dia tahu itu mobil temannya karena ada sticker Snoopy di kap mobil. Benar saja, Aril turun dari mobil dan mengenakan kaca mata hitam. Arkian mengeluarkan suara decakan dari mulutnya. "Ngapain dia ke sini. Pake bawa bunga segala. Dia pikir ini kuburan, apa?" omel Arkian. "Napa emang?" tanya Dikara yang bingung melihat Papanya mengomel. Aril membuka pintu toko. Pria itu tersenyum. "Hai, Ar. Lagi ngapain?" tanya Aril dengan suara santai seperti biasa. "Kebalik, Zaenudin! Ini toko punyaku. Mau ngapain di sini ya terserah aku. Harusnya aku tanya sama kamu, ngapain ke sini? Seingat aku, kamu bukan pembeli di sini!" omel Arkian tak terima temannya datang karena sudah dia tebak pasti akan membuat keributan. "Zaenudin nama Bapakku! Jangan berantem bawa nama bokap, lah! Kamu kenapa, sih? Temannya datang tuh suguhin gitu. Tamu adalah raja, Ar." "Tamu adalah raja buat yang tahu diri, Ril. Kalau yang niatnya cuman buat bikin masalah namanya rampok," omel Arkian. Aril terlihat memeriksa sekitar. "Nyari apa?" tegur Arkian. "Karyawan kamu ke mana?" tanya Aril. Arkian menunjuk satu per satu karyawannya yang ada di sana. "Tuh! Banyak! Maklum toko roti besar," jawab Arkian. "Sombong amat! Bukan yang itu, yang cantik." "Di sini banyak karyawan perempuan. Pasti cantik-cantik. Kalau yang ganteng ya laki-laki!" "Is, namanya Neng Sufi. Mana?" tegas Aril agar semuanya lebih jelas. "Ouh, hari ini dia shift siang. Ke sini jam dua nanti. Tunggu saja." Aril terlihat kecewa. "Yah, padahal aku ke sini karena lagi istirahat. Nunggu jam dua keburu masuk, Ar." "Masalah buat aku?" Arkian langsung melangkah masuk ke dalam kantor. Aril membawa salah satu roti. "Ar, nanti kasihin bunga ini buat Sufi, ya? Sekalian titip salam dari aku. Kalau bisa, sih. Minta nomor HPnya." Arkian duduk di kursi kerjanya. Sedang Dikara menggeser kursi makan ke arah Papanya. "Dika bisa sendiri. Bawa kursi," ucap anak itu. . "Anaknya Papa kuat," puji Arkian. "Ar, aku lagi ngomong, nih. Coba dengerin dulu! Tadi aku ngomong apa?" protes Aril. "Iya tahu. Nanti aku bilang sama Sufi." "Nomornya?" pinta Aril. Pria itu sampai menyandarkan dagu ke meja kerja Arkian dan memandang dengan tatapan penuh pengharapan. "Kamu gimana, sih? Minta nomor orang tentu harus sesuai izin yang punya nomor. Apalagi itu karyawanku. Tentu aku enggak bisa sembarangan kasih walau sama kamu. Mereka kerja di sini juga dititip orang tua mereka. Ngerti?" omel Arkian. Aril menunduk lesu. "Ar, kamu enggak mau nikah lagi enggak apa-apa. Paling penting kamu punya keturunan. Aku? Apalah aku ini? Masa mau biarin aku jadi bujang terus?" "Kalau anaknya enggak mau gimana?" "Pasti mau, lah. Kemarin dia sudah ngasih lampu hijau, kok. Malah dia kayaknya senang aku deketin. Lagian juga kapan lagi dapet jodoh laki-laki ganteng yang dibawa ke mana-mana bikin bangga." Aril berdiri sambil berkacak pinggang. "Tapi aku ke mana-mana sama kamu malah malu," timpal Arkian dengan tega seperti biasa. "Aku benci kamu, Ar!" "Aku juga. Terus itu roti belum dibayar!" tunjuk Arkian ke arah tangan Aril. "Harga temen, ya?" "Sudah enggak usah temenan kita!" Arkian membuka tutup kotak bekal Dikara. Melihat itu Aril duduk di kursi depan Arkian. Dia melihat Arkian dengan wajah kasihan. "Dika, makan sendiri. Papa nanti lihatin sudah bisa sampai habis enggak?" pinta Arki. "Kamu tiap hari kayak gini?" tanya Aril dengan suara lemas. "Iyalah, namanya juga punya anak," jawab Arkian dengan santai. Terdengar suara pintu terbuka. "Lho, Kak Aril ngapain di sini?" tanya Raya yang datang dengan galih membawa sample saus untuk roti. "Raya! Aku mo ketemu sama Sufi," jawab Aril. Mendengar Aril menyebut nama Sufi, Galih terbelalak. Dia memperhatikan pria yang duduk berhadapan dengan Arkian. Wajah Galih berubah pucat. "Ngapain nanyain Kak Sufi?" tanya Raya. "Sufi enggak bilang kalau aku sempat PDKT sama dia?" jawab Aril membuat hati Galih semakin terusik. Pria itu menyimpan sample saus di atas meja. "Pak Arkian, ini saus dengan resep baru. Chefnya sudah selesai dari kemarin, tapi katanya masih ada tambahan jadi dia buat baru," jelas Galih. "Oke, baru aku tanyain sama Sri di depan. Katanya sudah Raya ambil. Ternyata memang belum dibuat pas," timpal Arkian. Raya ikut menyimpan sample saus. "Kak Aril! Kak Sufi itu perempuan baik. Kalau bisa Kak Aril harus serius sama dia. Jangan dimain-mainin," omel Raya sambil menunjuk-nunjuk Aril. "Iyalah, aku beneran sama dia, kok. Enggak percaya terus. Aku sudah pengen nikah dan punya anak. Biar Dikara ada lawannya," jawab Aril. Galih menunduk di depan Arkian lalu berjalan ke luar ruangan atasannya itu. Dia tak sanggup mendengar perbincangan Aril dengan Raya soal Sufi. "Padahal aku sudah nabung buat lamar dia. Ternyata ada pria yang jauh lebih mampu," batin Galih. *** Hal yang paling dibenci dalam pertemuan dengan teman kita di masa lalu adalah ketika kita bukan siapa-siapa. Benar, itu yang Yasmin alami. Dia tak menyangka tak bisa masuk kuliah akibat keluarganya mengalami guncangan ekonomi begitu keras. Terpaksa Yasmin bekerja setelah lulus dan kini menetap di kantor ekspedisi. Namun, serajin apa pun karyawan, rasanya tak ada perubahan dalam karir Yasmin. Malah kesalahan kecil tetap membuat dia ditegur hingga kena marah atasan. Padahal pekerjaannya yang memuaskan belum pernah mendapat pujian berupa uang apalagi naik jabatan. Dia menjadi semakin kurang percaya diri dan lama-lama sadar kalau jadi Si paling pintar di sekolah belum tentu baik. Buktinya Yasmin tetap tak bisa melanjutkan kuliah. Bukan karena tak bisa dapat beasiswa, tetapi tak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. "Jadi di sana kamu kerja apa?" tanya salah satu teman Yasmin. Pertanyaan itu sebenarnya ringan saja. Hanya mungkin terasa seperti menyepelekan. Reuni ini dihadiri siswa dan siswi berprestasi di sekolah Yasmin dulu waktu SMA dan hanya Yasmin yang tidak kuliah. "Ya gitu, aku masukin laporan. Input data paket," jawab Yasmin. "Kerja dari jam berapa sampai jam berapa?" "Jam tujuh sampai jam empat." Yasmin masih menyembunyikan kekesalannya. Dari sekian banyak alumni hanya Yasmin yang ditanyai begitu. "Sayang banget kamu enggak kuliah dulu. Mungkin saja sekarang kamu bakalan kayak kita-kita." Mungkin memang Yasmin sensitif, tetapi ucapan itu benar sangat menyakitinya. Apa harus dia dikasihani hanya karena tak kuliah? Banyak orang tak kuliah dan Sukses. Satu lagi, memang seperti mereka bagaimana, sampai Yasmin harus seperti mereka? "Soalnya aku harus gantiin Bapakku. Adikku masih sekolah. Ibuku sendiri sudah tua. Aku enggak boleh egois," jawab Yasmin. Benar, banyak orang bisa maju karena punya dukungan orang tua. Mereka tak perlu takut orang tua mereka tak bisa makan. Sedang Yasmin? Andai kalau dia di posisi teman-temannya pun, dia akan kuliah dan bekerja di tempat yang kata mereka seperti mereka. Hanya sebatas itu yang mereka ingin tahu. Selebihnya mereka tak peduli. Benar, tak ada uang maka tak jadi teman. Buktinya Yasmin hanya duduk sendiri sementara teman-temannya banyak cerita tentang pekerjaan, gaji, destinasi wisata di luar negeri hingga circle di mana mereka mendapatkan banyak koneksi. Yasmin mengambil minuman dan meneguk isinya. Dia ingin marah, hanya untuk apa? Tetap saja dia akan dipandang sebelah mata. Sempat Yasmin melihat ke luar jendela. "Kalau saja aku bisa memperbaiki hidupku. Gimana?" batin perempuan itu. "Eh, aku dengar suaminya kaya raya. Dia beruntung banget, sih." Terdengar suara orang-orang mengobrol. Yasmin tak berpaling. Dia tetap melihat ke arah luar. Dia hanya mencoba mendengarkan obrolan orang-orang di sana. "Iya, dia dapet pejabat. Makanya bisa sekaya itu. Padahal keluarga dia juga biasa-biasa saja. Mana suaminya kayak cinta mati banget. Dia dikuliahin sama suaminya sampai S2. Beruntung banget." "Pantesan mendadak dia populer banget. Sekarang dia yang paling diincer buat ditemenin." Yasmin tersenyum sinis. "Iya, 'kan? Kalian cuman peduli duit saja," batin perempuan itu lagi. Yasmin mengetuk-ngetuk ujung sepatu ke meja. "Koneksi dia banyak dong kalau dia istri pejabat. Boleh kita pepet, nih." "Aku juga gitu rencananya. Soalnya usaha yang aku mau buat butuh izin dan ngurusnya lama," timpal yang lain. Di sana Yasmin punya ide. Dia tatap pantulan wajahnya di cermin. "Kalau aku enggak bisa kaya pakai usaha sendiri, kenapa aku enggak cari saja lelaki kaya," pikir Yasmin. Wanita itu tersenyum lalu meneguk isi air dalam gelas yang dia pegang. Selesai acara reuni Yasmin pulang ke rumah. Dia naik angkot. Sesekali Yasmin berpikir bagaimana bisa dia dekati pria kaya. Bahkan atasan di kantornya saja begitu galak. Aril memang seperti terkesan mudah menggoda wanita, tetapi dia tetap tak menggoda wanita sembarangan. Apalgi di kantor. Aril kalau bekerja sangat serius. Tiba di ujung gang rumahnya, Yasmin turun dan membayar angkot. Di sana, dia melihat Raya berjalan ke arahnya dari dalam gang. "Kayaknya pernah lihat?" tanya Yasmin. Raya menaikan sebelah alis. "Ouh, yang kirim paket, ya?" terka Raya. "Iya. Aku kirim paket ke toko rotinya. Duh, enggak nyangka rumahnya di sini. Memang orang sini?" tanya Yamin. Raya menganggukkan kepala. "Iya, aku orang sini. Dari kecil juga tinggal di sini. Rumahnya yang dekat sama lapang. Teteh rumahnya di mana?" tanya Raya. "Aku ngekos di sini. Orang tua tinggal di Kabupaten. Senang bisa ketemu sama Teteh." "Aku juga. Aku Raya. Teteh siapa?" "Aku Yasmin." "Ouh, Teteh kerja di kantor ekspedisi dekat sini?" tanya Raya lagi yang langsung dibalas anggukan oleh Yasmin. "Itu, yang gedungnya dekat bank itu. Itu memang cabangnya," jawab Yasmin. Raya tertegun. "Kakak eh sahabat dekat aku kerja di sana juga. Jadi manajer kalau enggak salah." "Manajer di sana cuman satu, sih. Namanya Pak Aril." "Iya, itu! Itu kakak kelas dulu. Cuman sudah dekat banget makanya aku anggap kakak," jelas Raya. "Wah, hebat banget. Pak Aril orangnya baik, kok," dusta Yasmin. Siapa tahu kalau memuji bisa membuat Yasmin dipromosikan. "Makasih, aku sampaikan sama Kak Aril nanti. Aku permisi dulu, mau beli bubur buar Bapak," pamit Raya. "Iya, hati-hati," timpal Yasmin. Raya melangkah pergi. Gadis itu melihat ke sisi kanan dan kiri untuk mencari tukang bubur hingga melihat gerobak biru penjual makanan itu di dekat toko emas. "Untung Mang Somad masih ada," ucap Raya bersyukur lalu berjalan kembali menghampiri tenda. "Pak Somad, beli bubur, Pak!" pinta Raya. "Lha, Raya. Lagi ngapain?" tanya salah satu pembeli bubur yang Raya tahu siapa. Dunia memang tak terlalu luas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD