Chapter 2

1298 Words
"Kamu kenapa sih sejak tadi diem aja?" Andro menoleh sebentar ke arah Rinta yang duduk di sampingnya sambil menatap gemerlap lampu jalanan dari balik jendela mobil. "Gak apa-apa, aku cuma capek aja kok." Rinta menjawab tanpa menoleh. Air mata membendung di pelupuk matanya, sekuat tenaga dia tahan sejak tadi. Andro menjulurkan tangan, menyentuh puncak kepala Rinta dan mengusapnya perlahan. "Orang tua aku gak seburuk yang kamu kira kan?" Tanyanya lagi dengan senyuman lega di wajahnya yang tampan. "Ehhmm." Hanya itu yang keluar dari bibirnya sebagai bentuk jawaban. "Ahh, aku lega banget. Papa sama mamaku bisa menerima kamu dengan baik, jadi...kapan kita menikah, Sayang?" Tanya Andro sambil meraih tangan Rinta dan mengecup punggung tangan itu perlahan sambil terus menyetir. Rinta memejamkan mata bersamaan dengan rasa nyeri yang tak terbayangkan di dalam hatinya. 'menikah?' Jeritnya dalam hati. Keinginan yang sudah sangat lama dia impi-impikan, menikah dengan Andro. Tapi kini semua itu menjadi hal paling mengerikan yang mungkin bisa dia bayangkan. Bagaimana dia bisa menikahi adiknya sendiri? Adik yang memiliki darah yang sama yang mengalir dalam tubuhnya? Semua ini salah, sungguh salah. Dosa! Tapi Rinta tak bisa berbohong, dia mencintai Andro, dan masih mencintai pemuda itu. Tapi kenyataan yang baru saja dia terima benar-benar menyakitinya dengan parah. "Hei, kok kamu diam aja sih?" Andro cemberut karena sejak tadi Rinta jadi lebih banyak diam dan tak banyak menanggapinya. Rinta mengusap matanya cepat, kemudian membetulkan posisi duduknya dan menoleh. "Iya, Mas?" Dia bahkan masih memanggil adiknya dengan sebutan 'Mas'. Hatinya sangat perih. "Jadi kapan kita menikah? Kapan aku bisa melamar kamu secara resmi pada nenek kamu?" Bibir Andro terus tersenyum dengan mata berbinar. Rinta menelan ludahnya kasar, seperti halnya dia menelan kepahitan kenyataan itu sendirian sekarang. "Belum tau, aku belum begitu siap." Ada getaran lirih di suaranya saat menjawab, hanya alasan. "Lagipula kamu masih mau ngejar gelar S2 kamu kan?" Tambahnya. Andro mencebik. "Itu bukan masalah besar. Kita bisa tetap menikah sembari aku kuliah. Toh aku punya resto yang berjalan untuk bisa kasih kamu nafkah." Rinta mendesah kecil, lantas menatap lurus ke depan. Langit malam dengan cahaya lampu jalanan yang berpendar seperti kunang-kunang di kejauhan. "Papa sama mama kamu kelihatannya orang yang penyayang ya?" Andro tersenyum. "Kan sudah aku bilang, papa sama mamaku itu baik. Mereka gak jahat kok, kamu aja yang terlalu berpikir yang enggak-enggak." Rinta memaksakan sebuah senyuman. Meski hanya senyuman getir. "Iya, maafin aku. Benar, mereka memang baik, dan sepertinya saling menyayangi." Kalimat yang penuh kepalsuan. Rinta tak bahagia, dia terluka. "Heem, dari dulu mereka memang selalu akur dan harmonis. Aku juga jarang lihat mereka bertengkar kok. Ya, aku bersyukur banget punya keluarga yang harmonis seperti ini. Dan sebentar lagi keluarga aku juga akan jadi keluarga kamu." Ada pengharapan besar dari setiap kalimat Andro. Dia benar-benar merasa bahwa hubungannya dengan Rinta selangkah lebih maju, dan sebentar lagi mereka akan menjadi satu dalam sakralnya pernikahan. Senyum di wajah Rinta menjadi semakin getir. Hatinya perih, seperti luka baru yang menganga dan disiram air garam. Kenyataan bahwa dia menemukan ayahnya yang sejak dahulu telah memilih pergi untuk meninggalkan dirinya. Yang ternyata telah memilih untuk memiliki keluarga baru dibanding bertahan dengan dirinya dan almarhum ibunya. Seorang ayah yang memilih meninggalkan anak perempuan kecilnya yang masih balita, dan telah memiliki seorang anak lelaki dari istrinya yang baru? Luka itu terasa semakin dalam dan parah tatkala dia memikirkan bahwa lelaki yang duduk di sampingnya kini, lelaki yang sudah menemani hari-harinya dengan bahagia selama hampir satu setengah tahun, lelaki yang padanya di berikan seluruh hati dan perasaan. Ternyata adalah orang yang paling terlarang bagi dirinya dan cintanya. Apa sebenarnya yang sedang Tuhan rencanakan untuknya? Dia tak dapat berpikir dengan jernih. Semuanya terasa gelap dan seolah dia sedang berjalan di ujung jurang yang tak bertepi. Mobil yang dibawa Andro masuk ke pekarangan rumah kecil dan sederhana. Teras yang tak seberapa besar diterangi oleh nyala lampu bohlam berpendar kekuningan. "Makasih ya, Mas. Ini udah malam, lebih baik kamu langsung pulang aja," kata Rinta saat mobil itu berhenti. Sebenarnya Andro ingin mampir sebentar, sekedar menyapa nenek Rinta dan berpamitan. Tapi pada akhirnya pemuda itu menuruti apa yang Rinta katakan. "Ya sudah deh kalau gitu, sampai jumpa besok ya. Aku pulang dulu," jawab Andro saat Rinta sudah keluar dari mobil dan merendahkan wajahnya dari depan kaca jendela. "Iya, hati-hati ya," sahutnya sambil memundurkan tubuh. Membiarkan Andro memutar mobilnya dan pergi menjauh dari halaman rumahnya. Rinta berjalan dengan pelan, bahunya luruh. Seolah seluruh tenaga yang dia miliki telah habis. Gadis itu menjatuhkan tubuhnya di kursi rotan yang beberapa sudutnya telah koyak dimakan usia. Gadis itu menunduk, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Bahunya bergetar, tangisan itu keluar tanpa bisa dia tahan lagi. Suara langkah kaki nenek dari dalam rumah, membuat Rinta mengusap dengan cepat air mata yang membasahi pipinya. Pintu itu terbuka, nenek keluar dengan selimut menutupi tubuhnya. "Kamu sudah pulang? Nak Andro mana?" Tanya wanita sepuh itu dengan senyum kecil. "Dia sudah pulang Nek, kan sudah malam." Rinta membalas senyuman tipis yang hambar. "Bagaimana makan malamnya? Orang tua Andro seperti apa?" Wanita tua itu begitu penasaran dan ingin tahu. Jelas saja, bagaimanapun dia ingin tahu kejelasan hubungan sang cucu dengan pemuda yang telah menjadi kekasihnya itu. "Baik, Nek." Rinta hanya menjawab singkat. Rasanya dia tak mampu membagi kenyataan yang menyakitkan ini dengan sang nenek sekarang. Dia tak sanggup membayangkan bagaimana wanita sepuh yang sangat dia kasihi itu terluka. "Kalau gitu, Rinta istirahat dulu ya, Nek. Rinta capek sekali." Gadis itu langsung masuk ke kamarnya meninggalkan sang nenek di belakangnya. Tapi wanita tua itu bisa melihat sesuatu yang tidak beres dari gelagat sang cucu satu-satunya. Cucu yang telah dia rawat sejak kecil. Rinta masuk ke kamar, mengunci bilik kecil yang tertata rapi itu. Lantas menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang kasur kapuk. Membenamkan wajahnya ke atas bantal dan menangis tanpa suara. "Apa yang harus aku lakukan sekarang, ya Tuhan?" Ucapnya lirih dengan mata yang memerah dan dipenuhi air mata. Apa dia harus menceritakan semua ini pada Andro? Tapi bagaimana? Pemuda itu tak tau apapun, dia tak bersalah apapun dalam hal ini. Jika saja Rinta egois, dia pasti sudah mengatakan bahwa papa Andro itu adalah ayah kandung yang telah meninggalkannya di kali pertama dia menyadari itu. Namun, itu sama saja dia akan menghancurkan keluarga Andro. Keluarga yang dia sebut sebagai keluarga yang harmonis dan bahagia. Jika kali ini dia harus mengalah, dia hanya ingin mengalah untuk Andro. Jika kali ini dia harus menyerah pada keadaan sekali lagi, maka itu demi Andro. Demi lelaki yang dia cintai, yang harus dia terima dengan sadar, bahwa dia adalah adiknya. Demi adiknya. Adiknya!! ** "Hei, gimana semalam? Ceritain dong." Mbak Ajeng memberondong pertanyaan dengan antusias saat melihat Rinta baru saja tiba di butik. Beberapa karyawan lain juga tampak sedikit mendekat dengan wajah penasaran. Teman-temannya itu juga sedikit banyak tahu tentang hubungan Rinta dan pemuda kaya bernama Andromeda itu. Rinta hanya tersenyum hambar. Matanya yang bengkak tidak bisa menyembunyikan kepedihan yang dia rasakan sekarang. Senyum di wajah Ajeng memudar tatkala menyadari sorot mata sayu dengan bengkak kehitaman di sekitar mata gadis manis yang telah lama bekerja padanya itu. "Ada apa, Ta?" Ajeng bertanya penuh kekhawatiran. "Nggak apa-apa, Mbak," jawabnya, namun yang terjadi justru dia tak mampu membendung air mata yang tumpah dan lantas memeluk wanita yang merupakan bosnya itu. Kawan-kawannya yang lain saling memandang satu sama lain dengan bingung dan khawatir. "Ayo kita ke ruangan aku." Ajeng memapah Rinta yang terlihat menyedihkan. "Kalian semua lanjutkan pekerjaan," perintahnya pada karyawannya yang lain. Ajeng memintanya duduk di sofa di ruangan miliknya. Wanita lajang yang masih cantik itu menyodorkan sebotol air dingin. "Minum dulu, setelah itu kamu bisa cerita apa yang terjadi jika kamu mau," katanya sambil mengelus perlahan punggung Rinta yang tersedu. Gadis itu menurut. Meneguk air dingin untuk sekedar menenangkan dirinya. Rinta menatap wajah Ajeng dengan mata yang berair. "Mbak, aku gak tau harus gimana," dia membuka cerita. "Ternyata Andro itu...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD