3

1879 Words
Hal apakah yang membuat seseorang terlihat menarik? Wajah? Bentuk tubuh proporsional? Cara berpakaian up to date? Manakah dari sekian hal tersebut yang membuat seseorang terlihat menarik? Jika Anda sekalian berpikir bahwa salah satu dari hal yang disebutkan di atas adalah nilai mati untuk sebuah daya tarik, maka pikirkan kembali mengenai kriteria keindahan yang Anda inginkan. Daya tarik seseorang tidak terbatas pada rupa dan fisik saja; sesuatu yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Masih ada hal-hal lain yang membuat seseorang tertarik kepada Anda. Yakinlah pada kemungkinan itu. Oke, sebenarnya apa saja yang membuat seseorang terlihat menarik selain wajah, badan, dan.... UANG? Jangan lupa, Tuhan menciptakan manusia dengan beberapa kelebihan. Tugas Anda adalah menggunakan kelebihan yang telah Tuhan berikan kepada Anda. Ya, tentu saja Anda sekalian memiliki kecantikan terpendam atau yang lebih umum disebut sebagai inner beauty. Tidak perlu bersedih jika kita tidak termasuk ke dalam kelompok manusia dengan wajah secantik Ratu Cleopatra. Sebab, kita memiliki kelebihan lain yang patut dibanggakan. Pertama, prestasi. Bakat yang kita miliki pastinya akan membantu kita terlihat menonjol di hadapan lawan jenis. Seperti buah manggis, walau penampilan luar tidak terlalu meyakinkan, tetapi jauh di dalam, terdapat daging buah yang manis dan enak. Jadilah seperti si manggis, keahlian dan bakat kita adalah salah satu senjata yang mampu menarik lawan jenis. Kedua, murah senyum. Nah, jangan lupa selain ibadah senyum juga mampu membantu kita terlihat menawan. Menurut salah satu peneliti, senyum dapat membuat kita awet muda. Apa salahnya kita mencoba salah satu cara murah yang paling gampang ini? Nah, mulailah tersenyum dari sekarang. Ketiga, sikap santun. Tidak semua calon mertua menyukai menantu yang cantik atau tampan saja, mereka—para calon mertua ini—pastinya menginginkan calon menantu yang bersikap down to earth. Ayo, jangan patah semangat masih ada ribuan manusia di luar sana yang menilai seseorang bukan hanya dari penampilan luar saja.  Maka dari itu, apa yang dilihat dari luar tidak selalu menjadi nilai utama dalam memilih pasangan. *** “Woy!” seru Miranda. “Serius amat.” Lenyap sudah runtutan kata-kata yang akan disusun Mia dalam artikelnya. Inspirasi menguap, Mia hanya bisa memandang lesu wajah ceria Miranda. “Nda, kamu ngapain?” Miranda yang sudah berada di samping Mia berkata, “Nih, aku teman yang baik. Aku bawain oleh-oleh.” Mia menatap sebotol kuteks berwarna merah muda yang diletakkan Miranda di atas meja. “Nda, aku, kan, nggak suka pakai yang beginian.” “Coba aja, apa susahnya sih?” “Ya jelas susah, lah,” sahut Nayla yang mejanya berada tepat di samping kubikel Mia. “Dia itu, kan, nggak doyan dandan.” “Huh,” cibir Miranda, “emangnya makanan.” “Kalau si Mia nggak mau, kuteksnya buat aku aja.” Nayla sudah bangkit dan menghampiri meja Mia. “Lagian, kamu kasih ginian ke dia, kan, mubazir banget.” “Iya,” ucap Mia mengamini, “kasih aja aku kumpulan novel terbaru atau tiket pesawat ke Paris. Nah, kalau yang itu aku nggak bakal nolak.” Nayla dan Miranda serempak berkoar, “Dasar mata duitan!” Tawa pun menyembur.  Mereka bertiga tak kuasa menahan dorongan untuk tertawa. Tawa bernada “wkwkwkwkwk” pun memenuhi ruangan di bagian pojok penulis. Tawa baru terhenti ketika mereka menyadari kehadiran sosok pria berkacamata.  “Arah jam dua belas,” bisik Nayla. “Toni.” Toni. Mantan asisten Bapak Faizal yang kini telah berganti status menjadi asisten Unknow Rafael. Pria berumur 28 tahun itu menatap ganas ke arah Mia, Miranda, dan Nayla yang sengaja membenamkan wajah di antara tumpukan map. Penampilan Toni seperti pengacara antagonis di film drama; rambut tersisir rapi, mata sipit yang siap memperhitungkan setiap keteledoran, dan bibir yang diciptakan untuk memberikan komentar mematikan. Dulu, Mia dan kawan-kawan tidak terlalu mempermasalahkan keberadaan Toni. Secara, Bapak Faizal merupakan orang yang ramah dan pengertian. Namun, kini lain ceritanya. Rafael yang tidak diketahui Mia itu, mungkin saja bersikap lebih buruk daripada si Toni. Mia tidak mengikuti acara penyambutan, jadi dia tidak bisa mereka-reka tabiat bos barunya. Semoga kedatangan Toni di bagian pojok penulis tidak memberikan kabar buruk apa pun. “Mia,” katanya. “Kamu dipanggil ke ruang direktur.” Suasana sunyi semakin menjadi ketika Toni menyebut nama ruang direktur.  Samar-samar Mia bisa mendengar suara Miranda, “Berdoalah, Kawan” Tentu saja, Mia membutuhkan doa perlindungan. *** Di depan pintu yang bertuliskan “ruang direktur”, Mia ingin cepat-cepat membalikkan badan dan berlindung di bawah meja. Pasalnya, Mia melihat senyum licik menghias sudut bibir Toni. Itu bukanlah pertanda baik, bisa saja Mia mendapatkan surat pemecatan dari direktur barunya.  Cek keadaan, Mia hanya mengenakan celana jins dan kemeja ungu, wajahnya pun pasti kusam. Cek rambut, masih terikat rapi dan tidak ada sampah kertas yang menyangkut. Aman. Meski Mia merasakan hawa panas dan dingin yang datang silih berganti, akhirnya dia memberanikan diri mengetuk pintu.  Tak lama kemudian suara berat menjawab panggilan Mia. “Masuk.” Mia menarik gerendel pintu, tanpa mendongakkan kepala ke arah meja direktur, Mia pun menutup pintu sembari berucap, “Bapak mem....” Kata-kata Mia terhenti di udara.  Meski tahun berganti dan dia sudah melewati bermacam-macam musim; musim panas, hujan, rambutan, dan durian. Mia tak mungkin bisa melupakan wajah yang selalu menghantui mimpinya.  Apa yang ditakutkan Mia kini terjadi.  *** Siang itu, Mia tengah asyik mengerjakan PR matematika. Sebenarnya, dia bisa saja mengerjakan tugas yang diberikan gurunya di rumah saja. Namun, Mia merasa perlu mengerjakannya di sekolah, sehingga dia bisa melakukan kegiatan lain sepulang sekolah. Lagi pula, tidak ada ruginya mengerjakan tugas sekolah lebih awal. Harusnya, Mia bisa mengerjakan PR matematika dengan tenang, tanpa adanya gangguan dari pihak mana pun. Namun, belum sampai Mia menyelesaikan soal nomor tiga, suara celoteh anak laki-laki membuyarkan konsentrasi Mia. Dari arah pintu masuk, Mia bisa melihat kedatangan Rafael dan dua pengikutnya. Sepertinya, ketiga bocah itu baru saja bermain sepak bola. Bulir-bulir keringat bermunculan di pelipis dan kening mereka, mereka bertiga kelihatan kuyu dan Mia bisa mengendus aroma matahari yang menempel di tubuh mereka. Mia benar-benar tidak menyukai kehadiran ketiga bocah itu. “Eh, lihat!” seru salah seorang dari mereka. “Cupu lagi ngerjain PR.” “Iya, deh tuh. Rafael, kayaknya dia mau sok cari perhatian deh, biar dibilang murid rajin.” Mia hanya bisa menelan ludah. Berharap, ketiga bocah itu segera pergi. Rafael tampak menimbang-nimbang untuk melakukan sesuatu. Dipandangnya Mia yang berpura-pura tidak memedulikan kehadiran Rafael dan kawan-kawannya. Seulas senyum jahil muncul, Rafael mendekati Mia dan berkata, “Heh, ngapain?” Mia menggigit bibir bagian dalamnya. Resah. “Kok nggak jawab?” tanya Rafael sekali lagi. Takut. Mia memutuskan untuk menutup buku tugas dan memasukkannya ke dalam tas. “Nggak ngapa-ngapain,” jawabnya. “Emang susah, ya, ngomong sama kamu?” Setelah berkata demikian, Rafael memberikan kode kepada kedua temannya untuk pergi meninggalkan kelas. *** Seorang pria duduk di sebuah kursi, kedua tangannya menyatu seolah tengah berdoa. Dalam balutan setelan berwarna hitam, pria itu terlihat menawan. Pandangannya tajam menusuk. Wajahnya tampan, jenis ketampanan yang sulit diabaikan. Terlebih untuk Mia karena dia mengenal pria itu sebagai Rafael yang telah membuat masa SMP Mia penuh dengan kesengsaraan.  Terjawablah sudah teka-teki mengenai si Rafael pengganti Bapak Faizal. Mia membenci kenyataan ini. Dia bahkan tak bisa menutupi ekspresi kaget yang ada di wajahnya. Mia bisa melihat sudut bibir pria itu mulai menekuk ke atas. Tenang, ucap Mia dalam hati, dia tidak mungkin mengenalimu. Bisa saja dia lupa. Argh, aku ingin keluar dari sini! “Sampai kapan kamu berdiri di sana?” “Hah?”  Mia, you are so stupid!  Antara ingin kabur atau meloncat dari lantai lima, Mia tak tahu harus memilih yang mana. Tubuhnya kaku, dia bahkan baru kembali ke kondisi awal ketika Toni yang entah dari mana datangnya, muncul dan mengintruksikan Mia untuk duduk. Toni hanya mengangguk sejenak kepada Rafael, lalu kemudian melenggang pergi sembari membawa beberapa map. Kini, Mia hanya bisa menatap nanar sosok Rafael yang duduk di hadapannya. Ruangan yang dulu digunakan Bapak Faizal kini beralih rupa. Meja kaca itu hanya berisi sebuah pena dan majalah Intermezo edisi terbaru. Menatap ke arah rak, buku-buku bersampul tebal dengan tulisan asing tampak berjejer rapi. Mia yakin buku itu jika dilemparkan ke seseorang, maka orang tersebut akan langsung melayang menuju surga. Rasanya Mia perlu mengujikan salah satu buku itu kepada atasan barunya. Hanya untuk antisipasi saja. Lebih daripada itu, Mia ingin segera hengkang dari ruangan terkutuk ini. Dia bahkan tak tahu harus menatap apa. Dalam hati, Mia terus berdoa, semoga Rafael tidak mengenalinya. Amin. “Mia Kencana Sari.” Oke, pertanda buruk. Rafael berhasil menyebutkan nama lengkap Mia secara sempurna. “Kamu lulusan sastra dari universitas negeri. Nilai IP-mu sempurna.” Mia masih berada pada posisi diam. Berpikir cara terbaik untuk mengenyahkan kesialan yang datang kepadanya.  Rafael membuka majalah Intermezo dan menunjuk sebuah artikel. “Karyamu, bukan?” Halaman yang ditunjuk Rafael merupakan rubrik yang dulu dibahas oleh Mia. Pada saat itu, dia berencana mewawancarai perempuan mengenai jenis aroma parfum yang menurut mereka bisa membangkitkan kenangan.  Mia mengangguk.  “Kamu tahu,” kata Rafael. “Berkat artikel ini, salah satu produk parfum ternama mengajukan kerjasama dengan Intermezzo. Mereka rela membayar dengan nilai fantastis untuk proyek ini.” “Maaf?” Kedua kaki Mia ingin hengkang, tetapi otak Mia mengomandokan untuk menahan diri.  “Tidak usah sekaku itu. Mia, kamu yang dulu tidak separah ini.” Oke. Itu sudah sebuah tanda. Pria ini mengenali Mia dan tidak malu mengomentari kepribadian Mia di masa lalu. “Mungkin, maksud Anda ‘saya dulu tidak sekuat ini’.”  Ngaku aja deh, kamu memang berniat menindasku! Biarlah. Jika Mia dipecat, dia rela dan malah bersyukur kepada Tuhan. Untuk apa sekantor, ralat, untuk apa menjadi bawahan makhluk keji tak berperasaan seperti Rafael? Mia lebih rela menjadi petualang liar yang hidup di rimba sss daripada harus menjadi pesuruh seorang Rafael. Tidak. Hati nurani Mia menolak tegas. Hidup kemerdekaan.  Senyum simpul menghias wajah Rafael. “Jadi, kamu masih ingat denganku?” Penekanan kata terakhir itu membuat Mia bergidik. Ingin sekali dia berteriak dan memaki Rafael. “Terpaksa,” ungkapnya. “Well, sepertinya kamu lupa sedang berhadapan dengan siapa.” Mia mati-matian menahan luapan emosi. Dia mengigit bibir bagian dalam, terus menyugesti diri sendiri agar tidak terpancing amarah.  “Mia, mari kita lupakan masa lalu dan fokus ke pekerjaan.” Cih, mulia sekali. “Oke.” “Kamu beruntung, saya sedang dalam suasana senang. Jadi, ketidaksopananmu hari ini akan saya maklumi.” Mia menaikkan alis, merasa tak yakin. “Apa urusannya dengan saya?” “Hanya ingin meyampaikan selamat,” jawabnya.  Perut Mia seolah teraduk-aduk, ingin muntah. Mendengar kata “selamat” terucap dari seorang Rafael membuat Mia ingin pergi sejauh mungkin dari ruang direktur. Memberi selamat atau ucapan terima kasih tidaklah cocok untuk seseorang seperti Rafael.   Detik itu juga Mia tahu: hidupnya di ujung tanduk. *** Mia kembali ke kubikel dengan wajah sepucat hantu, Miranda dan Nayla tak kuasa untuk bertanya perihal pemanggilan Mia.  “Mia,” tanya Nayla, “kamu nggak dipecat, ‘kan?” Mia menggeleng. “Fiuh,” Nayla mendesah lega. “Terus, kenapa mukamu kayak digigit lintah gitu?” “Iya,” sambung Miranda. “Kamu baik-baik aja, ‘kan?” Dengan tatapan lesu, Mia mulai melihat kedua sahabatnya. “Nda. Nay. Tolongin aku dong.” “Kamu sakit?” tanya Miranda. “Nggak,” jawab Mia. “Aku cuma pengin ke Lawu.” Nayla mengerutkan kening, bingung. “Eh, ngapain?” “Buang sial.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD