Bab 5

1268 Words
"Pras, hari ini akan datang beberapa calon sekretaris yang akan menggantikanku. Mau aku seleksi, atau kamu aja yang seleksi sendiri?" tanya Dion yang baru saja datang dan langsung menemui sahabatnya itu. "Cowok atau cewek?" "Hah?" Dion heran dengan pertanyaan Pras. "Iya, calon sekretarisnya cowok apa cewek?" tanya Pras mengulang. Tak langsung menjawab, Dion malah tersenyum. Ia kira ada kemajuan dari sahabatnya itu, mungkin karena kepulangannya kemarin. "Ekhem, jadi sekarang sudah mulai peka nih. Kalau calonnya cowok gimana?" tanya Dion menggoda. Kini giliran Pras yang terheran-heran. "Peka? Peka dalam urusan apa?" "Ya itu, segala tanya jenis kelaminnya. Biasanya kan gak peduli sama sekali!" "Aku gak mau aja kalau cewek yang datang, terus akhirnya kayak yang udah-udah keluar sebelum masuk! Parah kan?" "Hah, maksudnya?" Dion mendekati sahabat yang juga sekaligus bosnya itu. Sepertinya ada yang salah dengan pembicaraan mereka sehingga tak dapat nyambung sejak tadi. "Aku baru kepikiran kalau bisa carikan sekretaris cowok kayak kamu aja. Cewek ribet!" "Ah, elah! Kirain kamu tanyain jenis kelamin karena udah mulai genit sama cewek! Taunya! Ya elah, Pras … Pras!" "Jadi?" tanya Pras kembali ke awal. "Semua cewek! Ada beberapa orang yang mengirimkan surat lamaran melalui surel. Tiga orang aku minta hari ini datang untuk interview." "Ya udah, aku aja yang interview!" seru Pras kemudian. "Yakin?" tanya Dion tak percaya. "Kenapa nggak? Mereka kan bekerja untukku, wajar dong!" "Ya, bukan gitu sih. Cuma … ah, udah lah. Nanti sekitar jam delapan mungkin mereka sudah datang," ucap Dion kemudian memberikan informasi. "Ah, aku punya ide!" seru Pras kemudian. "Apa?" tanya Dion mendekat. "...." Pras membisikkan sebuah rencana untuk menyambut calon sekretarisnya. Beberapa menit berlalu. Seperti yang sudah Dion katakan sekitar jam delapan mereka akan datang dan kini ketiganya sudah kumpul menunggu di ruang lain yang biasa digunakan untuk interview. Pras segera masuk untuk menemui mereka. Ketiganya tampak menyisir sekujur tubuh Pras dengan kedua mata mereka, memindai setiap jengkal tubuh tinggi yang mengenakan kemeja lusuh serta berkacamata tebal itu. Pras membungkuk memberi hormat dan tersenyum. Dengan terpaksa ketiganya membalas senyuman tersebut dengan kaku. Entah apa yang membuat mereka tampak tak nyaman dengan keberadaan Pras saat ini. "Apa kalian calon sekretaris yang kemarin mendapatkan panggilan?" tanya Pras memulai pembicaraan. "I-iya," jawab salah satu dari mereka. "K-kamu siapa?" tanya yang lainnya. "Mari saya antar ke ruangan pak Pras. Beliau ingin menginterview secara langsung," ucap Pras seraya mempersilahkan ketiganya keluar. Ya, ini lah rencana Pras yang sempat dibisikkan pada Dion. Ia meminta sahabatnya itu mengganti posisi dan berperan sebagai dirinya, sedangkan dia sendiri memerankan sebagai sekretaris yang akan diganti. Begitulah kira-kira. Pras berjalan di belakang ketiganya. Dua di antara mereka tampak akrab, sejak keluar ruangan terus mengobrol berdua. Ah, lebih tepatnya menggunjing pria yang kini berjalan di depannya. Sedangkan yang satunya lagi tampak tak peduli dengan semua ini. "Apa dia sekretaris yang mau diganti, ya?" tanya salah seorang di antara mereka. Berbisik tapi berisik. "Iya deh, kayaknya!" jawab yang lainnya. "Ih, pantes aja ya, mau diganti. Habis penampilannya gak banget!" "Hihihi, mana ada kaitannya? Tapi emang iya sih, tampangnya gak ada pantes-pantesnya kerja di kantor!" Mereka asyik saling berbincang dengan sesekali terkekeh menertawakan. Pras hanya diam dan terus memasang pendengaran dengan tajam untuk mendengar apa yang mereka bicarakan. Memasuki lift, kedua gadis itu tampak menghindar hingga menempelkan tubuhnya pada dinding menghindari sentuhan dengan Pras. Keduanya benar-benar merendahkan Pras, menganggap pria itu seperti seonggok daging busuk yang perlu dihindari. Namun, lagi-lagi gadis satunya tak bereaksi. Ia tampak santai dan terus mengikuti Pras hingga akhirnya mereka semua sampai di depan pintu ruang kerja Pras. "Mari masuk!" ucap Pras kemudian setelah membukakan pintu untuk ketiganya. Mereka pun masuk lalu pandangannya tertuju pada Dion yang tengah duduk di kursi Pras menghadap ke arah jendela. Tiba-tiba mereka bersikap anggun, lebih tepatnya dua orang yang sempat menggunjing Pras, menyapa Dion dengan ramahnya. "Pagi, Pak!" ucap keduanya seraya tersenyum. Dion membalikkan tubuhnya, menyapa calon sekretaris itu dengan senyuman juga. "Silahkan duduk!" ucapnya kemudian mempersilahkan ketiganya duduk di sofa. Dion pun beranjak dari tempatnya menuju sofa juga. Kemudian ia duduk siap meng-interview mereka. "Silahkan perkenalan dulu," ucap Dion kemudian. "Perkenalkan, Pak, saya Lulu. Sebetulnya saya belum ada pengalaman kerja, tapi bisa saya pastikan untuk bekerja dengan baik sama bapak. Apalagi setiap hari melihat ketampanan bapak ini!" ucapnya sangat centil, hingga Dion sendiri merasa geli mendengarnya. "Kalau saya Nita, Pak. Seperti di surat lamaran yang saya kirim barangkali bapak sudah membacanya. Saya punya pengalaman cukup lama menjadi sekretaris." "Ah, benar," tanggap Dion. "Tapi, kalau boleh tahu apa yang membuat Anda sekarang berada di sini?" tanyanya kemudian. "I-itu, karena saya dipecat, hehe." "Hah? Dipecat? Kenapa?" "Ya, katanya sih karena saya gak profesional. Padahal kurang profesional apa ya saya waktu itu. Tapi bapak tenang aja, saya akan lebih baik jika bekerja di sini sama bapak," ucap satunya tak kalah genit. Dion hanya menggelengkan kepala. Tak ada yang bisa diharapkan kecuali satu lagi. Sebetulnya, Pras bukan tipe bos yang segala sesuatunya akan mengandalkan sekretaris sehingga biarpun tak ada pengalaman, yang menjadi sekretarisnya bisa belajar sambil berjalan. Pras selalu menghandle semua pekerjaannya selagi ia mampu, dan Dion selama ini hanya membantu sebagian kecil dan mengatur jadwal untuk sahabatnya. Itu saja. Akan tetapi, tetap saja Dion tak bisa mempercayai pekerja yang tidak kompeten, ia tetap harus mencarikan yang terbaik untuk penggantinya. "Oke, next!" seru Dion kemudian. "Saya Santi Amalia. Saya berpengalaman menjadi sekretaris cukup lama, sehingga bapak bisa mengandalkan saya." "Pertanyaan saya sama seperti pada Nita. Apa yang membuat kamu berada di sini sekarang?" "Saya mengundurkan diri karena ada sedikit masalah pribadi akibat ulah bos saya sebelumnya yang membuat saya tidak nyaman." "Ah, begitu. Baiklah saya rasa cukup dan tak ada yang perlu lagi ditanyakan. Jadi," Dion menoleh ke arah Pras yang sudah duduk di mejanya, "silahkan pak Pras yang menentukan!" Ketiga wanita itu terlonjak kaget, bahkan mereka tak sadar jika Pras sudah duduk di sana. Pras hanya tersenyum dan siap menjatuhkan pilihan. Sejak awal, dia pun memang sudah menjatuhkan pilihannya pada wanita yang tak banyak bicara seperti Santi. "B-bentar! J-jadi, d-dia itu CEOnya?" tanya Lulu dengan mulut menganga tak percaya. Dion hanya mengangguk dan tersenyum. "Dia? Beneran?" Nita tak kalah terkejut. Mereka tak percaya hanya karena melihat tampangnya. "Tenang, kalian tenang aja," ucap Pras kemudian. "Kalian tidak akan punya bos seperti saya, kok! Jadi silahkan cari pekerjaan di tempat lain saja untuk Lulu dan Nita!" Santi terperangah, ia menatap ke arah Pras seolah memastikan. "Ya, kamu diterima, Santi!" ucap Pras kemudian. "Fyuh, entah aku harus lega atau apa. Sebenarnya aku butuh banget pekerjaan ini, tapi sih kalau bosnya kayak dia mana betah!" Lulu masih saja sempat mencibir Pras sebelum keluar dari ruangan. "Bener! Mending kita cari lowongan pekerjaan lain aja sih, iya gak?" timpal Nita. Dion yang masih bisa mendengar segera menanggapi, "Yang pasti, selama kalian masih bersikap demikian aku rasa akan sulit sekali pekerjaan didapatkan. Oh ya, mungkin karena sikap kamu yang seperti inilah yang membuat bosmu sebelumnya memecat kamu!" Mendengar ucapan Dion tersebut membuat keduanya diam seketika dan mereka langsung keluar dari tempat itu. Pras hanya bisa menggelengkan kepala. Ini bukan kali pertama, sehingga ia tak heran menemukan manusia sejenis itu, banyak sekali orang semacamnya yang menilai sesuatu dari penampilan saja. "Jadi, apa Anda bersedia jadi sekretaris saya?" tanya Pras kemudian pada Santi. "Saya bersedia, Pak!" "Oke, silahkan, Dion!" "Baik, Santi, untuk itu mari ikut saya dulu!" ucap Dion kemudian, ia segera mengajak Santi untuk menunjukkan dan memberitahu apa tugasnya sebagai sekretaris dari Pras, si CEO Udik. Pras menatap punggung gadis itu yang kemudian hilang terhalang pintu yang tertutup. Ia sedikit penasaran, apa yang membuat Santi bersedia bekerja untuknya padahal sebelumnya banyak yang menolak dan mengundurkan diri. Namun, satu hal yang pasti masih banyak orang baik di dunia ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD