"Sebenarnya kamu kemana sih, Ta?" Gumam Andro menatap layar ponselnya. Sudah berkali-kali dia mencoba menghubungi kekasihnya itu, tapi sama sekali tak dijawab. Pesannya juga tidak dibaca.
Pemuda itu khawatir setengah mati, tak biasanya Rinta bersikap seperti ini. Mereka akan menghabiskan banyak waktu meski sekedar ngobrol di chat saat sama-sama memiliki jam istirahat.
Namun sejak semalam, Rinta tak membalas pesan dan teleponnya. Terakhir kali, hanya ketika Andro menawarkan untuk mengantar atau menjemputnya selepas bekerja, tapi gadis itu menolak.
Hari sudah sore, Andro tak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia bergegas menuju butik Mananti milik mbak Ajeng. Dia harus bertemu Rinta secepatnya, pemuda itu takut jika sesuatu yang buruk terjadi.
"Tapi Rinta sudah pulang, Ndro." Mbak Ajeng menggelengkan kepala saat Andro datang padanya dan menanyakan keberadaan gadis itu.
Andro menatap sekeliling, beberapa pegawai masih berkutat dengan pekerjaan yang tersisa dan bersiap-siap untuk pulang.
"Jadi Rinta pulang duluan, Mbak?"
"Iya," jawabnya sambil mengangguk dan melipat tangannya di depan d**a.
"Tapi kenapa?" Tanya Andro curiga. Yang pasti ini belum jam pulang, tapi Rinta sudah tidak ada di tempat.
"Mbak nggak tahu, dia cuma ijin untuk pulang cepat karena ada sesuatu yang harus dia lakukan. Seharusnya kamu yang lebih tahu, kan kamu pacarnya."
Andro mengernyit tidak mengerti. "Ya sudah kalau begitu, Mbak. Saya pamit dulu mau cari Rinta."
Ajeng mengangguk, menatap punggung Andro yang menjauh dengan cepat. Wanita itu menghela napas berat, Rinta sudah menceritakan semua kepadanya. Dia merasa kasihan pada anak-anak ini. Seolah takdir sedang mempermainkan mereka.
"Ya Tuhan, kamu ada dimana sih, ta? Kok kamu gak angkat telepon?" Gumamnya sambil menyetir dan menempelkan ponselnya dengan satu tangannya.
Pemuda itu menuju rumah Rinta. Jika Ajeng bilang bahwa gadis itu sudah pulang, bisa jadi dia memang telah sampai rumah.
"Rinta belum pulang, Nak Andro." Nenek menjelaskan. Membuat bahu Andro meluruh karena putus asa.
"Memangnya Nak Andro gak telepon Rinta dulu?" Tanya Nenek.
"Sudah Nek, Andro sudah telepon, tapi tidak diangkat," jawabnya.
"Maaf Nak Andro sebelumya. Bukan maksud Nenek terlalu ingin ikut campur, tapi...apa yang terjadi semalam saat makan malam dengan orang tua Nak Andro?"
Andro mengernyit dan menggeleng. "Tidak terjadi apa-apa. Malah Mama sama Papa saya sangat suka dengan Rinta. Mereka merestui dan setuju-setuju saja dengan hubungan kami."
Lalu mengapa tingkah gadis itu berubah. Neneknya bukan tak menyadari perubahan gadis itu sejak pulang semalam dan pagi ini sebelum berangkat bekerja.
"Baiklah, mungkin Rinta hanya masih belum percaya bahwa orang tuamu telah memberi restu. Selama ini dia terlalu takut, dan ketika semua berjalan dengan baik, dia masih terkejut dan tidak menyangka." Jelas Nenek berusaha sedikit meredam kekhawatiran Andro. Meski jelas di lubuk hatinya yang paling dalam, nenek sendiri yakin sesuatu yang tidak beres telah terjadi.
"Mungkin seperti itu, Nek. Tapi tetap saja Andro khawatir kalau tiba tiba Rinta menghilang seperti ini. Kalau begitu, Andro pamit dulu untuk cari Rinta sampai ketemu." Tekadnya sudah bulat, dia harus bertemu Rinta sekarang juga.
Kemana? Kemana biasanya gadis itu akan pergi? Rinta tak banyak memiliki teman, hanya beberapa, itupun rekan kerja di butik Mbak Ajeng. Sahabatnya? Sahabatnya tinggal di luar kota, mereka bahkan tak pernah bertemu. Jadi mustahil Rinta pergi ke sana.
"Atau jangan-jangan dia ada di tempat itu?" Gumamnya sambil menginjak pedal gas. Andro memikirkan satu tempat, yang mungkin didatangi oleh Rinta saat pikirannya sedang tak baik-baik saja.
Dengan bergegas dia menuju ke tempat yang tak jauh dari rumah Rinta. Sebuah pemakaman umum di pinggiran komplek sederhana.
Andro memarkirkan mobilnya dan berjalan masuk untuk melihat apakah gadis itu ada di sana. Beberapa kali Rinta pernah membawanya ke tempat ini untuk berziarah ke makam almarhumah ibunya.
Benar saja. Dia bisa melihat Rinta duduk di samping makam, menunduk memainkan guguran Bunga Kamboja di tangannya. Sambil sesekali menyeka air mata di pipinya.
Andro mendekat. "Rinta," sebutnya.
Rinta mendongak. Ada sedikit keterkejutan di wajahnya kala melihat Andro. Gadis itu cepat-cepat menyeka seluruh wajahnya yang basah.
"Kamu sejak kapan di sini?" Tanya Andro. Ada kekhawatiran dan sedikit rasa kesal karena pengabaian Rinta seharian ini terhadapnya.
"Aku..."
"Kenapa kamu gak jawab telepon aku? Kenapa kamu gak bales pesan aku?" Rasanya Andro tidak bisa menahan tanya lagi.
"Maaf, Mas. Aku sedang kangen sekali sama ibu. Jadi aku tidak sempat..."
"Ayo kita bicara. Tapi jangan di sini." Pinta Andro berusaha tenang, meski nyatanya banyak tanya dan kekhawatiran yang membuncah di hatinya.
Dengan ragu Rinta bangkit. Wajah gadis itu tampak sangat sembab dan menyedihkan. Andro meraih tangannya dan menggenggam jemari gadis itu seolah tak ingin kehilangan. Ada rasa perih di dasar hati Rinta dengan perlakuan Andro yang selalu manis padanya seperti ini.
Keduanya masuk ke dalam mobil, namun Andro tak menyalakan mesinnya. Dia hanya duduk di balik kemudi dengan Rinta yang duduk di sampingnya.
"Kamu kemana saja? Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa sejak tadi malam kamu mengabaikan telepon dan chat aku?"
"Gak apa-apa, mas, aku cuma ingin sendiri dulu. Aku gak tau, tapi aku jadi sangat kangen sama ibu. Dan perasaan itu membuat aku pengen menyendiri dulu." Alasan yang tak masuk akal yang terlintas di benak Rinta.
"Aku bisa ngerti kalau kamu kangen almarhum ibumu, aku bisa ngerti kalau kamu butuh waktu untuk sendiri. Tapi aku gak paham kenapa kamu harus menghilang tanpa kabar seharian."
"Aku gak menghilang Mas, aku cuma butuh waktu menyendiri."
"Silahkan, tapi setidaknya tolong bilang sama aku sebelumnya. Jangan tiba-tiba gak ada kabar seperti ini, kamu gak tau gimana khawatirnya aku. Rasanya aku hampir gila." Andro meninggikan suaranya frustrasi.
"A-aku cuma..."
"Kamu gak ngerti, ta? Aku takut sesuatu yang buruk terjadi sama kamu. Aku khawatir banget. Kamu gak tau betapa aku gak mau kehilangan kamu? Aku cinta banget sama kamu." Andro menunduk, menjatuhkan kepalanya di bahu Rinta dengan putus asa.
"Jangan," ucap Rinta lirih. Air matanya sudah tidak bisa terbendung lagi, entah telah berapa banyak air mata itu tumpah sejak saat dia mengetahui semua kenyataan ini.
Andro mengangkat kepalanya, menatap pada Rinta dengan bingung.
"Apa yang jangan?" Tanya Andro tak mengerti.
"Jangan mencintai aku, aku bukan orang yang pantas untuk kamu cintai sedalam itu." Bibir Rinta bergetar hebat saat mengatakan hal tersebut.
"Maksud kamu apa, ta?" Andro meraih kedua bahu Rinta dengan pergelangan tangannya, memaksa gadis itu menatap ke arah dirinya.
"Jangan mencintai aku. Setelah bertemu dengan orang tua kamu, aku makin sadar, bahwa kita memang berbeda. Kita tidak pantas bersanding. Lebih baik kamu mencari orang lain yang sejajar dengan kedudukan kamu dan keluarga kamu. Aku gak pantes masuk dalam keluarga kamu." Rinta berusaha tegar meski air mata dan tangisannya tak tertahan lagi. Namun dia mati-matian terlihat kuat.
"Kamu ini bicara apa? Omong kosong macam apa sih ini?" Andro tak mengerti sama sekali, ucapan Rinta tak pelak seperti ribuan pisau yang menusuk hatinya berkali-kali.
"Lebih baik kita putus." Ucap Rinta dengan tegas.
"Kenapa? Apa salah aku sama kamu sampai kamu mau kita putus. Kalau aku memang punya salah, aku minta maaf, beritahu aku dimana letak kesalahan aku, aku akan perbaiki semuanya. Tapi tolong jangan pernah ucapkan kata putus. Karena aku gak mau." Andro meraih kedua tangan Rinta dan menggenggamnya dengan kuat, merapatkan ke depan dadanya.
"Kamu gak punya salah apapun. Kamu terlalu sempurna, kamu terlalu baik sampai-sampai rasanya aku muak." Rinta berteriak dan menarik tangan dalam genggaman Andro dengan kuat.
"Aku muak, aku lelah. Aku lelah sama diri aku sendiri, karena semakin hari aku semakin sadar bahwa kita tidak pantas untuk bersama."
Andro menggeleng, menyugar rambut di kepalanya dengan frustrasi. Air mata terus membanjir di pelupuknya yang memerah.
"Alasan kamu gak masuk akal. Gak masuk akal sama sekali. Aku gak bisa terima itu semua. Aku cinta sama kamu, dan kamu sendiri yang bilang kamu juga mencintai aku."
"Kamu mau tau alasan yang sebenarnya? Oke, dengerin aku baik-baik sekarang," ujar Rinta menatap dengan tajam pada Andromeda.