Rinta menatap arloji di tangan kirinya, sudah hampir tiga puluh menit dia menunggu di halte bus. Bukan, bukan dia menanti bus, dia hanya berteduh di sana sembari menunggu seseorang menjemputnya.
Hawa dingin mulai merambati tubuhnya bersamaan dengan gerimis kecil yang turun semakin rapat. Langit mendung menutup senja keemasan yang biasanya berkilauan di ufuk barat.
Sebuah mobil tipe SUV berwarna hitam yang dia kenali mendekat ke arahnya dari kejauhan. Rinta tersenyum kecil.
Benar, mobil itu berhenti, lantas seorang pemuda dengan kemeja flanel dan celana jeans berwarna gelap itu turun. Tubuhnya yang tinggi sedikit berlari sambil menutup dahinya dari gerimis.
"Maaf, aku telat, aku harus jemput Mama dulu tadi," dia menjelaskan.
Rinta mengangguk. "Nggak apa-apa, Mas," jawabnya sambil berdiri dan membetulkan tali tas di bahunya.
"Ya sudah kalau gitu, ayo." Andro menjulurkan tangannya dan disambut Rinta.
Andromeda namanya, usianya sebenarnya satu tahun lebih muda daripada Rinta. Tapi jika saling mencintai, perbedaan usia yang tak seberapa banyak bukanlah masalah besar, iya kan?
Andro pemuda yang baik, tampan tentu saja. Terkadang Rinta masih tidak percaya, seorang gadis biasa seperti dirinya, yang hanya berprofesi sebagai pegawai butik biasa bisa menjadi kekasih seseorang seperti Andro.
"Nanti malam jadi ya kita ketemu orang tua aku? Aku sudah bilang sama mamaku." Andro melirik Rinta yang duduk dengan tenang di kursi penumpang di sampingnya.
"Iya Mas, tapi aku masih takut." Rinta menjalin jemari kedua tangannya.
"Takut kenapa?" Andro mengernyit, pemuda itu masih menatap jalanan di depannya dengan kedua tangan memegang erat kemudi.
"Apa orang tua kamu bakal bisa menerima gadis seperti aku ini?"
Andro menghela napasnya, terdengar tidak senang dengan apa yang baru dia dengar.
"Gadis seperti ini apa maksudnya? Sudahlah, kamu jangan terus menerus insecure."
"Iya Mas, aku tahu, tapi aku ini cuma anak piatu yang miskin. Bahkan ayahku juga pergi meninggalkan aku dan almarhum ibu sejak aku masih kecil."
"Sayang, aku sudah cerita semuanya sama Mama. Dan kamu tahu apa? Mama sama sekali gak keberatan." Andro melepas sebelah tangannya dan menggenggam jemari tangan Rinta yang terjalin.
"Bener Mas? Mama kamu gak masalah meski aku cuma anak orang miskin?" Rinta masih tidak percaya, tapi di sudut hatinya menghangat dan ada sedikit kelegaan yang tak terkatakan lagi.
"Iya, untuk apa aku bohong sama kamu. Mama bilang, selama gadis yang aku pilih adalah gadis baik-baik, mau dia dari keluarga sederhana atau miskin sekalipun, itu bukan masalah. Yang penting pilihanku membuat aku bahagia."
Mau tak mau, senyum merekah dengan sendirinya di sudut bibir Rinta.
"Kalau papa kamu gimana?"
Bibir Andro mengerucut, seolah sedikit berpikir. "Aku belum cerita sama Papa sih, tapi selama ini Papa gak pernah terlalu banyak mengatur. Jika Mama oke, papaku pasti oke."
***
Malam menjelang, Rinta berkutat di depan meja riasnya yang sederhana. Dia mengeluarkan sesuatu dari sebuah tas kertas yang tadi dia bawa dari butik.
Tangannya yang ramping menarik keluar sebuah gaun berwarna salem. Mbak Ajeng pemilik butik meminjamkan gaun cantik ini padanya. Wanita paruh baya yang masih betah melajang itu sangat baik, Rinta biasa bercerita apapun padanya. Dan tentu saja, Mbak Ajeng sangat bersemangat saat Rinta menceritakan rencana Andro yang ingin memperkenalkan dirinya pada kedua orang tuanya.
"Rinta, Nak Andro sudah datang, dia nunggu kamu di luar." Suara lembut neneknya membuat Rinta menoleh.
"Ah, iya Nek. Mas Andro sudah sampai ya?" Rinta bangkit dari duduknya.
"Iya, kamu belum siap-siap?" Wanita yang rambutnya telah dipenuhi uban itu menatap dalam pada sang cucu.
"Ini baru mau siap-siap. Sebentar Rinta ganti baju dulu ya, Nek."
Sang Nenek mengangguk, lantas berjalan keluar dari kamar Rinta. "Jangan lama-lama, kasihan Nak Andro nunggu lama," ujarnya sebelum menutup pintu.
Tak lebih dari setengah jam, Rinta akhirnya selesai dan keluar dari kamarnya. Andro telah duduk berbincang dengan neneknya di ruang tamu. Pemuda itu tampak rapi dan tampan dengan setelan jas namun hanya dengan dalaman kaos yang dipadu dengan celana jeans gelap.
"Maaf Mas, nunggu lama ya?"
Andro menoleh, pupil matanya sedikit melebar saat melihat gadis di hadapannya terlihat begitu cantik.
"Rinta..." Mata Andro menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Membuat gadis itu salah tingkah dan sedikit bingung.
"Ke-kenapa, Mas? Apa penampilanku aneh ya?" Dia menunduk menatap dirinya sendiri.
"Bu-bukan, kamu tampak berbeda. Kamu cantik sekali." Kata-kata itu meluncur langsung dari bibirnya sesuai apa yang dipikirkan di otaknya.
"Ya sudah, ini sudah hampir jam delapan, lebih baik kalian cepat berangkat." Suara Nenek membuyarkan kekaguman Andro.
"Ah iya, ayo kita berangkat sekarang."
***
Andro membelokkan mobilnya ke sebuah restoran mewah bintang lima. Rinta takjub sekaligus gugup setengah mati. Ini makan malam sekaligus menjadi pertemuan pertama dirinya dengan orang tua Andro.
"Ayo turun," ucap Andro sebelum membuka pintu mobilnya dan Rinta masih bergeming tak bergerak.
"Kenapa?" Lanjutnya bertanya saat mendapati wajah gadis itu menegang dan sedikit pucat.
"Aku takut, Mas." Jawabnya sambil merapatkan kedua tangannya yang terkepal ke depan d**a.
"Takut apa lagi? Mama dan papaku gak serem kok, mereka orang baik." Andro memastikan.
"Tapi aku ini cuma..."
"Cuma apa?" Sahut Andro tidak suka. Inilah yang membuat dirinya tak dapat segera mempertemukan Rinta dengan keluarganya meski telah berpacaran hampir satu setengah tahun. Karena Rinta yang selalu tidak percaya diri.
"Sudah aku bilang, mama sama papa aku bukan orang yang suka mempermasalahkan status sosial seperti yang kamu bayangkan. Kenapa sih, kamu berpikir bahwa orang tua aku akan sejahat itu?" Lanjutnya dengan sedikit putus asa. Tentu saja, mereka sudah sejauh ini tapi Rinta masih terus menerus ragu dan tak percaya diri.
"Bukan begitu, Mas. Maaf." Suara Rinta memelan. Andro bukan tak mengerti tentang bagaimana perasaan Rinta, tapi dia juga tahu bagaimana orang tuanya tak seburuk itu, terlebih Andro sudah berbicara langsung pada sang mama sebelum ini, dan itu bukan masalah yang besar dan perlu ditakuti oleh Rinta.
"Ya sudah, kalau begitu ayo keluar. Mama sudah menunggu di dalam." Andro segera keluar setelah mengatakan itu dan beralih ke sisi mobil yang lain lantas membukakan pintu untuk Rinta.
Andro menjulurkan tangan dan mengangguk meyakinkan Rinta sekali lagi. Gadis itu tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Meraih tangan Andro dengan jemari tangannya yang terasa dingin karena gugup.
Rinta berjalan dengan takjub di sisi Andro. Ini restoran paling mewah yang pernah dia datangi selama hidupnya.
Dia jarang makan di tempat makan yang mahal, hanya beberapa kali saat Mbak Ajeng membawanya untuk menemani bertemu klien bisnisnya. Itupun tak semewah ini.
Mereka menuju sebuah privat room di lantai dua. Semakin dekat ke tempat itu tangan Rinta semakin terasa dingin di genggaman tangan Andro. Pemuda itu mengelus perlahan jemari Rinta dengan ibu jarinya.
"Tenang aja, mamaku gak galak kok." Ucapnya berharap sedikit menenangkan hati kekasihnya yang gugup.
Benar saja, saat masuk Rinta bisa melihat seorang wanita paruh baya yang begitu cantik tengah menatap ke arah kedatangan mereka dengan senyum merekah di wajahnya. Rasa gugup yang sejak tadi bercokol di hatinya perlahan-lahan menghilang.
"Ah kalian sudah datang?" Sambutnya berdiri dan masih tersenyum hangat.
"Iya, Ma. Nah Ma, kenalin ini Rinta, pacar Andro." Tanpa basa-basi Andro memperkenalkan Rinta dengan bangga pada sang Mama. Dia telah menunggu lama untuk ini.
Rinta tersenyum malu dan lantas menjulurkan tangannya pada Mama pemuda yang paling dia cintai.
"Saya Rinta, Tante," ucapnya memperkenalkan diri.
Mata wanita itu berbinar dan senyum hangat itu tak sirna dari bibirnya.
"Saya Rosita, mamanya Andro." Tangan lembut dengan kuku yang diwarnai menyala itu menyambut tangan Rinta.
"Ayo ayo, silakan duduk."
Rinta mengangguk, rasa gugup, ketakutan dan kekhawatirannya perlahan sirna. Dia bisa melihat bagaimana mama Andro sangat hangat dan tak ada prasangka dari tatapannya.
"Papa mana, Ma?" Tanya Andro yang mulai duduk di samping Rinta, tepat di depan mamanya.
"Mungkin masih di jalan, Papa langsung dari kantor karena tadi ada urusan sama klien sebentar katanya."
"Oh," jawab Andro singkat.
"Kalian mau pesan apa? Rinta mau makan apa? Ayo dipilih menunya." Ucap Rosita dengan tatapan hangat.
"Kita gak nunggu Papa, Ma?" Andro membolak balik buku menu.
"Kita pesan duluan gak apa-apa, biar nanti Papa menyusul kalau sudah datang. Mungkin sebentar lagi datang kok."
"Oh iya, Rinta sudah lama kenal sama Andro?" Tanya Rosita.
Rinta sedikit terhenyak. "Sudah lumayan lama, Tante. Sudah lebih dari dua tahun."
"Tapi hubungan kami, sudah berjalan hampir satu setengah tahun," lanjutnya.
"Wah, sudah lumayan lama ya? Tapi kenapa baru dikenalin ke Mama sekarang ya?" Kali ini Rosita melirik sinis pada sang putra.
Andro mendesah. "Hah, bukan gak mau dikenalin ke Mama, Andro maunya juga pertama kali pacaran langsung Andro bawa ke Mama, tapi Rinta yang belum siap ma."
"Kenapa? Rinta gak perlu takut sama Tante, Tante gak gigit kok." Ucapnya sambil terkekeh, membuat Rinta ikut tertawa kecil. Benar, Mama Andro tidak semenakutkan yang dia kira.
"Andro bilang, kamu tinggal sama nenek kamu ya? Kenapa tadi gak diajak sekalian, biar Tante bisa kenalan sama nenek kamu."
Rinta tersenyum. "Iya Tante, saya cuma tinggal sama Nenek. Ibu saya sudah meninggal, dan ayah saya pergi entah kemana waktu saya masih kecil."
Rosita menjulurkan tangannya mengelus perlahan tangan Rinta yang mungil membuat gadis itu sedikit tersentak kaget.
"Andro udah cerita sama Tante, kamu yang sabar ya. Kalau kalian menikah, kamu akan punya keluarga lengkap lagi. Ada Tante sama Om yang akan jadi orang tua kamu juga."
Hati Rinta mencelos, terharu sampai rasanya ingin menangis saat itu juga. Dia tak tahu bahwa mama Andro sebaik ini. Dia salah mengerti oleh ketakutannya sendiri.
"Terima kasih banyak Tante," ucapnya dengan bibir bergetar menahan tangis. Dia bersyukur, sangat bersyukur.
Andro hanya tersenyum dengan senang melihat bagaimana Mama dan kekasihnya terlihat saling menerima seperti itu.
"Nah itu Papa, tuh," seru Andro saat melihat sang Papa datang ke arah mereka.
Baik sang Mama maupun Rinta serentak menoleh. Wajah papa Andro terasa tidak asing bagi Rinta. Tapi entah mereka pernah bertemu dimana.
"Maaf, Papa telat." Lelaki itu mengendurkan dasi dan mengambil duduk tepat di samping sang istri.
Mata Rinta tak bisa lepas menatap lelaki paruh baya yang duduk di hadapannya. Dia tak berkedip sama sekali. Kakinya terasa dingin sekarang, tubuhnya menggigil dari dalam.
Wajah papa Andro ini sangat mirip dengan...wajah ayahnya.
Wajah yang hanya bisa dia kenali dari foto. Tapi sudut hatinya yang paling kecil meyakini bahwa lelaki itu memang ayahnya. Wajahnya mirip seperti di foto-foto peninggalan mendiang ibunya. Hanya saja, garis penuaan yang membuatnya sedikit berbeda.
Bertepatan dengan itu pesanan makanan mereka telah datang.
"Papa, kenalin ini Rinta, pacar Andro." Seperti sebelumnya Andro mengenalkan Rinta, kali ini pada sang papa.
Tak berbeda jauh dengan sang mama, tanggapan papa Andro juga baik. Lelaki itu tersenyum ramah, tapi Rinta sama sekali tak bisa membalas senyuman itu. Bibirnya terkunci rapat dengan seluruh puzzle pertanyaan memenuhi otaknya.
Andro menyenggol kaki Rinta saat menyadari gadis itu justru membeku.
Rinta berdehem dan mengedip sebentar, menenangkan diri dan menarik napas pelan pelan. Entah mengapa dia bersiap dengan kejutan apa yang mungkin terjadi.
"Sa-saya Rinta, Om." Ucapnya sambil menjulurkan tangan.
"Saya Prayogi, papanya Andro." Jawaban itu bagai petir siang bolong yang menyambar kepala Rinta.
"Prayogi," gumamnya sambil menahan air mata yang luruh.
Nama itu, nama Ayah yang meninggalkan dirinya saat masih kecil. Wajah itu tak asing, nama itu tak asing. Rinta tak mungkin salah orang, lelaki di hadapannya ini adalah ayah kandungnya.
Jika benar begitu, maka....
Rinta menoleh menatap Andro yang lugu dan tak tau apa-apa.
Maka Andro adalah adiknya???