Bab 3

1019 Words
"Bi, jadi kondisi ibu yang sebenarnya sekarang gimana?" tanya Pras tanpa basa-basi. "Begitulah, Den, seperti yang Aden lihat. Terakhir kita ke rumah sakit tiga hari yang lalu, tapi ibu tetep gak mau dirawat dan memaksa pulang." "Ah, baiklah. Terima kasih, Bi. Saya ke kamar dulu." "Iya, mangga, Den." Pras pun segera kembali masuk ke dalam rumah. Sebetulnya ia baru mengetahui akhir-akhir ini mengenai kondisi ibunya itu. Berawal dari bi Ani yang sering menghubunginya dan mengadu tentang majikannya. Bukan apa, bi Ani begitu karena peduli sedang ia tak punya keberanian untuk bertindak tegas pada tuannya. Pras sendiri memang sedang sibuk akhir-akhir ini. Ia sulit mengambil cuti di hari kerjanya, bahkan di hari libur pun ia harus selalu siap siaga karena akan ada saja rapat dadakan yang dilakukan demi kemajuan perusahaannya. Jadi, menyempatkan libur seperti ini cukup sulit untuknya saat ini. Pria kelahiran tanah sunda itu merebahkan tubuhnya begitu masuk ke dalam kamar. Matanya menatap lurus ke arah langit-langit yang tak begitu jelas karena memang sejak kecil Pras memiliki gangguan penglihatan. Tiba-tiba ia teringat perkataan Dion tempo hari mengenai penampilannya yang harus diganti. Gegas Pras beringsut bangun kemudian menghadap cermin yang berada di pintu lemari pakaian. Ia menyisir pantulan dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Berulang kali Pras melakukan hal yang sama mencari kesalahan pada dirinya. Kepalanya refleks menggeleng, berapa kali pun ia lihat tak ada yang salah dari penampilannya. Pras berpakaian rapi, rambutnya pun disisir rapi, benar-benar tak ada yang salah. Benar, memang benar. Cara berpakaiannya sangat rapi, bahkan celana dan baju yang Pras gunakan disetrika dengan sangat baik dengan lipatan yang tepat di garis yang seharusnya. Ini karena Pras cukup bawel mengenai kerapian pada asisten rumah tangganya. Akan tetapi, pakaian yang dikenakan serta cara ia mengenakannya yang membuat pria berparas tampan itu justru terlihat cupu dan kampungan. Ah, sudahlah. Pras takan paham. Ia sendiri yang merasa penampilannya terbaik maka akan sulit untuk dibenarkan. Berapa kali pun Dion mengomentari, Pras akan tetap cuek dan tak peduli. Pria itu kembali menggeleng, menyangkal pernyataan Dion mengenai penampilannya. Ia sudah sangat rapi sebagaimana standar orang berpakaian. Bahkan rambutnya ia beri gel rambut sehingga tak berubah dari setelah ia sisir setiap paginya. Pras kembali membaringkan tubuhnya, memejamkan mata untuk kemudian mengistirahatkan diri dari bisingnya kota Jakarta. Ya, setiap ia datang ke kota kelahiran, ia akan menjadikan setiap waktunya untuk beristirahat, menenangkan pikiran. Ini karena memang ibunya tinggal di pedesaan bukan di bagian kotanya. Maka suasana tenang dan sejuknya halaman rumah sangat ia rindukan. Tanpa sadar Pras terlelap, memasuki alam bawah sadar ditandai dengan dengkuran halus yang mulai terdengar. *** Sore menjelang, sesuai dengan rencana sebelumnya bahwa Pras akan mengajak ibunya jalan-jalan. Kini keduanya telah menaiki mobil, dan Pras segera melajukan mobilnya. Dengan jalan memutar, Pras membawa Desi menuju rumah sakit tempatnya kontrol. Sebelumnya, Pras menanyakan semua ini pada bi Ani dan ia juga melakukan janji temu dengan dokter spesialis saluran pencernaan. Desi yang mengira akan dibawa jalan-jalan ke suatu tempat yang bukan rumah sakit terkejut. Ia mencoba menolak untuk turun saat Pras menghentikan mobilnya. "Ini hari Sabtu, mana ada dokter yang tugas," ucap wanita yang melahirkan Pras itu. "Ada. Aku sudah menghubunginya sebelum datang ke sini. Jadi, ibu tidak bisa menolak." "Tapi, Pras … ibu ada janji temu dengan teman ibu. Ah, ya, ibu baru ingat." "Tidak, Ibu. Ibu harus ikut aku dan batalkan semua janji apa pun itu. Ayo, kita sudah di depan tinggal turun dan temui dokter tersebut." Desi pasrah, dia tak lagi menjawab dan hanya mengikuti Pras menuju ruangan dokter spesialis gastroenterologi. Pria paruh baya dengan kepala yang sudah dipenuhi uban duduk di mejanya melempar senyum begitu Pras dan ibunya masuk ke dalam. "Selamat sore, Dok, maaf jika saya mengganggu waktunya," ucap Pras seraya menjabat tangan dokter tersebut. "Ah, tidak. Saya memang kebagian tugas mengontrol pasien hari ini," jawab dokter tersebut dengan senyuman mengembang terlukis di wajahnya. "Perkenalkan, Dok. Ini ibu saya. Ah, tapi kalian pasti sering bertemu," ucap Pras kemudian. "Benar. Bu Desi, apa kabar hari ini?" tanya dokter kemudian pada Desi. "Alhamdulillah, saya baik, Dok. Sangat baik." "Syukurlah. Gak ada keluhan seminggu terakhir ini?" "Gak ada, Dok," jawab Desi. "Emmm, maaf, Dok. Tapi saya ingin ibu saya diperiksa," ujar Pras menyela. "Baik, Pak Pras. Yuk, Bu, ikut saya." Beberapa rangkaian pemeriksaan dilakukan, sebetulnya ini juga sering dilakukan saat Desi memeriksakan diri dan hasilnya tetap sama, penyakit asam lambung yang diderita ibunya Pras itu mengharuskannya untuk dirawat. "Dok, saya mohon. Jangan ceritakan penyakit saya sama anak saya. Saya janji kalau dokter merahasiakan ini, nanti Senin saya bersedia dirawat di sini," ujar Desi pada dokter yang menangani penyakitnya. "Bu, penyakit ibu ini sudah di tahap kritis. Anak ibu harus tahu." "Dok, saya mohon …." "Baiklah, saya akan rahasiakan dan Bu Desi harus memenuhi janjinya." "Baik, Dok." Keduanya keluar, seperti yang diminta Desi, Dokter menjelaskan pada Pras jika penyakit yang diidap ibunya masih tahap wajar dan dapat ditangani dengan terus melakukan rawat jalan. Walau ragu, jika dokter yang mengatakannya Pras percaya. Setelah itu mereka menebus obat dan barulah Pras mengajak ibunya ke suatu tempat. Tempat yang dikunjungi Pras kali ini restoran mewah yang ada di kota Bandung. Ia ingin mencicipi makanan lezat di sana bersama ibunya. Selagi menunggu pesanan, tiba-tiba seseorang menghampiri mereka. "Eh, ternyata benar jeng Desi!" ujar seorang wanita seusia Desi. "Eh, jeng Ratna? Apa kabar?" sahut Desi. "Alhamdulillah, baik. Emmmm ini putramu?" tanya wanita yang dipanggil Ratna itu, ia menunjuk pada Pras. "Iya, ini yang bontot." "Eh, kok, beda ya sama kakaknya!" ucap Ratna dengan mata menyisir sekujur tubuh Pras. Pras hanya tersenyum. "Jeng Ratna datang sama siapa ke sini?" tanya Desi, ia mencoba mengalihkan pembicaraan. "Oh, itu sama anak bontot saya juga," tunjuknya pada seorang gadis yang tengah duduk di meja lain, ia sibuk dengan ponselnya. "Ah, itu. Kenapa tidak diajak ke sini? Ah, ya, gimana kalau kita makan satu meja aja?" tanya Desi kemudian, ia tiba-tiba mendapatkan ide. "Oh, boleh boleh. Biar saya panggilkan anak saya," jawab Ratna antusias. Ia pun segera memanggil putrinya untuk kemudian bergabung dengan Desi dan Pras dalam satu meja. Tentu saja, Pras merasa tak nyaman dibuatnya. Namun, apa boleh buat, sebagai rasa hormatnya pada sang ibu, ia tak dapat menolak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD