2

948 Words
Beruntung. Mia berada di bagian rubrik gaya hidup, maka dia tidak harus menghadiri acara penyambutan direktur baru. Kelompoknya dibebastugaskan dari kewajiban menyambut direktur, garis miring, anugerah cari muka di hadapan pemimpin baru. Mia hanya perlu menyelesaikan riset mengenai kecenderungan kaum wanita dalam melampiaskan emosi. Entah mengapa, Mia tertarik pada hal-hal yang berbau psikologi. Mia berkeliling di sekitar kafe-kafe Jakarta. Secara acak, dia meminta beberapa wanita mengisi kuesioner. Dan, hasil yang didapat cukup mengejutkan. Kebanyakan perempuan lebih senang melampiaskan amarah dengan cara makan. Alhasil, tidak mengherankan jika lemak menjadi masalah selanjutnya yang harus dihadapi. Sayonara stres, and hello kalori. Kasihan, Mia merasa tindakan pelampiasan amarah dengan cara makan perlu dipikirkan.  Mia hanya perlu menyerahkan laporan kuesioner miliknya kepada Nayla, setelah itu, dia bisa melanjutkan pekerjaan yang lain.  Siang ini, suasana kantor yang harusnya terasa dua kali lebih mematikan karena kedatangan bos baru, ternyata masih sama seperti sebelumnya. Tidak sesuai dengan perkiraan awal Mia; teror Halloween dengan tokoh jahat yang tertawa, “Bwuhahahaha.” Mungkin ini hanya perasaan Mia saja, otaknya memang memiliki tingkat kreatifitas yang setara dengan produser film fantasi. Padahal, dua hari yang lalu, tepat saat Nayla mengabarkan pengganti Bapak Faizal. Suasana di kantor ternyata masih biasa-biasa saja, tidak seheboh perkiraan Nayla. Jikalau ada yang terlihat berbeda, yang bisa Mia lihat hanyalah lobi yang tampak lebih rapi dari biasanya dan seragam para OB yang terlihat mentereng seperti baru keluar dari lemari. Aneh. Mia menebak perubahan prosedur kerapian pakaian ini berkaitan dengan “Rafael sang pengganti Bapak Faizal yang semoga saja bukan Rafael yang ditakuti Mia”. Mengesampingkan prasangka buruk, Mia menyerahkan laporan kuesionernya kepada Nayla.  “Enaknya,” keluh Nayla, “kamu nggak perlu pergi ke acara penyambutan.” Mia mengerutkan kening. “Aku kepanasan, kelaparan, dan hampir digebuk karena salah menyebut berat badan seseorang. Bagian mana yang enak di sini?” “Bagian kamu yang nggak perlu merasakan aura pembunuh yang dikeluarkan Toni sang pencabut nyawa dan biang kegelapan di kantor.” “Kasihan. Bagaimana kalau kapan-kapan kita pergi ke bioskop,” ujar Mia menyarankan. “Refresing.” “Ajak aku,” seru Miranda. “Oke, tapi aku yang milih filmnya.” “Nayla gak asyik,” cibir Miranda. “Palingan seleranya juga Malam Satu Suro.” “Daripada kamu, Pokemon dan Doraemon. Selera macam apa itu?” “Eh,” bela Miranda. “Seleraku mendunia loh.” “Nda, luarnya aja kamu yang Victoria Beckham, tetapi jauh di dalam hatimu, jiwamu masih Teletabis.” “Penghinaan.” “Udah deh,” lerai Mia. “Nonton film apa aja oke, asal bersama.” “Setuju,” kata Nayla. “Idem,” kata Miranda. “Hei, trio kwek-kwek!” seru salah seorang pekerja. “Berisik.” *** Menjelang sore, Mia segera mematikan layar monitor dan merapikan berkas dan kertas-kertas yang berserakan di mejanya. Kedua matanya terasa panas karena terlalu lama terpapar radiasi dari layar monitor. Bahu serta pinggangnya juga pegal. Seandainya Mia bisa pergi ke salon untuk melakukan rileksasi, mungkin itu bisa sedikit mengurangi rasa lelah yang mendera. Ponsel Mia berdering. Dia mendapatkan sebuah pesan. From Rio: Beliin nasi goreng yang ada di dekat mal. Mia menggelengkan kepala. Adiknya itu sepertinya sudah kecanduan nasi goreng yang dijajakan di pinggir jalan. Heran. Dari sekian menu makanan yang ada, kenapa adiknya justru tergila-gila kepada nasi goreng ala India itu? Apa boleh buat, Mia tidak tega mengabaikan keinginan adiknya. “Mia,” panggil Nayla. “Pulang bareng, yuk?” “Boleh. Tapi aku nanti mau mampir bentar.” “Adikmu nitip nasi goreng spesial itu lagi?” tebak Nayla. Mia mengangguk. “Tahulah, seperti apa adikku itu.” “Lama-lama adikmu bakalan obesitas gara-gara kebanyakan makan daging loh.” Mia mulai memasukkan beberapa map ke dalam ransel, setelah menarik resleting dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal, Mia pun berkata, “Nggak keberatan, kan, nganterin aku ke sana?” “Oke, oke.” Nayla mengangkat kedua tangannya. Pasrah. “Aku anterin ke sana naik mobil.” *** “Pantes aja adikmu ngefans. Nih makanan, enak banget.” Awalnya, Nayla tidak tertarik mencicipi makanan yang dijual di pinggir jalan. Dia hanya berniat mengantar Mia saja, tetapi ketika Mia memesankan seporsi nasi goreng untuknya, Nayla langsung jatuh cinta pada suapan pertama. Melihat cara makan temannya yang sedikit belepotan, Mia menggelengkan kepala.  “Katanya nggak mau nyoba.” “Mia berisik,” dengus Nayla. “Itu, kan, tadi.” Di dalam warung yang digelar di atas trotoar Mia dan Nayla mulai menghabiskan makanan yang mereka pesan. Suara bising kendaraan berlalu-lalang menambah keriuhan suasana di tempat makan tersebut. “Fiuh,” hela Nayla, puas setelah menghabiskan sepiring nasi goreng. “Sedaaap.” “Gimana tadi, acara penyambutannya?” “Biasa aja. Aku kira tuh direktur bakalan ngetes pegawainya satu per satu. Ternyata jauh dari perkiraanku, dia ramah dan....” Nayla berdeham. “Ganteng. Keren. Luar biasa deh pokoknya. Bikin hati panas dingin.” Mia mengerutkan dahi. Bingung.  “Yang jelas dong kalau ngomong. Kosakatamu itu loh, nggak banget.” “Mia, aku bingung njelasinnya. Pokoknya dia itu masih muda dan ... errr bikin hasrat naik turun.” “Kayak Toni?” “Idih, ya beda lah. Satu manusia purba, sementara satunya lagi makhluk Tuhan paling seksi.” “Udah ah, pulang yuk. Rio SMS minta nasi gorengnya segera dibawa pulang.” “Rio mulu. Sampai bosan aku dengarnya.” Mendengar komentar Nayla, Mia hanya tersenyum. Tidak tertarik mendebat. *** Sesampainya di rumah, Mia mendapati adik laki-lakinya itu tengah menatapnya dengan wajah cemberut. “Lama amat,” katanya. Rio segera mengambil bungkusan yang dibawa Mia. “Kak, kelamaan ngegosip ya di sana?” “Sembarangan. Aku kerja tahu.” Rio hanya mengedikkan bahu dan segera meluncur ke dapur. Sama sekali tidak peduli dengan keadaan Mia.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD