6. Sang Penggoda

2302 Words
Langit mendatangi pertemuan itu sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Berbagai jamuan sudah tertata rapi di atas meja. Semua terlihat mewah dengan berbagai aksesori dan dekorasi yang bernilai fantastis. Undangan pun, hanya untuk orang-orang penting yang berpengaruh di dunia bisnis. Tampak seseorang sedang menikmati segelas wine dengan tenang. Langit pun berjalan untuk menghampirinya. Ketika sudah berada di hadapannya, Langit menyapanya dengan sopan. “Hello. Mr. Cleo, how are you?” Mr. Cleo yang menyadari keberadaan Langit, ia kemudian menaruh gelas bekas minuman wine yang dipakainya dan Langsung merangkul tubuh kekar Langit secara gentle. Mereka pun terlihat begitu akrab. “Hei Tuan Muda, akhirnya kita bisa berjumpa lagi setelah sekian lama tidak bertemu. Seperti yang Anda lihat, kabar saya baik, bahkan sangat baik,” jawab Mr. Cleo. “Syukurlah, kalau begitu. Saya cukup senang mendengarnya.” Langit tersenyum ramah. Mr. Cleo tampak acuh. “Lalu, Anda sendiri bagaimana? Sudah punya istri belum?” Ya, hanya Mr. Cleo yang berani menanyakan hal seprivacy ini pada Langit. Langit tidak keberatan jika pertanyaan itu terlontar dari ucapan Mr. Cleo. Bagaimanapun juga, Mr Cleo adalah rekan bisnis Langit sekaligus investor terbesar di perusahaannya. Mendengar kata istri, Langit tertawa renyah. Bayangan sosok Bintang pun tiba-tiba langsung terpikir di kepalanya. “Hahaha ... doakan saja Mister. Semoga secepatnya saya bisa menjadikannya sebagai istri saya,”ujar Langit mantap, meski dalam hatinya, ia tidak yakin, apakah dirinya bisa menjadikan Bintang sebagai istrinya? Semoga saja, mamanya mau memberikan restu. “Hal baik menyertaimu, Tuan Langit. Semoga saja dia bisa secepatnya menjadi milikmu. Bersatu menjadi keluarga yang bahagia, dikaruniai anak-anak yang pintar dan rajin beribadah.” Doa baik dari Mr. Cleo. Langit tersenyum tulus. “Terima kasih, Mr. Cleo. Kalau begitu saya permisi dulu untuk menyapa rekan-rekan yang lain,” Mr. Cleo mengangguk. “Silakan. Di sini juga banyak wanita cantik, siapa tahu berjodoh,” goda Mr. Cleo. Sudut bibir Langit terulur untuk memberikan senyuman. “Ah, Mr. Cleo bisa saja. Saya ke sana dulu, Mr Cleo, permisi.” Langit menunjuk ke arah kerumunan di sana. “Oke, have fun, Tuan Muda.” Mr. Cleo mengacungkan kedua jempolnya. Setelahnya, Langit pun berlalu. Ia berjalan menuju rekan-rekan bisnisnya yang sedang asyik mengobrol di sana. *** Sementara, Bintang di rumah masih mengasuh keponakannya yang rewel. “Tante, mimik dot,” rengek Renisa dengan logatnya yang cadel. Sambil menyerahkan botol dot yang kosong, Rensia berguling mendekati Bintang yang berbaring di tempat tidur. “Sayang dulu,” ujar Bintang lembut. Bintang memang penyayang anak kecil. Sikapnya yang lembut, membuat anak-anak mudah akrab dengannya. Selain berwajah teduh, Bintang juga sosok keibuan. Itu juga yang menjadi daya tarik Bintang di mata laki-laki yang memandang dirinya. Bintang mendekatkan wajahnya ke arah Rensia. Dengan senang hati, Rensia mencium pipi Bintang secara bergantian. “Muah, Muah.” Suara ciuman dari bibir Rensia. “Ini belum,” ujar Bintang sambil memegang keningnya. Rensia pun kembali mendekat dan mencium kening Bintang penuh ketulusan. “Muah.” Bintang tersenyum. “Terima kasih, Cantiknya Tante.” Bintang membalas mencium kedua pipi Rensia yang gembil secara bersamaan. Muah. “Sama-Sama,” jawab Rensia dengan logatnya yang cadel. Ya, Rensia adalah keponakan Bintang tersayang. Usianya baru menginjak 2,5 tahun. Namun ia memiliki perawakan yang gemuk, sehingga terlihat sangat lucu dan menggemaskan. Bintang pun bangkit dari posisi rebahannya. Ia membawa botol dot milik Rensia, dan berjalan ke luar untuk membuatkan Rensia s**u formula yang Rensia konsumsi. Dengan cekatan, Bintang mengisi botol dot dengan bubuk putih yang biasa diminum anak-anak. Setelahnya, ia menuangkan sedikit air panas dari dispenser lalu mengocoknya sebentar. Setelah semuanya sudah tercampur, Bintang pun menambahkan sedikit air dingin. Bintang berjalan kembali ke dalam kamar, lalu menyerahkan dot itu pada Rensia. Rensia yang sedang asyik rebahan sambil menonton kartun di televisi, dengan semangat ia bangun dan mengambil alih botol dotnya dari tangan Bintang. Setelahnya, ia kembali rebahan sambil menonton film kartun ditemani sebotol dot. Bintang pun ikut merebahkan dirinya di samping Rensia. Hari ini, Bintang libur kuliah. Jadi, ia bisa menemani Rensia seharian. Biasanya, kalau Bintang kuliah, Rensia pasti dititipkan di rumah pengasuhnya, karena tidak ada orang di rumah. Kedua orang tua Rensia sama-sama bekerja. Jadi, tidak ada yang bisa mengasuh Rensia. Rensia pun terpaksa dititipkan di rumah Buk Minah. Merasa suntuk, akhirnya Bintang memainkan ponselnya. Tak kunjung hilang rasa bosannya, Bintang memilih untuk membuka room chat di aplikasi WhatsAppnnya bersama Langit. Ia pun mengetikkan sesuatu di sana. Bintang: Sayang, udah mulai acaranya? Satu pesan singkat dari Bintang terkirim. Dua centang abu-abu menandakan jika pesannya sudah masuk di notifikasi ponsel Langit. Saat centang abu tak kunjung membiru, Bintang mendiamkan ponselnya. Ia memainkan rambut Rensia dengan jari-jemarinya yang mungil. 1 menit 2 menit . . 10 menit, masih tak ada balasan. Bintang kembali memeriksa ponselnya. Barangkali, Langit sudah membaca pesannya. Lagi-lagi, hanya centang dua berwarna abu yang menghiasi bagian bawah pesan yang dikirimnya untuk Langit. Bintang menghela napas kasar. Ia mencoba untuk berpikir positif. Mungkin, Langit masih sibuk dengan para rekan bisnisnya. Meski, dalam hati, Bintang merasa sedikit kesal. Padahal, tadi Langit yang memintanya untuk ditemani meski hanya lewat chat. Beginilah nasibnya hubungan LDR. Apa-apa cuman bisa lewat virtual. Tapi, tidak masalah, selagi kepercayaan dan komunikasi masih aman, semua akan baik-baik saja. *** Di tempatnya, Langit duduk pada kursi tamu yang disediakan. Dengan segelas orange juice di tangannya, ia menenggaknya hingga tandas. Ia pun menaruh gelas kosong pada meja bundar yang ada di hadapannya. “Excuse me, may I join here?” ujar seorang wanita dengan pakaian yang begitu elegan. Langit pun mendongak sedikit, untuk melihat siapakah sosok wanita yang berdiri di hadapannya. Ia pun tersenyum ramah, setelah mengetahui pemilik suara yang mengusiknya itu. “Please, Miss,” ujar Langit sopan. “Thank you,” balas wanita cantik itu diiringi dengan senyum menggoda. Wanita itu kemudian mendudukkan dirinya di hadapan Langit. “Alena Chole,” ujar wanita itu sembari mengulurkan tangannya ke arah Langit. Langit membalas uluran tangannya “Langit Aldebaran Putra. You can call me, Langit.” Alena tersenyum. “Nice name,” puji Alena. Langit pun membalas senyuman itu. “thanks,” ujarnya tidak ingin berbasa-basi. Anggukan kecil Alena berikan. Tak ingin kehilangan kesempatan untuk dekat dengan pria di hadapannya ini, Alena mencoba mengenal Langit lebih jauh. “what do you from, Langit?” “I'm from Indonesia,” jawab Langit sekenannya. “Woah, Indonesia? kita sama, Tuan,” ujar Alena antusias. Tak disangka, jika dirinya dan Langit berasal dari negara yang sama. Langit pun juga terkaget mendengar pernyataan Alena. “Oh ya? tapi Anda terlihat seperti bukan orang indonesia ya?” Alena tertawa renyah. “Saya blasteran. Mama saya asli Indonesia, sementara papa saya bule Jerman, dan hasilnya ya terciptalah saya.” Langit mengangguk. Ia pun terdiam tanpa berniat mengobrol basa-basi. Lagi-lagi, Alena kembali membuka suara. “Oh iya, Langit. Kamu indonesianya di wilayah mana?” tanya Alena tak menyerah. Meski tidak mendapat respon yang hangat dari Langit, namun ia tetap mencoba. “Orang tua saya di Surabaya. Tapi, saya lebih sering tinggal di Jakarta karena harus mengurus bisnis. Anda sendiri tinggal di mana?” Langit bertanya balik. Hanya sebagai bentuk menghargai. Alena menggeleng. “Jangan panggil Anda, ya? panggilnya aku kamu saja, biar makin akrab,” pinta Alena. Langit menggeleng tegas. “Itu terlalu lancang, Nona. Tidak pantas panggilan itu untuk wanita hebat seperti Anda.” Alena memandang Langit dengan tatapan memohon. “Ayolah, Langit. Lagian, saya sendiri yang memintanya.” Melihat Alena yang terlalu agresif, membuat Langit sedikit risih. Langit akui, dulu memang dirinya begitu doyan dengan wanita seperti Alena. Baginya, itu menantang. Tapi, setelah Bintang hadir di dalam hidupnya, Langit merasa jika mereka semua tidak ada yang sebanding dengan pesona Bintang. Gadis sederhana yang mampu membuatnya bertekuk lutut. Membayangkan Bintang, Langit jadi teringat dengan pesannya di telepon, yang menyuruh Bintang untuk menemaninya tadi. “Baiklah, baiklah, terserah kamu saja,” ujar Langit acuh. Di sana, hati Alena sudah berbunga-bunga. Langit pun mengambil ponsel dari saku jasnya. Dibukanya layar pipih harga selangit itu. Langit mengerutkan dahi saat mendapati nama Bintang tertera di sana. Ia jadi merasa bersalah karena tak kunjung membalas notifikasi dari Bintang yang sudah masuk satu jam yang lalu. Langit mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Langit: Sayang, maaf ya, aku balesnya lama. Langit: Kamu lagi apa? Tak lama, suara notifikasi terdengar dari layar ponselnya. Senyum Langit terbit setelah membaca pesan Bintang yang sedang mengoceh. Bintangku: Heh, kebiasaan. Tadi nyuruh minta temenin. Giliran ditemenin, malah ngilang. Untung jauh, kalau deket aku cekik. Tangan Langit tergelitik untuk segera mengirim pesan balasan. Langit: Iya, maaf. Sekarang temenin aku. Ini di depanku ada yang berusaha deketin nih. Bintangku: Cewek apa cowok? Langit mengernyitkan dahinya. Ia lupa jika kekasihnya ini sedikit lola. Meski begitu, Langit begitu menyayanginya. Langit: Astaga, Sayang, ya cewek, lah. Kalau dia cowok, ngapain aku laporan ke kamu? Aku nggak menyimpang ya! Langit: Oh iya, aku lupa. ‘kan kamu lola. Alena yang melihat Langit lebih asyik dengan ponselnya, ia pun mencoba mengalihkan perhatian Langit dari benda pipih itu. “Langit, kamu sudah menikah?” Pertanyaan itu lolos keluar dari bibir Alena. Langit mengernyit bingung. Meski begitu, ia tetap menjawabnya. “Belum.” Mendengar jawaban Langit, Alena menahan senyumnya. Meski dalam hati ia sudah berteriak, “Yes! Aku punya kesempatan.” Entah sebahagia apa wajah Alena saat ini. Namun Langit terlihat acuh dan tidak peduli. Pesan dari Bintang kembali masuk. Bintangku: Awas ya, kalau kamu macem-macem. Bintangku: Jangan aneh-aneh! Langit tersenyum. Dengan cepat, ia pun membalasnya. . Langit: Iya, Sayang. Mau aku telepon? Langit: Aku rada gak nyaman nih. Dengan cepat, Langit mendapat jawaban. Bintangku: Boleh. Langit melirik Alena yang masih tersenyum di tempatnya. “Maaf ya, Lena. Saya harus menghubungi kekasih saya. Kalau kamu tidak nyaman dengan obrolan kami, kamu bisa bergabung dengan yang lainnya.” Bukan maksud mengusir, tapi Langit merasa kurang nyaman dengan keberadaan Alena. Meski cantik, namun ia tidak bisa membuat Langit berpaling. Pesona Bintang memang kuat. Sampai Langit pun dibuatnya tidak bisa berpaling. Seolah tertampar mendengar Langit sudah memiliki kekasih, ekspresi Alena berubah sendu. Namun ia tetap ingin berada di dekat Langit. “Nggak papa. Aku di sini saja.” Langit menggidikkan bahunya. “Terserah kamu.” Langit membiarkan Alena tetap berada di sana. Toh, itu juga pilihannya. Setelahnya, Langit pun mendial kontak Bintang. “Hallo,” sapa Bintang di seberang sana. “Hai, Sayang,” Langit pun membalas sapaan Bintang dengan mesra. Alena melihat Langit yang begitu hangat dengan kekasihnya, membuat ia merasa iri. Andai dirinya yang berada di posisi perempuan itu, pasti ia akan sangat bahagia. Jarang sekali Alena menjumpai sosok pria seperti Langit. Dingin dengan wanita lain, namun begitu hangat dengan wanitanya. Alena hanya bisa mendengar percakapan mesra keduanya. “Sudah makan?” tanya Langit pada Bintang. “Belum, ini masih nunggu Rensia bobo,” jawab Bintang. “Buruan sarapan. Nggak usah diet. Aku cinta kamu apa adanya. Lagian, kalau mukamu bulat kan lucu. Jadi tambah cinta aku,” goda Langit. “Apa sih, lagian, siapa juga yang mau diet. Aku nunggu Rensia bobo, biar bisa makan dengan tenang. Entar, aku tinggal malah rewel dia. Tadi juga udah makan pisang goreng. Jadi lumayan lah, buat ganjal perut.” Langit terkekeh. “Bintang, Bintang. Pisang goreng doang mana bikin kenyang? Aku habis 10 juga nggak bakal kenyang.” “Ya ‘kan perutmu perut gentong. Makan seloyang juga nggak bakal kenyang,” sewot Bintang. “Leh, ngawur.” Alena yang melihat kehangatan mereka, sedikit merasa muak. Wajahnya sedari tadi ia tekuk masam. Langit pun melihatnya dengan tatapan tidak perduli. Salah sendiri masih ngotot buat di sini. “Sayang, kamu mau dibawain oleh-oleh apa dari Singapura? Mumpung aku masih di sini. Kalau aku udah balik, terus nagih oleh-oleh, tak tutok kamu! Kalau enggak ya enggak, paling tak sun peng dua.” Terdengar suara decakan Bintang di ujung telepon. “Ckck ... apa ya? Patung Merlion boleh, Sayang. Sama coklat ya?” ujar Bintang. “Leh, ngawur kamu. Kamu nyuruh aku nyolong patung Merlion? Ya digebukin aku!” sewot Langit. Bintang terkekeh di tempatnya “Ya ampun, Om. Pinter banget sih kamu? Maksud aku tuh, gantungannya, Sayang. Ya kali kamu ambil itu patung.” “Kalau kamu yang minta ya aku lakuin. Apa sih yang enggak buat kamu?” goda Langit. “Prettt ....” “Dah, buruan makan sana,” perintah Langit. “Iya, aku makan. Ini Rensia juga udah tidur. Aku matiin ya? jangan macam-macam kamu di sana. Nggak usah ikutan minum-minum, jangan genit!” “Iya ...,” jawab Langit. “Assalamualaik—eh, maaf, maaf.” Bintang kelepasan. Bintang lupa jika Langit dan dirinya tak seiman. Langit hanya bisa bergumam. “Hemmm ....” “Bye, bye, muahhh.” Bintang pun mematikan sambungan teleponnya. Setelah sambungan mati, Langit pun menaruh ponselnya di atas meja. “Emmm ... udah lama?” tanya Alena tiba-tiba. Langit mengernyit Bingung. “Apanya yang lama?” “Hubungan kamu dengan kekasihmu,” terang Alena. “Oh, ya lumayan lah. Kenapa memangnya?” tanya Langit penuh selidik. Alena menggeleng. Ia hanya bisa tersenyum kecut. “Nggak papa.” “Emmm ....” gumam Langit mengakhiri pembicaraan. Alena mulai canggung. Entah mau membahas soal apa lagi. Langit terlalu dingin untuk dirinya. Tapi tidak untuk Bintang kekasihnya. “Langit?” panggil Alena. Yang dipanggil pun menyahut. “Ya?” Alena terdiam sejenak. “Boleh aku meminta nomor ponselmu?” “untuk?” Langit menyipitkan matanya. “Untuk urusan bisnis,” sergah Alena cepat. “Baiklah, mana ponsel kamu?” Langit meminta ponsel Alena dari tangan gadis itu. “Ini.” Dengan senang hati, Alena memberikan ponselnya. Alena terlihat bahagia. Meski tidak direspon Langit, tapi dirinya akan mencoba. Toh jalur kuning belum melengkung. Duh, duh, duh, apa ini maksud si Alena? Mau jadi pelakor apa bagaimana? Percuma, Lena. Nggak akan bisa. Hati Langit sudah bertaut untuk Bintang seorang. Kalau masih nekad, coba saja. Kalau kamu berhasil, berarti kamu beruntung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD