Langit berkendara di dalam mobil. Seusai menemui Bintang di rumahnya, Langit melajukan mobil harga selangit itu menuju kediaman orang tuanya, guna membicarakan perihal hubungan dirinya bersama Bintang.
Masih dalam perjalanan, tiba-tiba dering telepon dari ponsel mahalnya berbunyi, membuat fokusnya pecah. Buru-buru ia memasang earphone di kedua telinganya.
“Hallo, ada apa?”
“ ...... “
“Oke, siapkan semuanya. Saya meluncur ke bandara.”
‘ ....... “
Tut ... tut ... tut ...
Suara sambungan yang diputus sepihak oleh Langit.
“Arghhh!” geram Langit marah. Belum selesai masalah dirinya dan Bintang, kini ia harus menghadiri pertemuan dengan kolega-kolega besar di Singapura. Mau tidak mau, ia membatalkan rencananya untuk menemui sang mama. Ia kemudian berbalik arah menuju Bandara Internasional Juanda, Surabaya.
***
Di sisi lain, Bintang terus kepikiran soal hubungannya dan Langit. Dalam hati kecilnya, ia masih belum rela jika harus mengakhiri hubungannya bersama sang kekasih. Namun, logikanya harus memaksanya untuk menjauh. Ia tidak boleh terus-terusan terjebak pada cinta yang salah. Cinta yang ditentang oleh semesta.
Di dalam kamarnya, Bintang mencoba untuk menghibur diri. Ia harus yakin dengan keputusan berat ini. Mulai detik ini, Bintang akan berusaha untuk menjauh dari Langit, meski itu tidaklah mudah.
Bintang menatap layar ponselnya. Dimainkannya ponsel itu dengan mengutak-atik sosial medianya untuk mencari sebuah hiburan. Dengan tiba-tiba, notifikasi w******p masuk di layar ponselnya.
Langitku: Sayang, aku hari ini terbang ke Singapura ya? Ada pertemuan kolega-kolega besar di sana. Nanti, kalau aku udah sampai sana, aku kabarin lagi. Love you, Sayang. Muahhhh.
Bintang tersenyum simpul membaca pesan dari kekasih pujaannya. Namun, sedetik kemudian, wajahnya berubah menjadi sendu. Dimatikan data internet yang tersambung di akun WhatsAppnya, dan ia biarkan pesan dari Langit tanpa berniat membalasnya.
Bintang sengaja tidak membalas pesan Langit, karena ia berencana untuk menjauh dari Langit. Bintang pun terpaksa untuk tidak menyalakan data internetnya sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.
Bintang membiarkan ponselnya tergeletak di samping tempatnya merebahkan diri. Bintang menatap langit-langit kamarnya, dan berharap agar perasaannya untuk Langit, sedikit demi sedikit bisa memudar.
***
Di sisi lain, Langit yang tak kunjung mendapat balasan pesan dari Bintang, ia masih terus menatap layar ponselnya, berharap tulisan terakhir dilihat yang terpampang di bagian atas kolom chatnya bersama Bintang, berubah menjadi tulisan mengetik.
1 menit ...
2 memit ...
Hingga 10 menit terlewat, tetap tidak ada balasan dari Bintang. Langit pun menghembuskan napasnya kasar.
'Sudah dibaca, tapi nggak bales.' Begitulah kiranya suara batin Langit.
Langit akhirnya pasrah. Ia harus berpikir positif. Mungkin Bintang sibuk.
Dimasukkannya ponsel mahal itu ke dalam saku jasnya. Langit juga harus bersiap karena pesawat akan segera take off .
Langit menikmati perjalannya dengan mata terpejam. Ia memilih untuk tidur agar bisa melupakan sejenak masalahnya.
Setelah 2 jam berlalu, pesawat pun akhirnya landing di Bandara Internasional Changi, Singapura. Langit membuka matanya setelah dibangunkan oleh sang sekretaris.
***
Di dalam kamarnya, Bintang lagi-lagi hanya bisa menatap layar ponselnya. Dibacanya berulang kali chat yang dikirim Langit beberapa jam yang lalu. Tangannya sudah sangat gatal untuk mengetikkan sesuatu di sana. Namun, Bintang harus menahan mati-matian keinginannya untuk membalas pesan Langit agar rencananya bisa berhasil.
***
Langit merebahkan dirinya di kamar hotel berbintang lima. Ia langsung mengistirahatkan tubuhnya setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan.
Berkali-kali Langit mengecek ponselnya, berharap balasan pesan dari Bintang segera masuk di notifikasi. Namun, sama sekali tidak ada hasil. Langit berpikir, apa mungkin jaringan ponselnya tidak bisa digunakan di luar negeri? Tapi itu tidak mungkin, karena jaringan yang Langit pakai, bisa digunakan di mana pun, bahkan luar negeri sekalipun.
Langit mencoba berpikir positif. Mungkin Bintang sedang sibuk atau sudah tidur, jadi tidak sempat membalas pesan dari Langit.
Langit pun tak ingin ambil pusing. Ia akan menunggu sampai esok hari. Kalau sampai besok Bintang tak kunjung membalas pesan Langit, Langit akan meneleponnya sampai Bintang mengangkatnya.
Langit memilih untuk bersiap membawa dirinya ke alam mimpi. Mengingat, besok pagi ada pertemuan besar, ia tidak ingin terlihat kelelahan. Langit ingin tampil fresh tanpa beban.
Beberapa menit setelahnya, terdengar suara dengkuran halus yang berbunyi dari tarikan napas Langit. Langit sudah terlelap jauh di alam bawah sadarnya.
***
Langit terbangun saat mendengar bunyi alarm dari ponsel berlogo apel gigitan itu. Ia pun mengerjapkan mata sambil meraba-raba letak ponselnya.
Saat ponsel sudah berhasil ia temukan, Langit langsung mematikan alarm yang sengaja ia pasang. Di ponselnya, tertera angka 06.30. Berarti, di Indonesia masih pukul 05.30 waktu Indonesia bagian barat. Biasanya, jam segini orang muslim sudah melaksanakan sembahyang subuh.
Dilihatnya room chatnya bersama Bintang. Namun, tetap tidak ada balasan. Keterangan terakhir dilihat pun masih menunjukkan pukul yang sama dengan waktu terakhir Bintang membaca pesannya.
Langit mencoba mengirim pesan lagi untuk Bintang.
Langit: Sayang, sudah bangun? Sembahyangnya sudah selesai belum? Kok pesan aku cuman di baca aja sih? Lagi sibuk ya?
Langit menekan tanda kirim. Pesan pun otomatis terkirim ke w******p Bintang.
Terlihat centang satu yang tertera di pojok kanan di bawah pesan Langit.
Langit mengernyitkan dahinya. Tidak biasanya Bintang mematikan data internetnya.
Langit masih mencoba untuk berpikir positif. Mungkin ponsel Bintang mati dan ia lupa untuk mencharger ponselnya.
Langit pun beranjak dari tidurnya, dan ia bersiap untuk membersihkan diri.
Dua puluh menit berlalu, Langit keluar dari kamar mandi dengan handuk putih yang melilit di pinggangnya. Kulit eksotis yang tidak terlalu putih, membuatnya semakin perkasa. Apalagi dengan enam kotak roti sobek di dadanya, bisa membuat wanita manapun pasti akan tergila-gila.
Tanpa berlama-lama, Langit pun memakai pakaian formal yang sudah disiapkan oleh sekretaris pribadinya.
Setelah penampilannya dirasa sudah cukup memuaskan, Langit pun menelepon sekretaris pribadinya untuk datang menemuinya.
Tak lama, terdengar suara pintu diketuk.
“Masuk,” ujar Langit sambil membetulkan dasinya yang belum rapi.
Sekretaris itu masuk dan berjalan dengan meliuk-liukkan pinggulnya seakan ingin menggoda sang CEO.
“Jalannya biasa saja, saya tidak akan tertarik dengan kamu!” hardik Langit tegas. Meski perempuan ini adalah sekretaris pribadi Langit, tapi Langit merasa sangat risih melihat perempuan kemayu seperti itu. Beda cerita jika perempuan itu adalah Bintang, mungkin Langit akan menerkamnya detik itu juga.
Perempuan itu terlihat merona karena rasa malu. “Ma -- maaf, Pak,” ujarnya terbata.
“Lain kali, tolong kamu jaga sikap kamu. Saya ini bos kamu, bukan ATM berjalan yang mudah tergiur dengan iming-iming tubuh kamu itu. Kamu juga perempuan dengan pendidikan tinggi. Jangan jual murah hanya untuk gaya hidup foya-foya.” Teguran keras Langit berikan. Jika saja Langit belum mengenal dan mencintai Bintang sepenuhnya, mungkin tidak menutup kemungkinan, ia akan tergoda dengan sekretaris jablaynya ini. Namun sekarang, Langit sudah tidak membutuhkan itu lagi. Karena yang ada di dalam hati dan pikirannya saat ini, hanya ada satu nama, yaitu Bintang Raina Putri.
“I-iya, Pak. Sekali lagi saya minta maaf,” ujarnya ketakutan. Jangan sampai ia kehilangan pekerjaan ini hanya karena sikapnya yang tidak pantas.
“Ya sudah, saya tidak mau bahas ini lagi. Kasih tahu saya, jadwal saya hari ini.” Langit tidak ingin berbasa-basi. Perempuan seperti ini tidak boleh diberi kesempatan karena bisa ngelunjak dan semakin berani.
“Baik, Pak. Jadwal Pak Langit hari ini adalah bertemu dengan kolega-kolega besar untuk menjalin kerekatan bisnis saja, Pak. Tidak untuk membahas kontrak atau kerja sama apa pun,” jelas perempuan yang menjabat sebagai sekretaris pribadi Langit.
“Oke, jam berapa pertemuannya dimulai?” tanya Langit begitu datar.
“Jam 9 pagi, Pak.”
“Setelah itu saya sudah bisa terbang ke Indonesia?”
“Belum, Pak. Acaranya berlangsung selama 3 hari. Lusa baru bisa kembali ke Indonesia.”
Langit menampakkan ekspresi kecewanya.
“Ya sudah, kamu bisa keluar,” perintah Langit halus.
“Baik, Pak. Saya permisi.”
Wanita kurang kasih sayang yang diketahui bernama Siska pun berlalu dari hadapan Langit.
Langit mendudukkan tubuhnya di atas sofa mewah yang tersedia tidak jauh dari ranjang hotelnya. Masih ada waktu 2 jam untuk ia bisa menghubungi Bintang dan mengobrol dengannya.
Kali ini, Langit menelepon Bintang tidak melalui panggilan w******p, melainkan langsung terhubung ke panggilan seluler.
Jaringan menyambung, Namun Bintang tak kunjung mengangkatnya membuat Langit menjadi Risau. Langit tak menyerah, ia terus menelepon Bintang hingga 15 kali.
***
Di sisi lain, Bintang merasa gelisah karena teleponnya sedari tadi terus berbunyi.
Ia merutuki kesalahannya yang tidak mematikan ponselnya tadi malam. Ia sudah berniat untuk menjauh dari Langit, harusnya, ponselnya juga harus ia matikan, bukan hanya sambungan internetnya saja, karena Langit masih bisa meneleponnya dengan sambungan seluler. Kalau seperti ini, Bintang beralasan apa untuk tidak mengangkat telepon Langit?
Panggilan ke enam belas, Bintang menolak telepon Langit. Buru-buru ia menyalakan sambungan internetnya dan membuka aplikasi w******p yang sengaja ia non aktifkan. Seketika, pesan yang Langit kirim, satu per satu mulai masuk di notifikasi WhatsAppnya. Bintang pun langsung membuka pesan itu lalu mengetik sesuatu di sana, dan mengirimnya ke Langit sebelum Langit meneleponnya untuk ke sekian kali.
***
Di tempatnya, Langit tersenyum puas setelah mendapat notifikasi dari perempuan terkasihnya. Namun, senyumnya luntur saat ia membaca isi pesan itu.
Bintangku: Jangan spam telepon.
Tiga kata yang mampu membuat hati Langit merasa tertusuk.
Dengan cepat, langit pun membalasnya.
Langit: Kenapa, Bintang?
Chat dari Bintang kembali masuk.
Bintangku: Nggak papa.
Merasa ada yang tidak beres, Langit pun mencecarnya dengan berbagai macam pertanyaan
Langit: Nggak, aku nggak percaya! Jangan bilang, kamu mau menjauh dari aku, Bintang? Kenapa pesanku cuman dibaca aja? Kenapa chatku nggak dibales dari semalam? Kamu tahu nggak, aku khawatir banget saat kamu nggak ada kabar. Aku takut kamu kenapa-kenapa, Bintang. Aku nggak bisa kamu diemin gini. Aku nggak mau kamu menjauh. Tunggu aku pulang, aku sekarang masih di Singapura. Aku janji, kalau aku udah pulang, aku akan bicarain soal hubungan kita sama Mama. Tapi aku mohon sama kamu, Bintang, jangan menjauh. Besok lusa aku pulang. Kamu tunggu kabar dari aku, tapi kamu jangan menjauh ya?
Pesan terkirim.
Centang dua berwarna biru, menjadi tanda kalau pesan sudah terbaca. Namun Bintang tak kunjung mengetik.
1 menit.
2 menit.
Hingga 5 menit sudah berlalu.
Langit masih setia menunggu balasan Bintang.
Langit mencoba mengirim pesan lagi untuk Bintang. Kali ini, spam chat.
Langit: Bintang.
Langit: Bintang.
Langit: Sayang.
Langit: Yang.
Langit: Bin.
Langit: Tang.
Langit: B.
Langit: I.
Langit: N.
Langit: T.
Langit: A.
Langit: N.
Langit: G.
Tidak ada balasan apapun dari Bintang. Jangankan balasan, Bintang bahkan tidak membaca pesan Langit membuat Langit risau sekaligus geram.
Langit: Emboh, Bintang.
Langit: Kamu itu suka banget bikin aku emosi!
Langit: Hobimu cuman bikin aku marah tiap hari.
Langit: Terserah kamu!
Setelah beberapa menit mengirim pesan terakhir, ponsel Langit berbunyi. Langit buru-buru mengecek ponselnya, karena ia sangat yakin sekali jika notifikasi itu berasal dari Bintang.
Langit sengaja memasang notifikasi yang berbeda saat mendapat pesan dari Bintang.
Bintangku: Hemmm ...
Bintangku: Aku masih diemin Rensia ini. Dia nangis, bangun tidur nggak ada orang di kamarnya.
Bintangku: Apa sih, apa? Masih pagi loh ini. udah tua, jangan marah-marah terus. Entar cepet darah tinggi, habis itu stroke.
Langit mengirim emoticon memutar bola mata ke atas.
Langit: Nggak usah alasan kamu! Kan ada orang tuanya.
Bintangku: Nggak ada. Papanya udah berangkat kerja. Mamanya keluar belanja.
Langit: O,
Bintangku: Pel.
Langit: I
Bintangku: Hei, aku lempar golok kamu, Om!
Bintangku: Jangan mulai! Dasar otak m***m!
Langit: Leh, pikiranmu itu loh.
Langit: Katanya polos, tapi m***m!
Bintangku: Eh, kamu ya yang mulai. Awas aja. Ketemu, aku potong anumu!
Langit tertawa sampai terbahak. Membayangkan ekspresi Bintang yang marah, pasti sangat lucu. Menggoda Bintang ternyata sangat seru.
Setelahnya, ia membalas pesan Bintang dengan lebih jahil lagi.
Langit: Emang kamu tega?
Bintangku: Kenapa enggak?
Langit: Entar kalau punyaku dipotong, habis dong? Kalau habis, gak bisa bikin kamu merem melek.
Bintangku: Leh, kok jadi bahas ke situ sih?
Langit: ya iya, lah. Itu kan aset aku yang paling berharga. Kalau nggak ada itu, terus gimana caranya bikin Bintang kecil yang imut dan menggemaskan kayak kamu?
Bintangku: Bikinnya pakai kanji sama terigu, dikasih masako terus tuang air panas, habis itu diuleni sampai kalis, bentuk, terus goreng.
Di tempatnya, Langit sudah tertawa terbahak-bahak. Bersama Bintang, hal sederhana seperti ini sudah bisa membuatnya bahagia.
Dengan sisa gelak tawanya, ia pun membalas pesan Bintang.
Langit: pakai kanji sama terigu mau ngapain? Bikin cimol? (Dengan emotikon tertawa sampai terbahak)
Notifikasi dari Bintang kembali meramaikan ponselnya.
Ting.
Bintangku: Mau bikin terong balado. Sekalian aku bikin punyamu jadi balado. Balado super pedas
.
Lagi-lagi tawa Langit menggema di penjuru ruangan. Ia sudah tak tahan dengan kelakuan gadisnya. Ia pun mengubah percakapan via chat menjadi panggilan w******p.
.
“Haloo?” sapa Bintang di seberang telepon.
“Haloo juga. Lagi apa kamu?”
“Gak ngapa-ngapain, cuman rebahan aja.”
“Rebahan mulu, gak capek apa?” tukas Langit gemas.
Terdengar suara helaan napas di sana. “Heh, kapan aku rebahan. Baru juga rebahan, udah di sewotin.”
“Hemmm ... nggak ngampus?” tanya Langit.
“Libur. Jadi santai.”
“Ya sudah, buruan mandi.”
“Ngapain? Orang nggak ke mana-mana.”
“Leh, jorok banget jadi cewek.”
“Ya biar. Gak mandi tetep wangi. Lagian ya, mandi itu bikin dosa tau.”
“Leh, ngawur. Aneh kamu, Bintang.”
“Beneran. Gini ya, kalau aku mandi, entar aku cantik. Kalau aku cantik, aku jadi sombong. Kalau aku sombong, entar jadi temannya syaiton. Kalau aku jadi temannya syaiton, entar Tuhan nggak suka. Kalau aku bikin Tuhan marah, entar aku dosa. Jadi ya udah, nggak usah mandi kalau gak ada kepentingan. Karena mandi sama dengan dosa.”
‘Deket, aku ikat kamu, Bintang.”
“Hehehe ... ‘kan aku bener.”
“Bener apaan!”
Bintang terdiam.
“Oh, iya, Bintang. Bentar lagi aku ada pertemuan sama kolega-kolega bisnis, buat jalin kerekatan bisnis aja sih. Paling menghadiri jamuan-jamuan sama kumpul-kumpul gitu sih,”
‘Banyak ceweknya?!” tandas Bintang cepat.
“Ya, mana aku tahu,” jawab Langit.
“Awas kalau berani macem-macem! Gak usah mabok kamu!”
‘Hemmm ... iya. Tapi, entar temenin aku chat ya? Biar aku nggak tergoda”
“Iya.”
“Okey, aku siap-siap dulu. love you , Cantik. Muahhh.
“Love you too. Jangan macam-macam pokonya!" pesan Bintang.
"Iya ... nggak macam-macam. Tapi nggak tahu kalau khilaf!"
"Mas Langit!!!" teriak Bintang memekik di gendang telinga, membuat Langit refleks memutuskan sambungan teleponnya sepihak.
"Awas aja sampai macam-macam. Aku balado anumu!" ujar Bintang bermonolog.