Sebuah Awal yang Kacau

1165 Words
Aku mendengar, nada-nada di pagi hari Sepasang pipit bercakap-cakap tentang badai semalam dan petir bersahut-sahutan Aku melihat, cabang dahan pohon patah kendati daun-daunya menampung segar hujan melarung debu Dan orang ramai menggergaji menyempurnakan luka baru yang menganga Dan pohon membalut dirinya, dengan getah mengalir menutup luka Aku menghidu, tanah basah rumput liar besi berkarat Dan pucuk-pucuk tembakau, Wanginya sampai jauh Aku merasakan, dingin merambat naik dari kaki menuju kepala Aku membeku, di hadapanmu Sapamu Gelakmu Binarmu Danendra menghempaskan punggungnya di kursi bambu di bawah naungan beringin. Kursi itu telah lama menjadi tempat teduh anggota keluarga Danendra. Dahan beringin yang rimbun menghalangi terik matahari membakar tubuh mereka. Dua kaki bagian depan kursi itu menjalani perbaikan dua bulan lalu. Namun, tetap saja, saat berat tubuh lelaki dewasa itu mendudukinya secara serampangan, salah satu kaki belakang yang telah rapuh goyang lalu patah. Danendra jatuh dengan posisi punggung menghantam tanah terlebih dulu. Sementara kedua kakinya tersangkut di atas kursi. Kedua tangannya mendekap kresek berisi satu buah pot bibit bunga Alamanda. Batang bunga itu memiliki tinggi 25 senti. Bukannya bangun untuk menyelamatkan punggung, Danendra malah membuka kantong plastiknya dengan posisi masih terjengkang. Ia mengumpat saat mendapati batang stek sang bunga patah. "Kakak!" Seorang gadis kecil, berusia tujuh, menghampiri Danendra. Bocah itu tak mampu menyembunyikan seribu pertanyaan yang tergambar pada wajahnya. Kanak-kanak, sepertinya memang tak pandai menyembunyikan sesuatu. Ia berkata: "Sedang apa?" Seseorang yang dipanggilnya kakak tak menyahut. Matanya tertambat pada tanaman yang tangkainya patah dan terkulai di atas tubuhnya. Butuh waktu berjam-jam mendapatkan bunga di dalam polibag mini itu. Bukan! Tepatnya enam belas tahun. Selama itu Danendra hanya mampu memandangnya dari kejauhan. Dan lututnya gemetar setiap ia ingin mendekat. Hari ini ia mengabaikan segala bentuk kecemasan. Dan ia membuktikan diri pada hantu-hantu kecil yang selama ini mencemooh sikapnya. Lima belas menit adalah waktu yang ia butuhkan untuk menjawab sapa dari karyawan Alamanda, menanyakan maksud keberadaannya di ambang pintu pagar. Dan sebuah kebanggaan ketika ia menjawab tanpa tergagap. Seakan langit pagi yang mendung merestui gerak-geriknya dan melimpahinya seribu keberanian. "Mencari bunga," katanya, dan matanya hanya melihat Alamanda. *** "Kakak!" Kali ini sang adik mengeraskan suaranya. Ia berjongkok di samping tubuh sang kakak, mengguncang pundaknya. Lelaki itu menoleh sekilas. Pelahan-lahan, ia bangkit. Dayu membantunya menyapu tanah yang menempel pada punggungnya. "Siku kakak luka," kata gadis kecil itu. Ia menunjuk tangan kanan Danendra. "Kenapa bisa jatuh dan malah melamun?" Danendra menggeleng. "Tanaman apa ini?" Dayu baru akan menyentuh tangkai yang terkulai itu ketika Danendra menyentil tangannya. Bocah itu mengaduh dan seketika menarik tangannya. Ia meringis kesakitan. "Per--gi. Sa--na," ucpa Danendra. Dayu tak menduga sang kakak akan bereaksi sedemikian menyebalkan hanya karena sebatang tanaman yang salah satu tangkainya patah. Bocah itu sering mengekornya ke kebun. Ia berlarian mengejar capung dengan sebatang lidi yang pucuknya dilumuri getah nangka. Kadangkala, kakinya tak sengaja menginjak pohon wortel dan kuntum kubis. Namun sang kakak tak pernah memarahinya. Ia malah ikut berlarian, menangkap satu dua ekor capung untuknya. Bocah itu beringsut dengan muka cemberut. *** "Permisi. Bunga apa tadi. Alamanda?" Gadis itu tertawa renyah. Tawa itu melekat di dalam kepalanya serupa residu. Bahkan sepanjang perjalanan pulang hanya tawa itu yang ia dengar. Danendra menulikan diri dari bising kendaraan bermotor. Nyaris saja ia terserempet mobil seseorang yang berkendara di atas kecepatan aman. Pengendara itu menyumpahi Danendra dan terus melajukan mobilnya. Namun Danendra abai. Saat itu adalah hari baiknya. Perasaan bahagianya membuncah menembus langit. "Jarang ada orang yang datang mencari bibit Alamanda," lanjut gadis itu. "Dalam setahun mungkin hanya enam atau tujuh permintaan. Jadi kami tak membibitnya. Tapi kalau anda berminat, saya akan mencarikan bibit itu di pekarangan rumah. Tunggu sebentar." Delapan menit kemudian, gadis itu datang membawa tangkai Alamanda. Ia meminta salah seorang karyawan untuk menempatkan potongan tangkai itu ke dalam polibag mini. Setelah itu, ia menyerahkan bunga itu pada Danendra. Katanya: "Saya pilihkan tangkai muda, sebab akan cepat berakar. Dua minggu pertama tanahnya harus selalu basah. Setelah tumbuh akar banyak, bisa dipindah ke media yang lebih besar." Danendra mengangguk. Ia ingin membalas keramahan gadis itu dengan seulas senyum. Namun bibirnya merespons maksud hatinya dengan kekakuan yang kokoh. "Sebenarnya nama depan saya diambil dari bunga ini," ucap gadis itu lagi. "Eh, malah curhat, ya? Maaf. Maaf." Danendra menggeleng. Ia tahu itu. Ia bahkan masih menghapal nama panjangnya: Alamanda rista devayana. Ia tahu betul, ayah gadis itu--Devayana--adalah pebisnis bunga yang paling makmur di kota. Bahwa ibunya membawa lelaki lain ke rumah besarnya, Danendra pun tahu. Ia tahu gadis itu kerap menangis di kelas ketika anak-anak lain mengisi perut ke kantin. Saat ayahnya meninggal dan gadis itu terpuruk beberapa bulan, ia pun tahu. Saat seorang pemuda kaya raya menjanjikan kesempurnaan pada gadis itu, ia pun tahu. Ia tahu. Ia selalu tahu apa pun tentang gadis itu. Yang tidak ia tahu adalah cara mendapatkan hatinya. Itu. "Oh, ya. Jangan memberinya pupuk kimia dalam satu bulan pertama." Gadis itu kemudian berterimakasih padanya dan mohon diri. Namun belum jauh gadis itu pergi, Danendra menyenggol pot aglonema dewi huges induk. Pot itu jatuh dengan posisi pohon menghantam lantai terlebih dulu Serbuk sabut kelapa berhamburan. Pohon itu kehilangan tiga tangkai daun. Dua karyawan Alamanda yang ada di ruangan itu, bersama empat pengunjung lainnya menampilkan raut muka yang seragam--bergidik ngeri--seakan sesosok makhluk halus baru saja menampakkan diri di hadapan mereka. Alamanda? Entah apa ekspresinya. Yang jelas, Danendra merasa akan divonis hukuman gantung saat itu juga. "Ma-af," ucap Danendra. Sejurus kemudian ia berjongkok dan memasukkan sabut kelapa yang berhamburan ke dalam pot. Ia mengambil tiga daun yang patah lalu meletakkannya di samping batang tanaman itu. Ia mengembalikan aglonema itu ke tempatnya. "Ma-af. Sa-sa-ya ti-ti-dak se-se-ngaja," ucap Danendra lagi. Lelaki itu membungkuk di hadapan Alamanda. Gadis itu memaksakan senyum, "Tidak apa-apa." Danendra merasa tak nyaman dengan situasi yang tengah berlangsung. Seakan matahari beranak delapan dan keluarga bintang katai putih itu bermigrasi ke dalam ruangan ia berada bersama Alamanda. Dari rona wajahnya yang menggelap, Danendra tahu gadis itu sedang menahan amarah. Sungguh. Sebuah permulaan yang kacau. Ia merogoh saku celana lalu mengeluarkan dompet kulit imitasi yang telah mengelupas sudut-sudutnya. Lelaki itu berkata: "Sa-ya ga-ga-nti bu-bung-nga-nya." Alamanda buru-buru menggeleng. "Tidak usah. Tidak usah. Daun-daun itu akan tumbuh lagi," katanya. Namun Danendra tetap membuka resleting dompetnya. Ia mengeluarkan selembar lima ribuan, dua lembar sepuluh ribuan, satu lembar lima puluh ribuan, dan dua lembar seribuan. "Be-be-rapa?" katanya "Tidak. Tidak usah diganti. Tidak apa-apa. Masih banyak sekali bunga itu di sini." Danendra lalu pulang sembari menenteng plastik bibit bunga alamanda. Ia sangat malu dan rasanya ia ingin mengubur diri untuk bersembunyi. *** "Nendra?" Sapa sebuah suara yang datang dari balik punggungnya, mengacaukan lamunannya. Seorang perempuan paruh baya sedang menjunjung keranjang berisi wortel yang baru saja dipanen di atas kepalanya. Segera Danendra bangun dari posisinya dan mendekati sang ibu, menolongnya menurunkan keranjang wortel itu dari sana. Ia memandangi wortel segar yang masih berdaun itu dengan tatapan berbinar. Ia terkekeh. Sebersit ide bertunas di dalam kepalanya. Alamanda menyukai wortel, bukan? "Kau ini kenapa?" Kata sang ibu sembari mengibaskan handuk kecil ke wajahnya. Danendra mundur menghindari kibasan. Pemuda itu kembali terkekeh dan menularkan tawa itu pada sang ibu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD