I Found You !

2285 Words
'Braak'  Sophia berlari mendekati Leon yang tergeletak tak sadarkan diri. "Tuan!" Ia memanggil Leon berulang kali tapi tak ada sahutan. Sophia menoleh kebelakang melihat dua pelayan itu mematung menyaksikan majikan mereka pingsan dengan luka di kepala.  Ia melirik ke arah pelayan berambut sebahu tinggi semampai. "Kamu panggil Yatno cepat!" Perintahnya. "Ba--baik, Bu." Sahut si Pelayan, gelagapan lalu berlari keluar kamar. "Kamu bersihkan pecahan guci ini." Perintah Sophia lagi pada pelayan berambut pendek berwajah oriental. "Siap, Bu."  Sophia memegang kepala Leon yang terluka, hanya luka robek kecil walau darah membasahi sebagian dari kepalanya. "Ini pasti ulah Mela!" Tuduhnya sambil mengepalkan tangan memandang Leon yang masih terpejam. Tak lama menyunggingkan bibir lalu tertawa kecil. ⚫⚫⚫ Mela, Deny dan Jeslyn yang masih lemah, bergegas pergi dari ruangan itu. Sebelum Sophia dan dua bodyguard itu kembali menangkap mereka. "Apa kamu tau dimana Edo simpen jaket aku?" Tanya Deny ke arah Mela yang berjalan di depannya. Mela menggeleng lalu menoleh. "Aku gak tau, Den. Yang penting sekarang kita harus pergi dari sini. Kalau masalah jaket, kamu bisa beli yang baru." Sahutnya mulai menaiki tangga. "Bukan masalah jaketnya, Mel. Aku simpan pistol dan handphone disana. Kalau gak ada handphone gimana caranya aku hubungin Rey dan team aku?" Jawab Deny yang tak menerima jawaban Mela yang meremehkan jaketnya. Baginya isi dari jaket itulah yang bisa membantu mereka untuk melarikan diri atau berjaga-jaga dari serangan Edo lagi. Mela menghentikan langkah lalu menoleh kebelakang. "Disini gak ada sinyal, Den. Jadi kamu gak bakalan bisa nelpon atau minta bantuan dari siapapun." Sahut Mela, kembali membalikkan tubuh dan menaiki tangga. Deny mengernyitkan dahi. "Gak ada sinyal? Itu gak mungkin! Karena aku berhasil follow akun i********: dia kemaren." Tampiknya lagi. "Itu mungkin saja, Pak Deny." Potong Jeslyn yang berada di belakang Deny. "Dia punya alat khusus yang bisa memperkuat sinyal handphone tapi cuma bisa dipakai buat dia sama orang-orangnya aja." Terang Jesyln lagi. Deny sempat melirik ke belakang walau terus menaiki tangga. "Apa? Kalau begitu..Rey dalam bahaya!" Ucapnya, terkejut sekaligus cemas dan kembali melangkah. Tiba di atas, Mela membuka pintu pelan. Ia celingak-celinguk memastikan keadaan aman dan jauh dari orang-orang Leon. "Aku harus keluar sekarang juga." Ucap Deny yang tiba-tiba menyalip. "Eh tunggu dulu." Cegah Mela, menarik ujung kaos Deny yang berhenti melangkah lalu menoleh kebelakang. "Ada apa lagi, Mel?" Mela menggeleng. "Kita harus waspada, Den. Gak boleh ketahuan sama--" "Aku tahu itu, Mel. Tapi aku harus menolong Rey sekarang juga dan bawa kalian pergi dari sini." Potong Deny. Mela melepaskan pegangannya sambil menatap lekat Deny, pria itu tak berubah. Masih keras kepala seperti dulu. Deny berjalan didepan mereka, tiba-tiba langkahnya terhenti setelah melihat salah satu dari dua pria kekar tadi menyeret masuk tubuh seseorang dalam keadaan tak berdaya. Pria itu berjalan mundur dan agak sedikit membungkuk. Ia terus menyeret hingga sebelah sepatu pria naas itu terlepas. Deny hafal betul dengan kostum yang pria itu. Jaket bomber warna army, kaos polo putih yang ternoda darah dan celana jeans ripped hitam.  "Rey?!" Gumamnya pada diri sendiri. Wajah Deny memerah, tangannya terkepal dan alur nafasnya naik turun karena emosi. "Kurang ajar! Berani-beraninya mereka--" "Stop, Den!" Cegah Mela menghambat langkah Deny yang akan menghampiri Rey yang sudah babak belur. Tubuh terlentang, tangan terjulur diatas kepala dan ujung tumit terseret di lantai. "Kamu gak bakalan bisa tolong dia sekarang, kalau kita ketahuan sekarang bisa gawat, Den!" "Tapi, Mel. Aku---" "Hei, cepat masuk itu mereka!" Potong Jesyln cepat sambil membuka sebuah ruangan tak jauh dari mereka dan untungnya tak terkunci. Jeslyn masuk lebih dulu di ikuti Mela dan Deny. Mereka tercengang berada di sebuah ruangan seperti walk in closet, yang isinya hampir dipenuhi oleh gaun putih yang tergantung di hanger  walau ada beberapa setelan kemeja, celana dan jas disana. Leon berjalan diiringi Sophia mendekati pria bertubuh kekar itu. "Bawa dia ke Roommate, Yo!" Perintah Leon pada pria yang bernama Priyo. Ia mengangguk menurut pada Leon yang sejak tiba memegang perban pada kepala bagian kirinya. Tak lama pria kekar lainnya menghampiri mereka dan membantu membawa Rey. Derap langkah kedua pria itu berjalan mendekati ruangan tempat mereka bersembunyi. 'Braak' Jantung Mela hampir berhenti ketika Leon membuka pintu kencang. 'Tuk tuk tuk tuk'  Suara langkah sepatu pantofel Leon membuat mereka hampir menahan nafas.  Mela bersembunyi di balik gawangan baju paling ujung dekat dinding, ia berjongkok menutupi mulut dengan telapak tangan. Bulir-bulir keringat dingin membasahi wajahnya ketika langkah Leon berjalan mendekati perlahan. "Selamatkan aku, Tuhan!" Pinta Mela dalam hati.  'Tuk tuk tuk' Langkah itu semakin dekat. 'Tuk tuk' "Tuan.." "James menunggu anda di kamar Copdar nomor empat." Ucap Sophia dari balik pintu yang sudah setengah terbuka menghentikan langkah Leon dan membuat Mela bernafas lega. Leon membalikkan tubuh. "Oh ya?" "Ya, Tuan. Apa anda mencari sesuatu disini? Perlu aku nyalakan lampunya?" Tanya Sophia berjalan mendekati saklar lampu. "Tidak!" Cegah Leon berjalan mendekati Sophia. "Tidak usah, Sophia. Aku hanya penasaran mengapa gaun putih ini berkurang banyak." "Setelah makan siang beri laporan padaku berapa total jumlah gaun ini dan.. suruh Priyo dan Yatno mencari Mela."  "Aku yakin dia masih berada di sekitar sini." Mata Leon mendelik. "Dapatkan dia hidup atau mati." Pinta Leon lagi sambil berlalu. Sophia menyeringai lalu membalikkan tubuh. "Baik, Tuan." Sahutnya, mengikuti Leon. 'Braak'  Mela menghela nafas lega setelah mereka meninggalkan ruangan. Ia mengusap wajahnya yang sudah basah keringat sambil menoleh ke kanan, tepat belakang manequin dimana Deny berdiri disana. "Ayo kita pergi dari sini." Ajak Jeslyn, keluar dari persembunyiannya yang tak jauh dari Mela. Deny menyetujui ajakan Jesyln, berjalan mendekati pintu lalu membukanya pelan. Mela masih disana, pandangannya menyusuri isi ruangan yang remang-remang dan memperhatikan beberapa pakaian.  Tak ada pakaian yang menarik perhatiannya kecuali sebuah kemeja putih dan celana panjang bahan katun yang disinyalir milik Sophia. Ia meraih celana panjang lalu mengenakannya. "Mel, Ayo." Ajak Jeslyn lagi melambaikan tangan dibelakang Deny yang sudah membuka pintu. Mela menarik ke atas resleting. "Sebentar. Aku lagi pake celana." Jawabnya santai. Deny menoleh kebelakang lalu kembali menutup pintu dengan pelan. Ia berjalan mendekati Mela sambil menggeleng. "Dalam keadaan seperti ini kamu masih sempet-sempetnya ganti baju? Kamu gak tau kalau kita harus gerak cepat buat keluar dari sini, Mel."  "Aku tau itu, Den. Tapi aku gak nyaman sama gaun ini." Sahut Mela, menurunkan resleting gaun yang berada di punggungnya. Mela mengangkat gaun ke atas berusaha melepaskan dari tubuhnya. Wajah Deny memerah dan spontan ia membalikkan tubuh untuk tidak melihat.  Mela tertawa kecil. "Gak usah malu, Den. Kitakan pernah pacaran." Goda Mela. "Tapi hanya sekedar kissing, Mel. Aku gak pernah lihat kamu topless." Sahut Deny dengan wajah merah. Walau samar-samar ia hampir melihat seluruh bagian atas tubuh Mela. "Sekarang kamu bisa lihat kok." Goda Mela lagi lalu terkekeh. Deny menyunggingkan bibir. "Tapi kamu bukan pacar aku lagi. Tapi Edo.." Sahutnya lemah dan kembali berjalan mendekati Jesyln yang masih di dekat pintu. Mela terdiam, sekilas terkenang saat mereka menjalin cinta lalu kandas. "Ah ngapain juga gue mikirin jaman dulu." Gumamnya, menyusul langkah Deny setelah selesai mengenakan kemeja. Deny membuka pintu, menyembulkan kepala lalu menoleh ke kanan dan kiri memastikan keadaan luar lagi.  Kosong dan sunyi. Ia melirik ke arah Mela dan Jeslyn. "Ayo!" Ajaknya. Mereka keluar lalu kembali melangkah. Kali ini Jesyln berjalan paling depan. "Kalian bisa keluar duluan kan? Aku harus bebasin Rey dulu." Ucap Deny.  Mela menggeleng tak setuju dengan ucapan Deny. Saat ini hanya Deny yang bisa mereka andalkan, terlebih lagi ia menjadi buronan di rumah besar itu dan bisa dibayangkan betapa bahagianya wajah Leon jika sudah menangkapnya. Menjadikan makanan untuk serigala diluar sana. "No, Den. Itu bukan ide yang bagus, lagi pula--" Ucapan Mela terhenti setelah melihat pintu di ujung lorong terbuka dan seorang pria keluar dari sana. "Mereka tahu kita sudah..kabur!" Sambung Mela, sontak membuat Deny dan Jeslyn menoleh kebelakang melihat Priyo berteriak dan mengejar. "Jangan lari kalian!!" Mela dan Jeslyn berlari, tapi tidak dengan Deny yang terdiam mengepalkan tangan menyambut kedatangan Priyo. "Kita kemana, Mel?" Tanya Jeslyn, nafasnya terengah-engah mengejar Mela. "Pintu depan, Jes. Pokoknya kita harus kabur dari sini secepatnya!" "Tapi Pak Deny masih di belakang." Sahut Jeslyn. Mela berhenti lari, menoleh kebelakang melihat Deny berkelahi. Ia menjadi dilema. "Aduh gimana dong?" Meminta pendapat Jeslyn. Jeslyn membungkuk, kedua tangan menempel di lutut. Nafasnya terengah-engah dan wajahnya pucat. "Kalau kita kabur tanpa dia percuma, Mel. Sekalipun berhasil keluar dari rumah ini kita jadi santapan serigala." Jawab Jesyln yang sependapat dengan pikiran Mela. "Aku tahu, Jes. Terus sekarang kita harus gimana? Ini kesempatan kita kabur dari sini." Mela meminta pendapat Jesyln lagi. Jeslyn mengangguk. Deny menendang Priyo, walau tubuh pria itu dua kali lebih besar darinya, ia berhasil membuat Priyo kalang kabut menerima semua tendangan dan pukulannya yang gesit tak terbaca lawan.  Tak hanya perut, d**a dan wajah bahkan Deny berhasil menendang punggung Priyo setelah salto. 'Bugh'  Sekali lagi Deny menendang punggung Priyo setelah pria bertubuh kekar itu mencoba bangkit. 'Bruuk' Tubuh Priyo jatuh tengkurap, darah menyembur keluar dari mulut dan tubuhnya bergeming. Deny menggoyangkan bahu Priyo dengan ujung kaki. Masih bergeming dan dipastikan ia pingsan. "Den!" Panggil Mela setengah berteriak sambil melambaikan tangan meminta Deny menghampiri. Deny menggeleng, menunjuk ke arah 'Roommate'. "Sial!" Mela menepuk dahi tak menyetujui ide Deny lagi. Deny melambaikan tangan untuk memintanya pergi. Ia membalikkan tubuh dan berjalan menuju pintu ruangan Roommate. "Gimana, Jes? Kita kesana atau lanjut?" Sekali lagi Mela minta pendapat Jeslyn. Wajah Jesyln terlihat pasrah, ia tak dapat berpikir dengan jernih karena tubuhnya belum pulih total. Saat ini ia hanya menginginkan beristirahat, setidaknya memulihkan kondisi fisiknya sekarang. "Terserah kamu, Mel."  Mela memutar bola matanya. Ia tak suka dengan jawaban 'Terserah'. Ia menarik tangan Jesyln. "Aku yakin Deny berhasil, sebaiknya kita pergi dari sini."  Jesyln berlari mengikuti langkah Mela yang mengarah menuju pintu utama. Ia berlari sekuat mungkin walau sebenarnya tak sanggup mengiringi langkah Mela. Terlebih lagi sama-sama tak mengenakan alas kaki yang membuatnya makin terasa sakit. "Mel, sebentar--" Jeslyn melepaskan genggaman Mela. Tubuhnya kembali membungkuk dengan kedua tangan menopang di lutut. Nafasnya terengah-engah, wajahnya semakin pucat dan berkeringat. Mela terpaksa berhenti melihat Jesyln yang semakin lemah. "Ayolah, Jes. Kamu tahan dulu. Kalau keluar dari sini aku bawa kamu ke rumah sakit. Aku janji." Ia menarik tangan Jeslyn lagi. Jesyln menggeleng tak menyetujui ide Mela. Bukan karena tak menghargai niat tulus Mela melainkan tubuhnya tak sanggup lagi. "A--aku gak sanggup lagi, Mel. Kamu pergi duluan biar aku tunggu Deny di ruangan itu." Tolaknya sambil menunjuk ruangan tak jauh dari mereka yang bertuliskan 'Safe you'. Mela kembali menggeleng tak menyetujui kawan seperjuangannya menyerah untuk keluar dari kerajaan Leon. Baginya sekarang adalah waktu yang tepat untuk melarikan diri, tak ada kata 'nanti', 'besok' atau 'kapan-kapan'. Karena ia tahu kesempatan takkan datang untuk kedua kalinya. "No, Jesy. Ayolah kamu coba lagi, kamu pasti bisa." Sekali lagi Mela membujuk Jesyln. "Maaf, Mel." Jeslyn menggeleng. Ia melangkah menuju ruangan itu lalu membuka knop pintu. Terbuka, tak terkunci. "Pergilah." Pinta Jeslyn. Mela mengangguk terpaksa, sebenarnya ia bukan tipe wanita yang senang membiarkan kawannya dalam keadaan sulit. Ia lebih menyukai bersama-sama menghadapi masalah walau harus kalah setidaknya sudah berusaha. Karena Jesyln yang meminta dan mengandalkan Deny, ia terpaksa mengiyakan. "Baiklah. Jaga dirimu, Jes. Aku pergi dulu." Ucap Mela dengan mata nanar lalu membalikkan tubuh dan kembali melanjutkan langkah menuju pintu keluar. 'Ceklek'  Jesyln menutup pintu pelan. "Selamat datang di 'Safe room', Nona Jesyln." Jeslyn terperangah mendengar suara wanita yang sangat ia benci di rumah itu. Perlahan ia membalikkan tubuh dan melihat wanita paruh baya menyeringai berdiri disamping seorang perawat. "Sophia.." Sophia menyeringai lalu melangkah mendekati Jesyln yang perlahan mundur bermaksud untuk keluar ruangan tapi kalah cepat ketika perawat itu terlebih dahulu menutup pintu. "Tidak! Keluarkan aku dari sini!" Jesyln berteriak sambil membuka knop pintu tapi sudah terkunci. Sophia mendekati Jesyln dari belakang lalu menempelkan sebuah sapu tangan ke arah hidung Jesyln yang dalam hitungan detik tubuh Jesyln lunglai lalu terjatuh ke lantai. Sophia melirik perawat tersebut. "Sebaiknya kau urus dia dan beri obat karena keadaannya sedang sakit." Titahnya lugas. "Aku tak mau Mister komplain dan murka. Kau paham?" Lanjutnya lagi, serius.  Perawat itu mengangguk. "Baik, Bu. Saya paham." Menjawab lugas lalu memapah tubuh Jesyln yang tak sadarkan diri menuju ranjang. "Aku pergi dulu, kalau ada apa-apa kau bisa memanggilku." Pinta Sophia lalu keluar ruangan menuju sebuah tempat. 'Bugh'  Deny terus menghantam pria bertubuh kekar yang bernama Yatno di luar kerangkeng. Menendangnya hingga membuat Yatno jatuh tersungkur. 'Bugh'  Sekali lagi Deny melayangkan tendangan tepat di punggung Yatno yang mencoba bangkit. 'Bruuk' Yatno kembali terjatuh telentang. Mata Deny menyusuri lantai, mencari sesuatu. "Yes!" Ucapnya melihat seutas kain yang terlipat, bekas kompresan Jeslyn. Deny mengambil dan mendekati Yatno. Ia melilitkan kain itu di tangan Yatno yang sudah tak sadarkan diri. Melilitnya dengan kuat. Mata Deny melirik ke arah dalam kerangkeng. Mendengar erangan Rey yang kesakitan. "Rey, Bangun!" Ucap Deny. Ia merogoh saku celana Yatno, mencari kunci. Deny membuka kerangkeng, menyeret tubuh Yatno kedalamnya. "Rey!" Panggil Deny lagi sambil mendekatinya. "Uhuk--uhuk--" Rey terbatuk, memegangi perutnya. Ia membuka matanya pelan. Melihat seorang pria tapi pandangannya kabur. Ia membutuhkan kacamata sekarang. "Den?" Panggilnya lirih. Menahan sakit pada bekas jahitan di perutnya, mencoba bangkit. Deny berjongkok membantu Rey untuk duduk bersandar di dinding. "Lu gak apa-apa, Bro?" Tanyanya memastikan. Yang ia tahu jika Rey menjawab 'Ya' mengartikan 'Sanggup untuk bertahan' jika 'Tidak' ia melambaikan bendera putih alias menyerah. Rey menggeleng. "Dia nendang tepat di bekas jahitan perut gue, Den." Ucap Rey perlahan menarik keatas kaos polo yang tak lagi berwarna putih. Selain darah dari mulutnya yang menodai, bekas jahitan yang terus menetes membasahi. Deny bangkit, melangkah menuju kamar mandi. Ia mengambil handuk yang tergantung dan melekatkan pada perut Rey pelan. "Kita harus pergi dari sini, Rey. Bagaimanapun caranya, gue harus minta pertolongan team." Ujar Deny yakin bisa membawa Rey keluar dari sana. "Gue gak yakin bisa, Rey. Sumpah sakit banget!" Sekali lagi Rey menolak. Tangannya masih di atas handuk yang menutupi bekas jahitan. Kepalanya mendongak menahan sakit. Deny berjongkok membelakangi Rey. "Ayo naek, biar gue gendong lu." Pintanya. Rey tertawa kecil walau sempat meringis. "Lu gak bakal kuat, Den. Pergilah...biar gue tunggu disini."  "No, Rey! Kita harus pergi dari sini. Apa lu lupa kalau kita berhasil kelarin misi ini, kita party di bar?! Come on." Rey menggeleng lagi. "No, Den. Gue--" Ucapan Rey terhenti ketika Deny sudah menarik kedua tangannya dan berada di atas bahu. Deny mengangkat tubuh Rey di atas punggungnya.  "Turunin gue, Den!" Pinta Rey. "No!" ⚫⚫⚫ Mela terus berlari, senyumnya merekah begitu melihat pintu utama setengah terbuka. "Gue pasti bisa!" Gumamnya. Beberapa meter lagi ia bisa melarikan diri dari rumah itu dan meminta pertolongan. Ia juga tak sabar untuk cepat pulang bertemu ayahnya yang mungkin memakinya habis-habisan kali ini, tapi ia tak peduli. Setidaknya bisa melarikan diri dari sana secepatnya ! 'Tep'  Langkah Mela terhenti Dua meter sebelum pintu utama. Nafasnya seakan terhenti ketika melihat seorang pria tampan berdiri di balik pintu menyeringai menatapnya bengis dan berkata.. "I found you!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD