2. Piyama Kamprettt

1310 Words
UPIK Hari memang sudah menunjukkan pukul tiga sore. Namun aku masih belum memiliki keinginan untuk beranjak dari kursi kerja. Rasanya meja kerja lebih menarik untukku saat ini. Aku melihat ke sekeliling ruang dosen, hanya tersisa aku seorang. Dosen-dosen lain sudah tidak ada di bilik kerjanya masing-masing. Ada yang sudah pulang, ada juga yang masih sibuk di kelas perkuliahan. Saat tahu  ruangan sudah sepi dan tidak akan ada yang merasa terganggu oleh suara musik dari ponselku, aku sengaja menekan tombol volume up Spotify premium sambil melanjutkan pekerjaanku mengoreksi kuis yang dikerjakan oleh mahasiswa pagi tadi.  Aku melirik ke arah ponsel, tidak ada notifikasi apa pun. Bertepatan dengan itu seseorang masuk ke ruangan dosen. “Permisi, Bu. Saya mau nyapu.”  Aku menoleh dan melihat bagian kebersihan kampus berdiri di ambang dengan membawa perlengkapan kebersihannya. “Iya, Mas. Silakan,” jawabku, melempar senyum padanya. “Ibu mau dibuatkan teh?”  Aku melirik jam tangan tangan. “Nggak usah, deh, Mas. Ini udah mau selesai, kok. Makasih, ya,” ucapku.  Tak ingin menunda lagi, aku segera menyelesaikan sisa lembaran yang belum dikoreksi. Sebenarnya tidak ada yang membuatku buru-buru juga. Tapi aku ingin me time untuk hari ini saja.  Tepat pukul setengah lima sore pekerjaanku selesai juga. Aku lalu membereskan meja kerjaku sebelum benar-benar meninggalkan ruang dosen. Aku berjalan keluar, pamit kepada dosen yang baru kembali dari kelas perkuliahan dan melangkah santai menuju pintu keluar kampus.  Ponselku berdering saat aku sedang menapaki tangga menuju lantai dasar gedung ini. Aku menghentikan langkah sejenak untuk mengambil ponsel dari dalam tas dan mencari tahu siapa yang menghubungiku. Rupanya panggilan telepon dari Daniyal.  “Assalamualaikum,” salamku setelah menerima panggilan telepon.  Daniyal menjawab lalu menanyakan apakah aku sudah selesai mengajar atau belum. Dia menawarkan diri akan menjemputku jika aku bisa menunggu sekitar setengah jam. “Aku pulang sendiri aja,” jawabku, merasa tidak sanggup bila harus menunggu selama itu. “Ya udah  kamu hati-hati ya. Nanti malam aku mampir ke kosmu.” “Nggak usah dipaksa kalau memang sibuk.” “Aku yang mau, kok. Nggak ada sibuk apa-apa kalau mau ketemu kamu.”  “Gombal aja terus!”  Daniyal terbahak. “Kenapa? Gombalin pacar sendiri ini. Daripada gombalin pacar orang.” “Cie...yang ngarep bisa gombalin pacar orang.”  Kami lalu tidak melanjutkan obrolan absurd tadi karena layanan antar yang aku pesan secara daring sudah mengirimkan informasi kalau saat ini sedang menunggu di depan gerbang utama kampus.  Intensitas pertemuanku dengan Daniyal memang sudah tidak sesering beberapa bulan yang lalu saat pertama kali kami memutuskan untuk menjalin hubungan serius. Bukan jarak yang membuat intensitas pertemuan kami menurun. Namun pekerjaan dan kesibukan masing-masing yang membuat kami memutuskan untuk mengurangi waktu bertemu. Terlebih saat ini Daniyal sedang disibukkan dengan perusahaan start up yang baru dirintisnya. Perusahaan baru itu benar-benar membutuhkan perhatian khusus dan menuntut Daniyal untuk fokus pada visi dan misi perusahaan start up tersebut dibangun. Aku sebagai kekasih yang baik akan selalu mendukung apa pun yang dia lakukan selama itu bertujuan baik untuk banyak orang,  terutama untuk masa depannya sendiri.  ***  Ini yang aku suka dari Daniyal. Dia selalu bisa memegang omongannya. Kalau dia bilang mau datang ya dia akan datang. Kalau memang dia tidak bisa datang dia akan mengatakan tidak bisa dan menjelaskan alasannya. Kami berdua memang berkomitmen untuk selalu menjaga komunikasi. Karena memang salah satu kunci hubungan yang langgeng itu komunikasi. Aku dan Daniyal memiliki pengalaman pahit soal relationship. Jadi kami berdua berusaha supaya relationship yang sekarang tidak berakhir seperti relationship kami di masa yang lalu.  Saat aku menemui Daniyal di teras kamar kosku, dia sedang memangku laptop dengan tatapan serius. Perlahan aku menarik salah satu kursi lalu duduk di sampingnya.  “Ada masalah?” tanyaku hati-hati karena tak ingin mengejutkannya.  “Kemarin aplikasi dari start up ku sudah masuk dua puluh besar aplikasi paling populer di chart penjualan. Sekarang terjun bebas ke peringkat 37.”  “Udah didiskusikan sama tim kamu, kenapa penggunanya menurun?”  “Iya, besok aku bahas saat meeting pagi.”  “Kenapa nggak diselesaikan hari ini aja? Nggak ada salahnya lembur. Yang penting kerjaan cepat beres.”  “Aku nggak suka lembur. Selama masih ada hari esok, ngapain maksain hari ini.” “Itu namanya nunda pekerjaan.”  Daniyal menghela napas. “Nggak gitu juga, sayang. Aku nggak mau waktuku dikendalikan sama pekerjaan. Kamu kenapa jadi ngeributin hal kayak gini? Nggak seneng ya ketemu aku?” tanyanya penuh curiga.  “Yeee...nggak ada hubungannya. Terserah kamu ajalah. Gimana baiknya ngatur ritme pekerjaan sama waktu kamu untuk yang lainnya.”  Daniyal tersenyum lembut. Wajahnya yang tadi tampak kesal setelah mendengar argumenku, sekarang sudah kembali menyenangkan seperti biasanya.  “Makan yuk!” ajak Daniyal.  “Go food aja ya. Lagi males keluar.”  “Cari yang deket-deket sini.”  “Males ganti baju.”  “Udah pakek baju gitu aja.” Aku menilik penampilanku. Sebuah piyama motif pororo lengkap dengan jilbab instant warna biru muda. Aku mengangguk lalu beranjak dari kursi. Masuk kamar untuk mengambil dompet dan ponsel sekalian mengunci pintu kamar.  Daniyal melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Namun hingga lima belas menit berkendara dia tidak juga menghentikan laju mobil di tempat makan manapun. Sampai akhirnya aku pun bertanya. “Kamu mau makan apa?”  “Nggak tahu bingung.”  “Pengennya apa? Nanti aku carikan tempatnya.”  “AYCE enak nih.” (All You Can Eat) “Kamu makan sendiri. Aku udah kenyang.”  Daniyal mencibir. Dia lalu membelokkan mobilnya memasuki basemen sebuah pusat perbelanjaan.  “Eh, mau ngapain ke mall?”  “Mau makan.”  “Harus banget ya di mall? Emang nggak ada gitu outletnya yang di luar mall.” “Mumpung dilewatin.”  Aku berdecak lalu mendorong bahu Daniyal. Laki-laki itu malah tertawa penuh kemenangan melihat wajahku yang sudah sepenuhnya cemberut.  Daniyal menghentikan laju mobilnya di basemen. Aku menolak saat dia memintaku untuk keluar dari mobil. Dia sampai keluar mobil, berlari kecil mengitari mobil dan memintaku membuka pintu penumpang. “Kamu makan sendiri aja sana.” “Ngga asyik. Ayo, dong temenin bentar aja. “ “Masa masuk mall pakek baju ginian, sih? Kalau aku diusir satpam mall gimana?”  “Aku beli mall-nya.” Aku memukul bahunya kuat-kuat. Dia menyebalkan sekali, Tuhan. Daniyal terus merayuku. Akhirnya aku pun luluh dan mau keluar dari mobil dengan satu syarat menggunakan lift dari lantai dasar sampai ke lantai tempat restoran yang diinginkan Daniyal.  Sayangnya aku kurang beruntung karena lift sedang dalam perbaikan sehingga tidak bisa digunakan. Jadilah aku dan Daniyal menggunakan sarana eskalator. Sepanjang jalan Daniyal tak berhenti menahan senyumnya ketika dengan sengaja melihat penampilanku. Karena kesal aku enggan tanganku digenggam oleh Daniyal. Namun Daniyal terus mencari keberadaan tanganku untuk digenggamnya.  Saat makan pun Daniyal masih juga tidak berhenti menatapku sambil berusaha menahan tawanya. Aku terus membuang wajah setiap kali tatapan kami saling bertemu.  “Kenapa ngeliatin aku melulu, sih?” tanyaku kesal.  “Kamu cantik.” Aku menjulurkan lidah lalu melempar sendok es krim padanya. Laki-laki ini tertawa sepuasnya seolah menemukan objek yang membuat suasana hatinya menjadi sangat baik sehingga dia ingin tertawa lagi, lagi dan lagi.  “Steak-nya enak banget ya, sampai bikin mood kamu kayak jadi bagus banget?” tanyaku lagi, setelah Daniyal meminta ganti sendok es krimku pada pelayan restoran tempat kami sedang makan.  “Enak banget. Mau nyoba?” balas Daniyal dengan polosnya sambil menyodok garpu dan pisau khusus memotong daging steak padaku.  “Nggak usah. Nanti kamu kurang. Kelihatan lagi laper banget gitu.”  “Tauan aja aku laper.” Daniyal melanjutkan kembali menikmati steak di piringnya.  Aku tertawa geli. Meraih selembar tisu lalu membersihkan noda bumbu steak yang menempel di sudut bibir Daniyal.  “Makannya pelan-pelan aja. Nggak ada yang mau minta ini,” balasku puas, akhirnya berhasil membalas meledek Daniyal yang tidak hentinya meledekku selama beberapa menit terakhir. Daniyal memberengutkan wajah sebentar. Sungguh, wajahnya terlihat menggemaskan ketika menahan kesal seperti sekarang ini. Namun aku menahan diri untuk tidak mencubit pipinya di tempat umum. ~~~  ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD