Bab 1

794 Words
Namaku Andien. Aku kelas dua belas IPS. Sebenarnya, aku bisa saja masuk jurusan IPA. Aku ini sangat menyukai Kimia, Biologi, dan Fisika. Aku bahkan sebenarnya membenci pelajaran Ekonomi.                 Oke, tidak bisa dibilang benci juga, sih. Aku hanya kurang minat di pelajaran ekonomi karena gurunya kurang bersemangat saat mengajar. Malah sering sekali, beliau curhat tentang masa lalunya. Banyak murid yang senang, karena jadi tidak belajar. Tapi maaf, aku tidak senang. Aku jadi harus belajar di rumah lebih serius dan banyak, agar ujian tetap bisa menjawab soal yang belum pernah diajarkan oleh guru itu.                 Lalu, kenapa aku memilih masuk jurusan IPS—jurusan yang sebenarnya tidak aku sukai? Aku bahkan sempat takut, karena banyak murid yang sering mengejekku masuk ke jurusan IPS juga. Salah satunya adalah Rio. Serius, deh. Aku sangat ingin menghindari bocah itu dan menjauh dengan jarak tiga meter darinya.                 Namun, pada akhirnya aku terpaksa memilih jurusan IPS karena seseorang. Alasannya cuma satu. Aku ingin menghirup udara yang sama dengan Andra. Aku ingin satu kelas dengan lelaki pujaanku itu. Ayolah, aku sebenarnya sudah lelah menjadi pengagum rahasianya sejak masuk SMA. Aku terlalu takut untuk menyapa, dan yang bisa kulakukan hanya memandangnya dari jauh dan ikut tersenyum jika melihatnya tersenyum.                 Memang menyenangkan, pada awalnya. Namun, semakin lama, aku semakin merasa ingin mengenalnya lebih dekat. Aku jadi ingin mendengar suaranya lebih sering, dan mengobrol dengannya tentang apa pun. Tentang ekonomi juga boleh, kok. Apa saja, yan penting bersama Andra.                 Sebelumnya, dari kelas sepuluh aku hanya mengaguminya dari jauh karena aku tidak pernah sekelas dengan Andra. Tapi, di tahun ajaran baru ini, akhirnya aku bisa berada satu kelas dengannya. Sungguh menakjubkan!                 Dia adalah Andra Pradipta, lelaki paling tampan di sekolahku.                 Ya, aku memang tidak tahu malu. Mungkin kalian mengira, aku ini stalker gila jelek yang hanya menyukai lelaki tampan.                 Tidak, aku tidak seperti itu. Aku jatuh hati dengan Andra bukan karena wajahnya yang sempurna. But, because he treats me better than everyone else...                 Hanya dia yang bisa melihatku sambil tersenyum begitu tulus. Aku ingat pertama kali saat bertemu dengannya, saat itu turun hujan. Aku tidak membawa payung karena cuaca saat pagi hari sangat cerah, dan aku lupa cuaca di Indonesia sangat ti dak menentu. Saat jam pulang sekolah, hujan tiba-tiba turun.                 Aku merasa sangat s**l, tapi … saat itu aku melihatnya memakai jaket hitam dan memberikanku payung kuning yang begitu cerah. Ditambah, ia tersenyum sangat manis saat memberikan payungnya itu kepadaku. “Nih, pakai aja. Gue udah biasa hujan-hujanan, kok.”                 Saat itu aku terlalu terpesona, hingga tanganku bahkan tidak menerima payungnya. Ia malah mendengus geli, dan membuka payungnya. Sungguh, itu pemandangan yang begitu indah. “Gue duluan, ya. Pegang payungnya erat-erat, oke?”                 Andra pun pulang dengan hujan-hujanan setelah membuatku menggenggam payung yang ia berikan. Aku merasa sedikit bersalah. Kalau besok ia jadi sakit, bagaimana?                 Lihat? Dia berbeda dari orang-orang yang lain. Wajar jika aku menyukainya, kan? Dia begitu sempurna.                 Aku mungkin jelek. Tapi, aku juga punya hati. Aku berhak jatuh cinta pada siapa pun. Termasuk Andra.                 Namun, pasti akan ada orang-orang yang menghinaku karena menyukai lelaki setampan Andra. Aku sering membayangkannya, dan itu sangat mengerikan.                 “Dasar nggak tahu malu!”                 “Nggak pernah ngaca, ya?!”                 “Jangan deket-deket Andra!”                 “Lo lebih pantes jadi pembantunya, dasar!”                 Saking seringnya aku membayangkan semua cacian yang akan aku dapat jika semua tahu aku menyukai Andra, terkadang aku jadi parno sendiri. Makanya aku sering menyendiri setiap jam istirahat. Aku terlalu takut menghadapi mereka semua.                 Aku hanya berharap, tidak akan ada yang tahu soal perasaanku sampai kapan pun. Termasuk Andra. Aku takut melihat reaksinya. Akankah dia juga mengejekku? Sebaik apa pun Andra, aku rasa ia tidak akan bisa menyukaiku. Aku bukanlah tipe orang yang mudah disukai, pokoknya tidak menarik. Namun, bukan berarti aku tidak ingin berusaha mendekati Andra, ya. Aku mau! Sangat mau!                 Aku kembali menampar pipiku sendiri. Sadar, Andien. Untuk saat ini, aku hanya harus fokus untuk mengajak Andra bicara. Urusan diterima atau tidak, mari kita pikirkan nanti-nanti saja. Oke? Semangat!                 “Pagi.”                 Aku terkesiap saat mendengar suara Andra menyapaku. Apa aku tidak mimpi? Ia benar-benar menyapaku? Sungguh?!                 Saat aku menoleh, ia sudah duduk di kursi paling belakang di dekat jendela. Ia akhirnya balik menatapku. “Sori, Ndra. Tadi kamu bilang apa, ya?”                 Andra sedikit memiringkan kepalanya. “Apa, ya? Aduh, nggak ada siaran ulang.”                 “Masa gitu?” Aku sedikit kecewa, karena ia malah bercanda.                 “Makanya, jangan bengong.” Andra malah tertawa. “Oke, gue ulang, deh.” Aku seketika tersenyum, lalu kembali memasang wajah ‘jaim’.                 “Pagi.” Andra menyapa dengan lembut sambil tersenyum sopan. Rasanya ingin aku abadikan  dengan memotretnya, tapi tentu saja tidak bisa.                 “Pa-pagi juga. Kita akhirnya sekelas, mohon bantuannya, ya.” Aku mengangguk canggung.                 “Yep. Gue juga mohon bantuannya, ya!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD