Bab 2

639 Words
Andra memang selalu ramah pada siapa pun. Perempuan manapun, selalu ia lemparkan senyum terbaiknya. Pada awalnya, aku pikir itu hal yang bagus. Menjadi ramah adalah hal yang bagus. Tapi, lama-lama aku merasa kesal karena ia ternyata ramah pada semua orang, bukan hanya ke aku. Padahal, aku selalu menghitung setiap ia tersenyum padaku.                 Pertama, waktu dia memberikanku payung saat kelas sepuluh.                 Dan yang kedua, kemarin saat dia menyapaku di pagi hari. Kami sudah satu kelas, ingat?                 Dia manis sekali. Dia selalu menjawab sapaanku dengan senyum yang begitu menawan. Pagi ini, aku sengaja datang jam enam pagi, agar bisa duluan menyapa Andra. Dia selalu datang jam enam lebih sepuluh menit. Bagaimana aku bisa tahu? Aku tidak sengaja mendengar hal itu saat ia asyik mengobrol dengan teman sebangkunya.                 Jadi, hari ini aku pura-pura sibuk membereskan meja guru, saat Andra masuk kelas dengan rambut yang masih basah. Astaga, apa dia tidak takut masuk angin?                 "Pa-pagi, Andra," sapaku pelan.                 "Hey, pagi. Lo piket? Rajin amat." Andra terkekeh pelan. Bedanya dia dengan lelaki lain adalah ... dia selalu mau menatapku. Kebanyakan teman satu kelasku tidak ada yang mau menatapku. Mereka bilang, mata mereka bisa rusak jika menatapku terlalu lama.                 "Ah, nggak. Aku cuma iseng aja." Aku meringis. "Oh iya, kenapa rambut kamu nggak dikeringin?"                 Andra langsung memegang rambutnya. "Oh, ini. Iya, gue buru-buru soalnya bokap udah bawel banget mau berangkat kerja."                 "Kenapa kamu ke sekolah nggak naik motor aja?" Setahuku, Andra termasuk di deretan murid-murid yang sangat mampu. Ayahnya adalah bos di sebuah kantor penerbit terkenal.                 "Nggak, ah. Kalo pagi-pagi tuh gue—eh, aku suka ngantuk. Enakan bareng bokap, jadi bisa tidur lagi pas di mobil." Andra tertawa, lalu berjalan ke mejanya yang berada di barisan belakang. Dia bahkan mengubah gaya bicaranya untuk menyesuaikan diri denganku. Manis sekali, kan?                 "Andra, kamu udah ngerjain PR Sosiologi?" Aku berusaha basa-basi.  Aku yakin, Andra pasti sudah mengerjakan PR. Karena menurut berita yang kudengar, Andra selalu meraih peringkat tiga besar. Hebat sekali, kan? Sudah tampan, pintar lagi. Benar-benar idaman semua wanita.                 Namun, ternyata respon yang kudapat sangatlah berbeda dari perkiraanku. Andra mengernyit. "Mampus. Gue lupa...."                 Lupa? Kasihan sekali. Kalau dia nanti dihukum, bisa gawat. Aku pun akhirnya tersenyum. "Kamu bisa lihat PR aku, kalau kamu mau."                 "Serius?" Andra memiringkan kepalanya. "Kok baik? Lo suka ya sama gue?"                 Aku hampir saja menyenggol vas bunga yang ada di meja guru, saking terkejutnya mendengar pertanyaan Andra. Apa dia peramal? Cenayang? Bagaimana bisa dia tahu?! Padahal aku sudah berusaha untuk bersikap sewajarnya, lho!                 "A-apa? Suka?" tanyaku pura-pura bodoh. Bagus, Andien. Aktingmu sangat natural.                 Tapi, Andra tiba-tiba tertawa. "Nggak usah dijawab. Aku cuma bercanda, kok."                 Aku terkekeh hambar. "Oh. Jadi? Mau lihat PR aku? Sebelum aku berubah pikiran, nih."                 Andra tiba-tiba tersenyum miring, membuatku cukup merinding. "Serius gapapa?"                 Aku mengangguk. "Gapapa."                 "Oke, makasih!" Andra kembali tersenyum lebar. "Mana buku lo—eh, kamu? Sorry, ya. Aku udah terlalu biasa ngomong lo-gue.” Aku berjalan ke mejaku, lalu mengeluarkan buku PR Sosiologi dari dalam tas. “Gapapa, mau kamu ngomong lo-gue, juga nggak masalah.”                 "Gapapa, aku ikutin cara bicara kamu aja. By the way, kamu pinter, kan?"                 "Hah?" Aku mengernyit. Kenapa Andra bertanya begitu? Apa dia meragukan aku?                 "Aku cuma penasaran. Soalnya kamu kelihatannya pinter, sih." Bisa tidak, Andra berhenti tersenyum? Aku takut jantungku semakin lemah melihatnya.                 "Oh, iya. Lumayan." Saat kenaikan kelas kemarin, aku ranking lima. Lumayan sekali, kan?                 "Good."                 Aku memberikan buku tulisku. "Nih, Andra."                 "Oh, nama kamu Andien Putri Cahya. Aku baru tahu nama kamu." Andra tersenyum saat melihat nama di buku tulisku.                 Aku seharusnya senang, karena melihatnya tersenyum.                 Tapi, kenapa aku malah kecewa?                 “Ah, iya. Tapi, panggil Andien aja.” Orang-orang malah jarang memanggil namaku. Mereka lebih sering memanggilku 'Si Cewek aneh'. Bahkan sampah.                 “Oke, Andien aja.”                 Astaga, Andra semakin terlihat manis saat menyebut namaku. [] Sekarang, tidak ada yang berani menyebutku aneh lagi... Makasih, Andra. Makasih banget...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD