BAB 2

1713 Words
Kailen nampak sibuk mengerjakan laporan. Sesekali dia mengalihkan perhatiannya saat menyantap makanan siap saji. Setelah pulang dari kantor tepat pukul tujuh malam, Kailen tidak langsung beristirahat. Dia hanya ingin pekerjaannya cepat selesai. Waktu berjalan sangat cepat hingga membuat Kailen tidak sadar sudah hampir tengah malam. Dia bangkit berdiri, lalu tangannya meletakkan pena yang menjadi teman setia. Dia menggeliat sembari menguap. "Akhirnya..." Kailen mendesah lega. Dia tersenyum sekilas lalu beranjak menuju kamar mandi. Sudah dari tiga hari lalu Kailen jarang mandi malam. Selesai dari rutinitas, dia seolah tidak berhenti kerja. Sehingga untuk mandi pun membuatnya merasa enggan. Setelah mencuci wajah, Kailen masuk ke dalam kamar. Dia mengatur alarm tepat pukul empat pagi. Dirinya tidak ingin terlambat ataupun melakukan kesalahan lagi. "Ya Tuhan, berikanlah kelancaran untuk semua urusanku," gumam Kailen. Dia menarik napasnya panjang sebelum menutup kedua matanya. Belum sampai larut ke alam mimpi, Kailen dikejutkan oleh dering ponsel. Dengan malas Kailen bangkit duduk lalu meraih ponsel. Dia mengejapkan matanya beberapa kali melihat nama sang penelepon. "Mr. Miller?!" Kailen mengangkat telepon itu dengan ragu. "Selamat malam, Mr. Miller," sapa Kailen. "Cepat keluar." "Iya?" Kailen tertegun mendengar perintah Adam. "Cepat keluar." Perintah yang sama terdengar dua kali. Namun Kailen tak langsung melaksanakannya. Dia masih duduk dengan sejuta kebingungan. Ini sudah larut malam dan untuk apa bosnya menyuruh untuk keluar? Suara nada sambungan terputus membuat Kailen sadar jika Adam memutuskan teleponnya sepihak. Dengan perasaan ragu, Kailen pun bangkit dari atas ranjang. Dia berjalan menuju jendela untuk mengintip keluar. "Itu mobil Mr. Miller," gumam Kailen melihat mobil hitam yang terparkir di depan gedung rumah flat tempat dirinya tinggal. Kening Kailen mengernyit melihat Adam keluar dan berdiri di samping mobil. Kailen berlari keluar. Suara langkahnya mengisi setiap sudut, namun diabaikannya. Dia tidak ingin mendapatkan omelan dari bosnya meskipun di malam hari. Beberapa menit kemudian Kailen sudah berhasil keluar dari gedung. Dia masih berlari menghampiri Adam. "Selamat malam, Sir," sapa Kailen dengan napas terengah-engah. Tidak lupa dia menundukkan kepala sejenak memberi salam. "Apa ada sesuatu, Sir?" tanya Kailen bingung. Pandangannya mengawasi sekitar. "Masuk," Adam memerintah singkat. Kailen membukakan pintu untuk Adam. Dia memutari mobil dan ikut masuk ke dalam. Dirinya duduk tepat di kursi pengemudi. Kailen menoleh ke kursi belakang sekilas. Kosong. Tidak ada siapapun kecuali dirinya dan Adam. "Sir—" "Nyalakan mobilnya," perintah Adam memotong ucapan Kailen. "Iya? Ta-tapi saya—" "Jangan katakan padaku kalau kau tidak bisa menyetir mobil." "Maaf, Sir," gumam Kailen pelan dan mulai menyalakan mesin mobilnya. Sepanjang jalan Kailen merasa bingung. Dia tidak tahu maksud Adam memanggilnya di waktu kedua matanya harus beristirahat. Karena mengantuk, Kailen tidak berhenti menguap. Sesekali dia mengucek matanya sembari memperhatikan keadaan jalanan kota yang masih terlihat ramai. "Kita akan ke mana, Sir?" tanya Kailen merasa Adam belum mengatakan arah tujuan mereka. "Ikuti saja mapnya," jawab Adam. Pandangannya seolah enggan menatap Kailen. Bola mata hitam pekat itu nampak asyik memperhatikan keadaan di luar. Kailen menghela napas pelan. Dia mencoba untuk tidak bersuara dalam helaannya. Bibirnya dikulum dan sesekali menggigitnya pelan untuk menghilangkan rasa kantuk. Dia benar-benar butuh istirahat. Kailen hampir menabrak mobil di depannya saat berhenti di lampu merah. Hingga bentakan Adam dengan mudah memasuki gendang telinga. Kailen bergeming. Dia tidak bisa menahan kantuknya lebih lama. Rasa lelah membuat Kailen ingin cepat tidur. Kailen mengeratkan genggamannya pada stir. Dia melirik sekilas pada Adam. Dirinya benar-benar kesal pada pria itu. Ingin sekali dia mengeluarkan u*****n, namun selalu berakhir dengan helaan napas. "Berhenti." Perintah yang tiba-tiba itu sontak membuat Kailen reflek menginjak rem mobil. "Aku menyuruhmu untuk memperhatikan map. Lihat mapnya," kritik Adam membuat Kailen menatap layar map lalu memutar arah mobil. Kailen membelokkan mobilnya ke arah kiri. Melewati jalan lurus yang tidak seramai jalan utama. Hingga akhirnya dia menemukan perempatan jalan dan mengambil jalan ke kiri untuk kedua kali. *** Mobil itu terparkir di sebuah halaman yang cukup luas. Kailen dan Adam masuk ke dalam rumah. Kailen menghentikan langkahnya. Dia memperhatikan seisi rumah yang nampak elegan dan menarik. Semuanya didominasi warna putih. Dan Kailen menyukai warna itu. "Ms. Kai." Kailen tersentak mendengar sapaan asing itu. Dia menoleh ke arah Adam yang sudah duduk bersilang kaki di atas sofa. Dengan ragu Kailen mendekat ke arah Adam. "Duduk," perintah Adam sembari melempar tatapannya ke arah sofa yang berseberangan dengannya. Kailen duduk di sofa. Dia memperhatikan Adam dan setumpuk buku di atas meja bergantian. Kailen mengernyit sejenak. Tunggu, apakah dirinya diperintahkan lembur sepanjang malam?! "Itu adalah buku-buku dan berkas yang menjadi PR-mu. Pelajari semuanya dengan cepat. Jangan latih otakmu seperti siput." Kailen hanya diam. Dia tidak terkejut mendengar ucapan kasar Adam. Karena memang Adam selalu mengucapkan kata-kata yang setiap saatnya membuat Kailen mengharuskan mempunyai banyak rasa sabar. "Apa Anda menyuruh saya untuk ikut kemari demi menyerahkan buku-buku ini, Sir?" tanya Kailen. "Tidak," jawab Adam diiringi seringaian yang belum pernah Kailen lihat. Tangan Adam meraih sebuah buku catatan dengan sampul berwarna coklat. Dia melemparkan buku itu ke arah Kailen dan langsung ditangkap olehnya. "Kau harus mengerjakan apa yang ada di dalam buku itu. Kau tahu bukan, Sekretarisku sudah berhenti bekerja dan kau yang menggantikannya." Tanpa menunggu lama, Kailen segera membuka buku catatan itu. Di sana tertulis banyak kegiatan bosnya mulai dari pagi hingga malam. Bahkan di sana pun tertulis jika Sekretaris lamanya selalu menyiapkan semua keperluan bosnya, mulai dari pakaian kerja, perlengkapan kerja hingga masalah pribadi. Kailen membalikkan kertas, melihat halaman selanjutnya. Dan kegiatan itu harus dilakukan sekretaris berulang-ulang. Satu hal yang dapat Kailen pastikan, dia akan selalu menghabiskan waktu istirahatnya yang berharga bersama bos arogan. "Ini... Maksud Anda ini..." "Anggap saja itu hadiah kecil dariku. Aku tidak bisa menyuruhmu pergi ke Swiss untuk mengganggu bulan madu mantan sekretarisku hanya untuk menanyakan semua hal yang harus kau lakukan sebagai sekretaris baruku." Kailen hanya diam. Dia tidak berhenti membayangkan hari-hari buruk yang akan terjadi mulai besok. "Jangan terharu dengan hadiahku." Ucapan Adam justru terdengar menyindir. Merasa senang dengan pemikirannya untuk terus membuat Kailen bekerja. Sehingga wanita itu akan merasa lelah menghadapi dirinya dan memilih mengundurkan diri. Toh Adam tidak ingin Kailen yang menjadi sekretaris barunya. *** "Hidupmu akan selalu berada dalam penyesalan." Kening Adam berkerut. Keringat dingin membasahi wajahnya. Tubuh dalam selimut itu bergerak gusar. Hingga akhirnya kedua matanya terbuka lebar. Napasnya tersengal meskipun dirinya sedang berusaha mengontrol. Tapi tak membuatnya berhasil sedikit pun. Dia bangkit dari atas ranjang. Langkahnya tertuntun keluar kamar. Adam berhenti di depan lemari es. Dia membuka lemari es tersebut lalu mengambil sebotol air mineral. Setelah menutup pintu lemari es, Adam meminum sebotol air mineral hingga tak tersisa. Kini napasnya sudah teratur. Detak jantungnya pun kembali normal. Adam menarik napas panjang mengingat mimpi yang di alaminya. Braakk Adam tersentak. Dia menoleh ke belakang saat mendengar suara benda jatuh. Merasa penasaran, dirinya pun berjalan menuju ruang depan. Adam mengernyit saat melihat seorang wanita tertidur di ruang tamu. Dengan beralaskan setumpuk buku, Kailen nampak tertidur pulas. Langkah Adam berhenti tepat di samping Kailen. Dia membungkuk untuk mengambil buku yang tergeletak di atas karpet. Adam melempar buku tebal itu di atas meja hingga membuat Kailen terbangun. Sepasang mata yang beberapa detik lalu masih terpejam rapat, kini terbuka lebar. Masih berusaha mengumpulkan nyawa, Kailen bangkit berdiri di hadapan Adam. "Apa yang kau lakukan? Siapa yang menyuruhmu tidur di sini?" tanya Adam dengan nada mengintimidasi. Dia melirik sekilas pada buku catatan yang menjadi sandaran kepala Kailen. "Aku menyuruhmu untuk mempelajari buku-buku itu bukan menandainya dengan air liurmu." "Maafkan saya, Sir. Tapi saya sangat mengantuk. Lagipula tidak mungkin saya harus bekerja dua puluh empat jam." "Siapa yang melakukan itu padamu, heh? Aku memberimu buku-buku itu untuk kau pelajari. Itu semua justru akan membantu pekerjaanmu. Demi kebaikanmu. Aku tidak pernah menyuruhmu bekerja dua puluh empat jam." Rasa kantuk Kailen bercampur dengan perasaan kesal. Dia mengulum bibirnya untuk menahan diri berbicara. Karena percuma saja berbicara dengan Adam, pria itu selalu bisa membalas ucapannya. Kailen masih menundukkan wajahnya, merasa enggan bertatapan langsung dengan Adam. Dia hanya menatap lantai, sesekali menatap sepasang kaki pria itu yang kini memakai sandal. "Bereskan meja ini dan pindah ke kamar," ucap Adam setelah beberapa saat diam memandangi Kailen yang menundukkan kepala. "Iya?" Kailen mendongakkan kepala. Dia melebarkan matanya menatap Adam. Kalimat yang diucapkan bosnya membuat Kailen tidak paham. "Dasar tuli. Bereskan mejanya dan masuk ke kamar," Adam mengernyitkan keningnya menyadari tatapan cemas Kailen, "Tunggu. Apa kau berpikir untuk tidur di kamarku?" "Apa?" Wajah Kailen memerah. Kalimat Adam memang membuat Kailen mengartikan hal itu. "Wajahmu memerah," ledek Adam lalu tertawa, "Jangan berharap terlalu jauh. Kau bukan tipeku sama sekali. Cepat bereskan meja dan masuk ke kamar," Adam menunjuk ke lantai atas. "Kamar sisi kanan," tuturnya namun masih terkekeh geli. Dirinya berlalu dari hadapan Kailen sedang tawanya masih terdengar jelas meledek sekretarisnya. Kailen hanya diam dengan pandangan tertuju pada punggung Adam yang semakin menjauh. Dia merasa sangat malu karena bereaksi berlebihan. Terlebih wajahnya memerah malu hanya karena berpikir Adam mengajaknya ke kamar. Namun nada cemooh Adam juga memukul dirinya hingga membuat Kailen menjadi patung. Tanpa menunggu lama, Kailen segera mengemasi buku-bukunya. Setelah menatanya dengan rapi, dia bergegas menaiki anak tangga menuju lantai dua. Sesekali Kailen memperhatikan seisi apartemen sembari mengabsen setiap anak tangga. Sampai akhirnya dia berada di lantai dua. Kailen memperhatikan sekitar. Dia berjalan menuju sisi kanan. Sesekali Kailen menoleh ke belakang dan kanan kirinya. Dia melihat sebuah pintu yang tertutup rapat. Kailen segera membuka pintu tersebut lalu masuk ke dalam. Kailen diam sejenak. Dia memperhatikan kamar yang nampak minimalis tersebut. Perlahan Kailen menutup pintu lalu mendekat ke arah ranjang. Dia duduk di tepi ranjang sedang kedua tangannya mengelus lembut permukaan selimut. "Kalau aku tidur sekarang, jam berapa aku bangun?" gumamnya pelan. Dia merasa cemas jika tidur di kamar itu. Terlebih ranjangnya terasa empuk dan nyaman. Saat Kailen meluruskan kedua kakinya di atas ranjang. Dia tertegun mendengar pintu kamarnya terketuk dari luar. Kailen segera bangkit dan berjalan cepat ke arah pintu lalu membukanya. "Iya, Sir?" "Jangan lupa bangunkan aku jam lima pagi. Dan kau juga harus menyiapkan sarapan untukku." "Baik, Sir," jawab Kailen pasrah. Kailen mendesah kasar saat Adam sudah kembali ke kamarnya. Dia segera menutup pintu lalu duduk di sofa bed dalam kamar tersebut. Pandangan Kailen tertuju pada jam dinding. Bola matanya terpaku oleh jarum jam yang terus berputar. "Sudah jam dua pagi," gumamnya dengan nada sedih. Kedua tangan Kailen menggaruk kasar kepalanya tanpa mempedulikan helaian rambut menjadi berantakan. "Dasar bos psycho. Kejam. Arogan. Menyebalkan. Ya Tuhaaannn..." sambungnya lalu menghentak-hentakkan kedua kaki di atas lantai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD