Firasat dan Seorang Pemuda yang Datang Mencari Bunga

1035 Words
Semalam hujan deras mengguyur kota kecil Alamanda. Pagi itu mendung tebal masih menggelayut dan jatuh sebagai hujan rintik-rintik. Pukul sepuluh namun dingin merambat ke seluruh jenis benda dan bunga-bunga, seperti dingin pada waktu subuh. Kota itu telah terbiasa oleh hawa sejuk. Bahkan menjadi kota yang paling dingin di Bali sebab terletak di dataran tinggi. Namun pagi itu keterlaluan dingin, boleh jadi yang paling dingin selama musim penghujan tahun ini. Salah satu cabang dahan angsana di seberang toko bunga Alamanda patah, menyebabkan kemacetan panjang pagi itu dan orang ramai bergotong royong menyingkirkannya. Saat itu penghujung November, namun bunganya terbilang lebat. Berguguran. Dan wanginya semerbak. Padahal ia tergolong pohon yang berbunga di musim kemarau. Alamanda memiliki dua di halaman rumahnya sebagai peneduh bunga-bunga yang tak tahan sinar matahari langsung. Usia tanaman itu lima tahun. Ia menanam pohon berbunga kuning kecil-kecil dengan penampilan serupa lonceng itu bersama mendiang ayahnya. Sungguh, suatu pagi yang dingin dan riuh oleh klakson kendaraan dan gergaji mesin. Aroma segar getah pohon yang ditebang dan bunga-bunga gugur pun ikut menyemarakkan udara pagi itu. Alamanda baru saja bangun dari lelapnya. Ia menuju toko bunga tanpa berusaha menyamarkan bekas bantal pada wajah dan rambutnya yang menimbulkan kesan acak-acakan. Ia memakai sweater merah bergaris-garis dan celana bulu coklat muda. Matanya masih berat. Semalam mereka pulang pukul dua dini hari. Ia berjalan setengah mengantuk. Beberapa kali kakinya nyaris menyandung batu. Di kedua tangan gadis itu ada buket mawar keemasan pemberian kekasihnya. Ia akan mengeluarkan juliet rose itu dari sana dan membaginya ke dalam sepuluh vas kaca lalu meletakkannya di setiap sudut rumah dan satu di dalam tokonya. Bunga itu tidak bisa digandakan publik. Ia pernah ingin membeli tiga akar hidup bunga itu di web toko David Austin. Namun mereka bilang hanya menjual buketnya. Sebagai gantinya, ia membeli mawar charles darwin. Mereka memiliki susunan kelopak yang mirip. Warnanya kuning cerah dengan wangi mawar yang lembut dan kuat dan ada sedikit aroma segar lemon. Namun juliet rose kw itu pun tak mau cantik di tamannya. Hidup segan mati pun enggan. Gadis itu memiliki kebiasaan menyapukan embun dari kelopak mawar ke wajahnya sebelum mandi. Ia akan melakukannya saat matahari masih kuncup di langit. Hari ini ia bangun kesiangan dan kabar baiknya adalah kelopak mawar di pekarangan masih menyimpan air dari gerimis. Ritual itu ia yakini membuat wajahnya kenyal seperti kulit bayi. Meski produk kecantikan kulitnya memiliki harga di atas rata-rata, ia masih memakai embun dari kelopak mawar untuk mencuci wajahnya. Ia menyukai aroma yang ditinggalkan si bunga di atas pori-pori kulitnya. Wangi itu begitu lembut, anggun, segar, dan kekal. Kepada Ade, dengan wajah penuh bulir air, ia bertanya perihal orang ramai di jalan. Ketika Ade akan menjawab pertanyaannya, seorang lelaki berdiri di pintu pagar yang terbuka dengan wajah kikuk. Ia masuk, langkahnya dibebani ragu. Ade menyapa ramah lelaki itu, menanyakan bantuan apa yang bisa ia tawarkan padanya. Ia mengira lelaki kurus berkaos hitam yang warnanya telah bermutasi menjadi keabu-abuan karena terlalu banyak dicuci dan disikat itu adalah salah satu partisipan gotong royong. Sebab sebelum lelaki itu datang, sesebapak baru saja mendatangi toko bunga Alamanda untuk meminjam kapak dan tangga lipat. Lelaki itu menggeleng, pandangannya tertuju pada Alamanda. "Mencari bunga," ujarnya. "Bunga jenis apa?" kata Ade. Ia kemudian melambai pada salah satu karyawan, memintanya melayani lelaki itu. Sebab saat itu ia akan memindahkan bibit-bibit adenium ke pot yang lebih besar. Namun lelaki itu terdiam. Ade dan Alamanda dan Ratna yang baru tiba oleh panggilan Ade saling melempar pandang. "Silakan dilihat dulu," ucap Alamanda memecah hening di antara mereka berempat. "Terlalu banyak jenis bunga, barangkali membuat anda bingung," Alamanda lantas mohon pamit kembali ke rumahnya, di belakang toko. Ia menyerahkan buket juliet rose pada Ratna, memintanya membagi bunga itu ke dalam sepuluh vas kaca yang paling bagus. Ratna menggodanya dengan mengatakan akan menyimpan satu tangkai untuknya. Alamanda terkekeh. Telunjuk kanannya menunjuk cincin berlian yang terpasang di jari manis tangan kirinya. Katanya, "Kau akan simpan ini juga?" Lantas dua perempuan itu tergelak bersama. Danendra meratapi Alamanda yang berbelok di jalan setapak di samping dinding toko. Dinding itu terbuat dari kaca, sehingga ia masih bisa melihat punggung Alamanda yang bergerak menjauh lalu lenyap di balik rimbun angsoka merah muda. "Jadi, bunga yang mana?" Ratna menyapa Danendra sekembali ia dari dalam toko, meletakkan bunga yang mendapat julukan mawar tiga juta dolar itu di tempat paling aman sebelum ia membagi sepuluh tangkainya ke dalam vas. *** Dua jam kemudian, sekitar pukul setengah sebelas, Alamanda kembali ke toko. Dan ia melihat lelaki itu masih di tokonya, berdiri di depan rak tanaman calathea. Di belakangnya, Ratna, dengan roman muka jengkel berdiri menemaninya. Alamanda tersenyum tipis. Dengan jemari, ia menyisir rambut setengah basahnya. Kemarin sore wanita paruh baya berteriak-teriak di dalam tokonya. Lalu apa pula hari ini? Ia menghela napas panjang, menyiapkan diri untuk segala kemungkinan buruk yang akan terjadi. Aku sedang sangat bahagia sejak semalam. Badai pun tak mengusikku. Batin Alamanda. Setelah meminta Ratna beralih untuk melayani pelanggan lain, Alamanda menyapa pria itu: "Pertama kemari, ya?" Seketika lelaki itu menoleh dan membuat gerakan mundur. Ia tak bisa menyamarkan kegugupannya. Kepalanya menunduk, menatap kembali barisan daun yang serupa sayap burung itu. "Maaf. Mengagetkan," Alamanda tersenyum ramah. Alamanda mengambil pot calathea medallion. Lantas ia berkata: "Dia paling banyak dicari penggemar calathea untuk bulan-bulan ini. Namanya chalatea medallion. Kalau susah mengucapkannya, bilang saja sayap burung surga," Alamanda tertawa renyah sembari meletakkan pot itu ke tempatnya. Lelaki itu menyambutnya dengan tawa canggung. Tangannya meraih pot bunga itu, memutar-mutarnya. Ia lantas meletakkan kembali pot itu setelah melihat tag harga; 1.6 juta. "Dia induk, gemuk dan rimbun. Ada dua tunas yang tumbuh di sampingnya," kata Alamanda menyaksikan reaksi lelaki itu setelah mengetahui harganya. Ia memperhatikan penampilan lelaki itu. Raut wajahnya lelah. Rambutnya kusam. Kulit tangan bersisik dan urat-uratnya menonjol. Ujung kukunya hitam dan kutikulanya kering. Ia tampak tua, melampaui usia yang seharusnya. "Ya," lelaki itu mengangguk. Alamanda meneliti pot-pot di rak itu. Ia mencarikan calathea yang ramah untuknya. "Ini namanya Meranti Bali. Cantik. Perawatannya cukup mudah. Cocok untuk pemula," kata gadis itu. Namun saat menoleh, ia tak menemukan lelaki itu di sampingnya. Danendra telah berdiri di deretan tanaman aglonema. Punggung lelaki itu agak bungkuk. Ia menyentuh satu persatu tangkai tanaman itu secara acak. Alamanda memperhatikan gerak-geriknya sembari menahan napas. Sebuah firasat buruk memperingatkan gadis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD