Mawar Tiga Juta Dolar

1045 Words
Perjalanan itu memakan dua jam lima belas menit waktu malam mereka dengan tujuan sebuah hotel bintang lima di Ulu Watu yang sering mereka kunjungi dua tahun belakangan pada jam makan malam. Hotel itu memiliki restoran dan bar rooftop pada ketinggian lima puluh tujuh meter menghadap samudera hindia. Saat matahari menua dan malam menampakkan wajahnya, bintang-bintang di langit berkerlip amat terang dan jauh. Tidak seperti kota mereka yang langitnya sering dikunjungi mendung dan udaranya bergerimis. Seorang chef kenamaan asal negeri Jiran didatangkan khusus untuk meracik menu-menu menggiurkan di dapur restoran. Para pengunjung akan bisa langsung melihat keahlian tangannya mengolah makanan dengan bantuan empat chef muda.Terkadang, ada pelajar atau mahasiswa perhotelan magang yang membantu mereka menciptakan menu. Ada tiga genre musik yang dimainkan di sana sepanjang malam. Saat menjelang matahari terbenam, hentakan musik DJ menemani para pengunjung. Selang satu jam kemudian berganti dengan homeband, lalu saat malam makin tua, para pengunjung bersantai dan telinga mereka dimanjakan dengan musik-musik instrumen. Entah bagaimana, alunan musik-musik itu menciptakan momen yang khas dan sempurna. Pendar lampu keemasan menghangatkan suasana malam di tempat itu. Alamanda sangat menyukainya. Dan saaat mengetahui Bobi berencana menarik hotel itu dibawah naungan perusahaannya demi Alamanda, gadis itu makin gembira. Banyak wisatawan asing maupun lokal rela mengantre reservasi meja selama berhari-berhari. Dan beberapa turis fanatik yang telah berulang-ulang liburan musim panas ke Bali, mengatakan tidak akan pergi ke restoran mana pun selain restoran itu. Menu dan tata letak ruangnya menimbulkan kesan mendalam dan membuat ketagihan. Saat tiba di lobi hotel, pasangan itu disambut oleh penjaga lift, seorang wanita muda dengan setelan blazer dan rok hitam membalut tubuhnya. Ada kamboja putih terselip di telinga kanannya. Wangi melati yang lembut dan segar minyak lemon menguar dari tubuhnya. Wanita itu merunduk, tangan kanannya menunjuk lift, mempersilakan pasangan muda itu masuk dan menjelaskan pada mereka bahwa lift itu akan mengangkut mereka menuju restoran di lantai lima hotel. Mereka makan dengan khusyuk. Rasa lapar itu telah mereka simpan jauh sebelum tiba di Ulu Watu. Selama perjalanan, Bobi memaksa Alamanda makan tiga atau empat suap camilan tinggi karbo, tetapi gadis itu menolak. Saking lahapnya, gadis itu tak sadar hanya ada mereka berdua. Tidak ada pengunjung lain. Bobi telah lama menunggu reaksi gadis itu. Namun kekasihnya memiliki respons sangat lamban dengan lingkungann sekitar. Kecuali bila itu tentang bunga. Bunga. Dan Bunga. Biasanya pasangan itu tiba di sana menjelang matahari terbenam. Namun hari itu Alamanda disibukkan dengan hal-hal pelik menyangkut pelanggannya. Ia menelpon Bobi dan bilang tak akan bisa menemaninya makan malam ke Ulu Watu. Seorang pelanggan, katanya, baru saja datang dan membawa satu pot aglonema khanza dewasa yang tangkai daunnya patah tiga. Dan orang tersebut merasa dirugikan kendati tangkai itu patah setelah tanaman itu mendarat di rumahnya. Ia minta agar aglonema khanzanya yang telah rusak diganti dengan aglonema bidadari induk yang harganya lebih mahal. Perempuan itu begitu keras kepala. Spontan Alamanda mengamuk lalu tidak lama kemudian muncul keributan kecil di dalam toko. Keributan mereda setelah si suami pelanggan itu datang untuk menjemputnya. Alamanda tidak jadi kehilangan satu pot induk aglonema bidadari. Namun tubuhnya panas dingin setelah adu mulut dengan perempuan itu. “Tidak bisa batal,” sahut Bobi dari seberang sana, menimpali keluhan Alamanda. Lalu ia bertanya apakah ia baik-baik saja sekarang. Sebab makan malam itu tak mungkin dibatalkan. “Aku sudah reservasi meja.” Alamanda menyahut, “Bukankah kau sering membatalkan reservasi?” Saat sedang ada kesibukan di luar jadwal kendati di akhir pekan, Bobi pasti akan membatalkan reservasi makan malam wajib bersama Alamanda. Dan ia mengobati kekecewaan Alamanda dengan janji akan membawa gadis itu makan siang keesokan hari. Namun tetap saja, waktu makan siang itu tak bisa menggantikan kesyahduan malam; kerlap-kerlip bintang di langit dan kesiur angin beraroma garam yang membuat tubuh mereka makin merapat. “Tidak bisa dibatalkan,” ulang Bobi tegas. “Baiklah,” Alamanda mengiyakan tanpa mengajukan pertanyaan atau bantahan. Ia terlalu lelah untuk berdebat lagi dengan seseorang sore itu. Apalagi orang itu Bobi. Dua pramusaji datang merapikan meja setelah pasangan itu selesai dengan hidangan inti. Berselang lima menit kemudian, mereka kembali datang dengan dua nampan berisi loyang bulat besar yang dilengkapi tutup perak: sebuah hidangan penutup. Dua pelayan itu membuat gerakan menunduk bersamaan lalu meninggalkan meja Bobi dan Alamanda. Segera setelah itu Alamanda menghidu aroma lembut dan segar yang menenangkan. Bobi menatapnya dalam-dalam, sementara gadis itu disibukkan dengan aroma yang muncul dari dalam loyang. Alamanda memiliki indra penciuman yang amat peka sebab sedari kecil bersanding dengan berbagai macam bau bebungaan. Dan ia membuka loyang itu dengan gerak tergesa yang nyaris menjatuhkan gelas anggur jika saja Bobi tak lekas menahan laju gelas itu. Mata Alamanda berbinar. Lalu ia termangu. Ada jeda yang cukup panjang sehingga musik instrumen yang dimainkan pemusik dari panggung restoran itu mendominasi malam mereka, bersatu dengan suara debur ombak yang samar di bawah sana. Selesai dengan ketakjubannya, Alamanda, dengan gerak lembut--berbalik 360 derajat dari gerakan saat ia akan membuka tutup loyang—menyentuh isi dalam loyang itu; sebuah buket berwarna keemasan dengan sepuluh tangkai mawar segar. Aroma sepuluh tangkai mawar itu makin kuat menekan pernapasannya. Lembut. Anggun. Langka. Berwibawa. Lalu ia memekik: “Juliet Rose!” Bobi tergelak. Roman mukanya menampilkan kejemawaan yang tak tertandingi. “Juliet Rose! Oh, Juliet rose!” Bobi makin terpingkal. Alamanda menyentuh kelopak bunga dengan warna buah persik itu. Ia tak menyangka, mawar hibrida yang hanya akan mekar dengan bantuan badai itu kini ada di depan matanya. Tak tanggung-tanggung. Sepuluh tangkai! Sepuluh tangkai! “Kau melupakan loyang satunya, Almond,” tegur Bobi tak sabar melihat Alamanda yang masih terbuai oleh bunga yang mendapat julukan mawar tiga juta dolar itu. Alamanda lantas membuka tutup loyang kecil di atas meja itu: sebuah cincin emas putih dengan mata berlian mungil. Alamanda menatap Bobi, ia menitikkan air mata. Ia menoleh ke sekililing dan ia kemudian sadar apa yang sedang terjadi. Bobi menyewa restoran ini. Bukan mereservasi satu meja, tapi semua meja dan balkonnya.Tepat saat itu, ada ledakan kecil dan di langit muncul kembang api bertuliskan marry me. Kerlap-kerlipnya memukau bersanding dengan cahaya bintang dan warna bulan yang keperakan. Alamanda menangis makin keras. Ia membuat Bobi kebingungan. Lelaki itu bangkit menghampirinya dan memberondongnya dengan rentetan pertanyaan. Saat isaknya agak reda, Alamanda berkata: “Berapa harga mawar ini sekarang, Bob? Aku ingin punya bibitnya.” Bobi tertegun sebelum akhirnya sebuah jitakan ia layangkan di dahi gadis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD