1. Sudah Jadi Mantan

1823 Words
Pagi sekali Daniyal sudah datang ke kosanku dengan ekspresi sulit ditebak. Dia tersenyum tapi seolah berusaha keras menyembunyikan senyum penuh misterinya itu. "Ngapain kamu senyum-senyum sendiri gitu? Lagi bahagia kayaknya," tebakku asal. Daniyal mengangkat kedua bola matanya ke arah atas sambil mencebikkan bibirnya. "Emang kalau mau senyum mesti nunggu bahagia dulu? Klasik!" jawabnya. "Ya terus ada berita apa? Jam enam pagi kamu sudah nongol di tempat tinggal orang? Kebiasaan." Daniyal hanya melirikku sambil menggeleng lalu duduk santai di kursi teras. Dia hanya menengok sekilas ke dalam kamar. "Tehnya buat aku ya," ujarnya, menunjuk ke arah cangkir berisi teh yang baru saja aku seduh. Kepulan asapnya masih menari-nari di atas cangkir, menandakan bahwa teh tersebut masih dalam keadaan panas. "Libur hari ini?" tanya Daniyal menerima teh hangat dari tanganku. "Enggak. Kenapa?" "Aku lapar." "Emang semalam kamu nggak makan? Pagi-pagi udah lapar." "Tau nih. Sering lupa makan. Maagku mau kambuh deh." "Sibuk apa sampai lupa makan?" "Sibuk macem-macem. Demi kemakmuran nusa dan bangsa, terutama kamu," jawab Daniyal sambil menyeringai bodoh. "Cari asisten atau sekretaris makanya?" kelakarku. Daniyal makin memberengut. "Kamu aja yang jadi sekretarisku," jawabnya seraya menyomot pastel kering kiriman dari mandehku di Padang, yang tadi turut aku sajikan bersama teh hangat. "Aku antar kamu ke kampus hari ini ya," ujarnya dengan mulut penuh makanan. "Nggak perlu. Kelihatan nganggurnya kamu kalau dikit-dikit ngantar aku ke kampus." "Astaga...Di mana-mana perempuan itu bahagia diantar jemput kerja sama pacarnya. Kamu malah gini jawabannya." "Memang kamu pacarku?" "Oh iya ya. Aku kan bukan pacarmu, tapi calon suami kamu." "Apaan, ngaco!" jawabku. "Kok ngaco? Memang kamu nggak mau jadi istri aku?" Aku menyembunyikan senyumku, menahan malu. Paling bisa Daniyal menggodaku tanpa kompromi seperti ini. "Aku ada kelas masih jam sepuluan," ucapku, mengalihkan pembicaraan yang membuatku malu setengah mati itu. "Okey! Nggak masalah, aku bisa nunggu di sini. Tapi jawab dulu pertanyaanku," jawab Daniyal. Tidak menghiraukan apa yang ditanyakan oleh Daniyal, aku masuk kamar mengambil ponsel yang teronggok lemah di sisi ranjang. Aku keluar kamar sembari membaca chat yang masuk ke group yang aku ikuti. Ada sebuah chat dari Haikal di group UKM fotografi. Mengingatkan kalau hari ini ada pertemuan rutin membahas hasil aktivitas motret minggu lalu. "Chat-an sama siapa?" celetuk Daniyal tanpa memindai tatapannya dari layar Ipad. "Haikal," jawabku. Daniyal menoleh. Menatap malas padaku. Aku semakin berusaha menahan senyumku. "Kenapa ngelihatin aku sampai kayak gitu?" tanyaku pura-pura bodoh. "Nggak, biasa aja," jawab Daniyal beberapa saat kemudian. "Oh...biasa aja. Oke, nggak boleh cemburu tapi ya!" "Aku? Cemburu? Sama siapa?" tanya Daniyal dengan ekspresi kesal lalu memasukkan dua buah pastel kering sekaligus ke mulutnya. Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya yang lucu saat ini. Bisa juga dia bertingkah konyol seperti saat ini tanpa takut wajahnya terlihat jelek. "Awas aja, kalau sampai Haikal betingkah," gerutu Daniyal. Aku berdiri berkacak pinggang di hadapan Daniyal lalu mendekatkan wajahku tepat di depannya. "Kamu sendiri yang memperbolehkan aku berkomunikasi dengan Haikal asal masih sebatas urusan kampus," ujarku tegas. Daniyal membelalakkan kedua matanya seraya memundurkan wajahnya merasa syok dengan sikapku. "Tapi dia mantan kamu, salah gitu, aku nethink kalau pacarku masih ada komunikasi sama mantan pacarnya?" ucapnya kemudian. "Ya nggak salah juga. Cuma ya kalau kamu nethink sama aku terus, jatohnya malah jadi posesif kamunya, Daniyal. Aku nggak suka sama cowok posesif." Daniyal menutup mulutnya. Seolah tidak percaya dengan apa yang aku katakan beberapa saat yang lalu. "Aku kenapa jadi posesif gini ya?" "Mana kutahu?" jawabku, seraya menggeleng sampai beberapa kali, heran dengan tingkah konyol Daniyal sepagi ini. Daniyal menggeleng dan mendecakkan lidahnya beberapa kali. Seolah sedang ingin menyadarkan dirinya sendiri. "Kamu benar-benar membuatku jatuh cinta," ujarnya. Wajah Daniyal sendiri terlihat serius kali ini. "Kita sudah berkomitmen untuk nggak saling meragu dan nggak saling melepaskan. Kamu sudah lupa itu, Daniyal Khawas?" Daniyal mengangguk diiiringi senyum lembutnya. "Ayank! Buatkan sarapan dong, laper nih," cetusnya tiba-tiba. Gantian aku yang syok sembari menjawab, "Sekarang?" "Iyaaa. Masa iya laparnya sekarang sarapannya lebaran haji?" "Tadi cemburu, trus jadi posesif sekarang mendadak minta sarapan," ujarku, menatap heran pada Daniyal. "Katanya makan dengan perasaan lagi berbunga-bunga karena jatuh cinta itu bikin masakan apa pun jadi terasa enak," ujar Daniyal. "Teori dari mana tuh? Nggak ada mitos kayak gitu." "Diada-adain aja, sih." Aku menyambut dengan tawa jawaban yang dicetuskan oleh Daniyal. "Tapi kita harus ke pasar dulu, karena saat ini kulkasku sedang kosong. Cuma ada air putih doang," ujarku dengan tatapan bersalah. Daniyal mendesah kecewa lalu mengangguk pasrah. "Okey, aku antar. Aku kan calon suami siaga." Aku hanya tergelak merespon jawaban konyol dari Daniyal. Ada saja hal sederhana yang diperbuatnya tetapi menjadi alasanku untuk tertawa. Sekitar pukul tujuh, Daniyal menurunkanku di depan pintu utama pasar lalu menghilang entah ke mana. Kami janjian satu jam lagi di tempat parkir. Saat sedang memilih ikan segar di salah satu lapak, aku melihat sosok yang sudah sangat lama tidak bertemu. Mamanya Haikal sedang sibuk tawar menawar dengan penjual ikan laut di lapak tak jauh dari posisiku saat ini. "Assalamualaikum, tante," sapaku sopan. "Eh, Walaikumsalam. Siapa ya?" jawab Mamanya Haikal kikuk. Aku lantas menjelaskan siapa aku pada mamanya Haikal. Beliau hanya mengangguk beberapa kali setelah ingat tentang aku. "Tante sudah berapa hari di Surabaya?" tanyaku. "Hari ini hari keempat. Memangnya Haikal nggak cerita?" "Kata Mas Haikal, Tante stay di Kuala Lumpur." "Iya benar. Tapi tiba-tiba saya kepikiran Haikal. Jadi saya memutuskan untuk mengunjungi dia di Surabaya." "Oh gitu. Tante sedang menawar ikan apa?" "Udang. Mau masak buat Haikal. Bu Asih tiba-tiba minta cuti. Duh..., kan jadi saya deh yang harus repot-repot ke pasar gini," gerutu mamanya Haikal. Aku hanya tersenyum mendengar gerutuan demi gerutuan yang diucapkan oleh wanita itu. "Seingat saya Mas Haikal nggak suka udang deh." "Oya? Masa sih? Saya sebenarnya kurang paham makanan apa yang disuka atau nggak disukai oleh Haikal." Mamanya Haikal terlihat ragu dan akhirnya mengurungkan niatnya untuk memilih udang-udang segar yang berada di dalam baskom. "Mas Haikal nggak suka dengan kulit udang yang mengganggu langit-langit mulutnya dan kadang suka nyangkut di sela giginya," jelasku. "Kamu memang kekasih yang baik dan paling tepat untuk anak antik itu. Tapi kalau ikan dia suka, kan?" tanya mamanya Haikal. Aku mengangguk diiringi senyum kikuk lantas memilihkan jenis ikan yang disukai Haikal. Kemudian aku juga membantu menawar harga yang dipatok oleh penjual. Ketika transaksi pembayaran aku mempersilakan mamanya Haikal membayar sesuai harga yang telah disepakati. Awalnya aku takut mamanya Haikal akan marah, mencemooh atau merendahkanku karena tidak mau membayarkan belanjaannya. Dari pada aku dituduh cari muka dan sok kaya, jadi mending seperti ini saja apa adanya. Namun yang terjadi setelah mamanya Haikal membayar sendiri belanjaannya beliau malah mengucap terima kasih dan mengatakan jarang-jarang ada perempuan yang seperti aku. Katanya lagi kebanyakan para perempuan menuntut dirinya supaya disukai oleh ibu kekasihnya bahkan sampai ada yang rela tidak menjadi dirinya sendiri demi dicap sebagai calon menantu yang baik. Mamanya Haikal juga ingin aku menemaninya selama belanja di pasar. Beliau juga ingin melihat caranya aku berbelanja. Wanita ini belum tahu saja kalau hubunganku dengan Haikal sudah berakhir. "Kamu nggak canggung, ya, dengan suasana pasar? Sudah biasa?" "Iya Tante, dari kecil saya sudah terbiasa ke pasar." "Kalau masak, belajar dari siapa?" "Kalau bumbu-bumbu lengkap untuk masakan padang belajar dari mamak saya. Tapi kalau masakan Jawa sih diajari sama mbak-mbak kos waktu kuliah, ada juga yang otodidak, Tante." Mamanya Haikal mengangguk paham seraya mengulas senyum tipis di wajahnya. "Saya nggak nyangka kamu memahami Haikal lebih dari saya," ujarnya setelah berdeham pelan. "Tapi Tante ibu kandungnya." "Ya semoga saja Haikal tidak melupakan kenyataan itu," jawab mamanya Haikal malas. Beliau kemudian menatapku dari ujung rambut hingga kaki. "Meski kamu memahami Haikal, tapi saya masih sangsi kalau hubungan kalian masih bertahan sampai detik ini," ujarnya lagi. Jujur saja pernyataan mamanya Haikal itu sangat menggangguku."Maksud tante?" tanyaku, menuntut penjelasan dari pernyataannya tadi. "Lupakan! Pekerjaan kamu sekarang apa?" tanya Mamanya Haikal, mengalihkan pembahasan soal Haikal. "Dosen." "Waaah..., itu profesi yang mulia." "Terima kasih, tante. Tapi baru dosen masa percobaan kok." Mamanya Haikal hanya mengangguk ringan menanggapi jawabanku. "Jangan terlalu merendahkan diri seperti itu. Oya..., selama Haikal sibuk dengan tournya, kamu masih menjalin komunikasi dengan Haikal?" tiba-tiba mamanya Haikal bertanya seperti itu. Aku menggeleng sungkan dan merasa bersalah. "Saya nggak tahu cara menghubungi Mas Haikal. Pernah coba mengirim email ke website resmi tournya tapi nggak pernah dapat tanggapan." "Betul itu. Soalnya memang percuma berkomunikasi. Karena selama Haikal sibuk dengan tournya, dia benar-benar menjadi manusia anti sosial. Nggak mau menyentuh gadget atau handphone sekalipun. Dia pikir hidup di peradaban meghantropus erectus apa? Jaman serba digital kok memilih nggak pakai gadget." Aku kecoplosan menangggapi gerutuan dan keluhan mamanya Haikal soal kelakuan antik anak semata wayangnya itu. "Bukannya dari dulu Mas Haikal nggak pernah punya handphone ya, tante? Dia kan punya handphone waktu tinggal di Jember aja. Itupun untuk yang pertama kalinya." "Betul sekali lagi. Makanya saya kesulitan banget menemukan keberadaan anak kandung saya sendiri. Ajaran siapa yang ditiru anak itu? Gedenya bisa antik gitu kelakuannya. Padahal bapaknya nggak seperti itu." Tiba-tiba saja aku merasa telah menjadi seperti orang lain dan orang asing bagi Haikal. Nyatanya meski dulu aku berstatus sebagai kekasihnya, memahami kebiasaan, kesukaan dan apa yang tidak ia sukai, tapi aku belum banyak tahu soal kehidupan pribadi Haikal. Terlebih soal keluarganya. Dari dulu Haikal tidak pernah mau berbagi tentang kehidupan keluarganya. Berbanding terbalik dengan Daniyal yang dengan mudahnya menceritakan tentang dirinya, bahkan dia tidak malu untuk menceritakan kekacauan yang pernah terjadi di dalam keluarganya. Aku dan mamanya Haikal melanjutkan perbincangan sambil berbelanja bahan-bahan yang kami butuhkan untuk dapur masing-masing. Setelah selesai belanja aku menemani mamanya Haikal hingga ke depan pintu utama pasar. "Saya sudah dijemput. Tante mau diantar sekalian?" "Dijemput siapa? Haikal?" "Bukan. Teman saya." "Oh... teman kamu Franda bukan?" "Tante kenal Franda?" "Iya. Dia memperkenalkan diri saat Haikal mengunjungi saya di Kuala Lumpur. "Mas Haikal pernah mengunjungi tante di Kuala Lumpur?" "Tentu saja. Dalam satu tahun dia bisa dua sampai tiga kali berkunjung. Sekalinya stay juga cukup lama. Cuma ya gitu...susah sekali menghubungi dia. Suka tiba-tiba menghilang. Harus dia yang menghubungi duluan." "Lalu Mas Haikal pernah datang berdua dengan Franda ke Kuala Lumpur?" "Saya kurang paham soal itu. Mereka janjian atau hanya kebetulan ketemu. Oh...iya, terima kasih atas tawarannya. Tapi untuk saat ini nggak dulu. Saya sudah keburu pesan taksi online." Aku tidak memaksa lagi mamanya Haikal menolak tawaranku. Sebelum taksi yang akan membawa mamanya Haikal melaju dari hadapanku, beliau menahan tanganku dari balik kaca jendela taksi yang terbuka lebar. "Kita belum bertukar nomor handphone," ujarnya dengan senyum hangat. Mirip salah satu jenis senyum yang biasa terulas di wajah Haikal. Aku menerima ponsel yang disodorkan oleh mamanya Haikal lalu mengetikkan nomorku di layar ponsel dan menyimpannya di daftar kontak dengan namaku. Setelah itu aku melakukan panggilan ke nomor ponselku sendiri dengan ponsel mamanya Haikal. "Terima kasih ya sudah menemani saya belanja. Lain kali saya akan mentraktir kamu ngopi, sekalian ajak Haikal dan Franda juga," ujar mamanya Haikal lalu pamit dari hadapanku. Ada perasaan tidak nyaman di hatiku setelah kepergian mamanya Haikal. Namun aku tidak bisa menerka perasaan seperti apa itu. Hanya saja rasanya cukup mengganggu ketenangan dan membuatku jadi kepikiran Haikal. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD