Bab 4

1019 Words
Seperti halnya Pras, gadis yang merupakan anak teman ibunya itu, sangatlah tak menikmati momen pertemuan dua teman yang lama tak jumpa. Namun bedanya, ia kentara sekali menunjukkan pada raut wajahnya sehingga hal itu membuat Desi yang memberikan ide merasa bersalah. "Mama tadi kan bilangnya mau makan aja, tapi ini kenapa jadi reuni dadakan gini? Tau gini aku di rumah aja!" ujarnya membuat Pras merasa jengkel dengan sikapnya. "Hei, gak apa-apa dong! Sekali-kali. Mama udah lama banget tau gak ketemu tante Desi ini," jawab Ratna. "Maaf ya, Sayang, kalau Tante malah ganggu. Kalian kalau mau pisah lagi juga gak apa-apa, kok!" ujar Desi dengan sopan. "Eh, gak apa-apa, Jeng Desi. Dia ini emang gini orangnya, maklumi aja lah ya, anak muda jaman sekarang!" bisik Ratna. Desi hanya tersenyum. Di sisi lain Pras terus memperhatikan gadis yang tak punya sopan santun itu. Ia benar-benar ingin menegurnya, tapi jika itu dilakukan tentu saja bukan pilihan yang benar. "Eh, aku belum kenalin anakku," ucap Desi kemudian. "Kenalin, Jeng, ini Pras anak bontot yang sekarang udah besar. Dia kerja di perusahaan manufaktur sebagai CEO-nya." Dengan bangga ibu Pras itu memperkenalkan putranya. "Wah, hebat! Bos besar dong!" tanggap Ratna terkagum-kagum. Namun, putrinya hanya menyisir Pras dengan tatapan tak percaya. Yang benar aja?! batinnya. "Yah, begitulah. Makanya sibuk! Susah banget buat pulang ke sini." "Ah, benar sih kalau bos kan yang pegang kendali istilahnya!" Pras hanya tersenyum menanggapi. "Oh ya, ini putriku. Bontot juga. Dia sekarang masih kuliah semester enam. Namanya Dila." Obrolan terus berlanjut, hingga pesanan yang sebelumnya dipesan datang. Karena mereka tidak pesan secara bersamaan, maka pesanan yang datang lebih dulu adalah pesanan Pras dan ibunya. Para pelayan restoran segera menghidangkan makanan pesanan mereka di atas meja. Melihat makanan yang datang, Pras justru keheranan. Sejujurnya ini kali pertamanya menginjakkan kaki ke restoran mewah, karena sebelumnya ia tak pernah tertarik. Alasan utama saat ini pun karena ia ingin memberikan yang terbaik untuk ibunya. Begitu pula Desi, ini kali pertamanya. Bahkan tadi saat di mobil pun dia bersikeras menolak, karena baginya menghabiskan uang untuk menu restoran yang tak seberapa tapi mahal itu adalah pemborosan. Namun, Pras tetap melakukannya dan mengajak ibunya itu masuk ke dalam. Hingga saat inilah mereka, terutama Pras, yang terheran-heran dengan menu yang sama sekali takan membuat perut kenyang. Seingatnya, menu yang dia pesan tadi adalah menu-menu paling mahal dari daftaran yang dilihatnya. Akan tetapi, yang datang jauh dari ekspektasinya karena bagi Pras menu mahal ini pasti dalam porsi besar. Dan yang di depan matanya saat ini benar-benar jauh dari kata porsi besar. Sekali lahap saja, satu menu habis dalam sekejap. "Maaf, apa ini benar pesanan saya tadi?" tanya Pras pada pelayan restoran. "Betul, Pak," jawab salah satunya dengan senyuman ramah. "Ah, boleh saya tambah?" "Ya, silahkan, Pak." "Saya pesan menu yang ada nasinya dan porsinya banyak," jawab Pras dengan polosnya. "Eh? Boleh, Pak. Ada beberapa menu dari kami, mau pesan yang mana?" tawarnya kemudian. "Ah, yang mana saja yang mengenyangkan!" "Ah, baik, Pak." Perilaku Pras benar-benar membuat dua orang yang baru mereka temui melongo dibuatnya. Lebih-lebih Dila, ia memandang rendah pada Pras. "Pras, ibu kan sudah bilang gak usah di sini," ucap Desi kemudian. "Ya, gak apa-apa, Bu. Pras cuma gak tau aja ternyata yang dipesan segini doang, mana kenyang?" "Are you sure?" tanya Dila tiba-tiba. "Jangan-jangan ini kali pertama kamu masuk restoran?" sambungnya kemudian. "Ya, memang kenapa?" jawab Pras, ia tampak bodo amat dengan pandangan Dila serta ibunya. "Ah." Dila menatap ke atas. "Satu hal yang pasti, persiapkan isi dompetmu. Pesanan kalian bisa-bisa membobol semua isinya, atau mungkin malah kekurangan." Dila terus berujar. "Ah, gimana ini, Ma? Gimana kalau sisanya malah minta kita yang bayar?" Gadis itu masih tak berhenti merendahkan Pras. "Eh, Dila!" tegur Ratna, walau dalam hatinya ia juga berpikiran hal yang sama. "Maaf ya, Jeng Desi, ucapan anak saya memang gini. Aku jadi gak enak kalau semeja gini. Biar aku pindah lagi aja, maaf banget ya!" ucapnya kemudian, padahal hanya beralasan karena ia juga ketakutan jika harus membayar kekurangan mereka. Desi hanya tersenyum dan mengangguk samar. Sedangkan Pras merasa mereka terlalu sombong bersikap. Tak lama kemudian para pelayan datang kembali dengan menu susulan yang Pras pesan. "Ibu makan aja dengan tenang, jangan pikirkan kata mereka tadi," ucap Pras kemudian. "Tapi, Pras, ada benarnya apa kata mereka. Makanan di sini pasti mahal-mahal kan?" "Ini gak seberapa, Bu. Tenang aja! Pras kan udah jadi bos!" seru Pras membanggakan diri. "Ya sudah, kita makan saja!" Desi hanya tersenyum, walau sebetulnya hati ibu mana yang terima anaknya direndahkan. Ia pun segera makan makanan di depannya. Sementara itu, di meja lain Dila dan ibunya pun menerima pesanan mereka. Sambil sesekali melirik ke arah Pras, mereka membicarakan pria itu di belakangnya. Sesekali Dila menertawakan dan Ratna merasa menyesal karena telah menyapa temannya itu. Selesai makan, Pras segera membayar semua menu yang dipesannya bahkan ia juga membayar makanan yang dipesan teman ibunya itu. Tentu saja, tanpa sepengetahuan mereka dan juga tanpa sepengetahuan ibunya. Tanpa menemui rekan ibunya lagi, Pras segera mengajak ibunya pulang. "Maaf ya, sikap temen ibu tadi. Kamu tersinggung?" tanya Desi saat mereka sudah di mobil. "Tidak kok, Bu. Biasa aja. Orang-orang seperti mereka sering Pras jumpai," ucap Pras dengan santai. "Lain kali kita makan di rumah aja. Atau makan di rumah makan padang favorit kamu seperti biasanya. Gak usahlah pake acara restoran mahal, toh tadi pun menunya gak seberapa! Masih enak makanan Padang!" "Siap, Bu. Paling tidak Pras pengen ibu ngerasain makan di restoran mewah." "Ibu memang pernah berangan-angan, tapi udahnya nyesel loh! Mahal!" "Eh, jangan gitu dong, Bu! Toh Pras yang bayar!" "Hehe iya sih. Makasih ya, Pras!" "Sama-sama, Bu." "Oh ya, kapan pulang?" "Besok, Bu. Pras tidur semalam lagi di rumah." "Yah, sebentar banget!" "Maaf ya, Bu. Next Pras usahakan sering pulang." "Kalau benar kamu sibuk gak apa-apa jarang pulang. Asal dengan satu syarat!" "Syarat? Apa?" "Pulang selanjutnya harus sambil bawa gandengan!" "Ah, Bu, sebentar lagi sampai apa mau mampir dulu ke supermarket?" Pras mengalihkan pembicaraan. Ia paling tidak mau jika sudah mengarah ke sana. "Eh eh eh, malah mengalihkan pembicaraan! Ingat ingat syarat ibu, ya! Pulang nanti bawa gandengan!" Pras hanya mendesah pelan, sedangkan Desi tersenyum melihat tingkah putranya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD