Deny melajukan mobil kencang tanpa menghiraukan ucapan Rey mengenai tulisan di tisu. Aksinya spontan mengetahui jika Mela dalam keadaan bahaya dan dugaannya memang tepat bahwa Edoardo bukan pria baik, begitu juga dengan beberapa ruangan di rumah itu yang terlihat mencurigakan.
"Den, Lu yakin kita tangkap dia sekarang? Apa lu gak terburu-buru, Bro? Tisu ini belum bisa dijadiin bukti yang kuat, lagi pula kita perlu bantuan team buat meringkus mereka semua." Ujar Rey, yang tak setuju Deny bersikap gegabah lagi. Lagipula mereka membutuhkan team setidaknya tiga rekan mereka yang masih di Jakarta.
"Yes, Rey. Ini peluang kita buat beraksi dan gue yakin selain tisu, kita bisa nemuin bukti dan petunjuk lain di rumah itu. Dan pasti si Edo umpetin keempat cewek itu disalah satu ruangan rumahnya. Apa lu gak curiga kalau si Mela lihat gue pasang muka aneh gitu?!"
Rey tertawa dan tersadar jika wanita cantik bernama Mela tadi mantan kekasih Deny. "Itu dia yang mau gue omongin ke elu, Bro. Itu beneran cewek yang elu stalking selama ini 'kan? Apa karena dia, elu ngebet kesana?" Tuduh Rey. Selama menjadi partner tidak pernah melihat Deny bertindak spontanitas seperti sekarang, yang Rey tahu Deny adalah partnernya yang paling santai tapi serius dan tidak pernah bersikap gegabah tanpa berunding dengannya.
Deny menggeleng tanpa menoleh, pandangannya serius mengendarai mobil yang tak lama lagi tiba di rumah Edo. "Gak juga, Rey. Hubungan gue sama Mela udah selesai. Apa lu gak denger tadi si Edo ngenalin Mela sebagai calon bininya? Gak mungkin gue--"
"Alah baru calon bini! Selama janur kuning belom melengkung, di tikung lah.." Potong Rey lalu terkekeh melihat Deny tersenyum lebar dan wajahnya memerah.
Deny menaruh dua jari di ujung pelipisnya. "Siap, Komandan!" Sahutnya setengah berteriak.
'Ckiit--'
Deny mengerem mobil tepat di samping gerbang, tak terlihat dua bodyguard tadi disana.
Ia segera turun dari mobil. "Lu tunggu disini, Rey. Kalau dalam waktu 15 menit gue gak balik berarti gue dalam keadaan bahaya. Segera lu telepon Pak Agus suruh bawa team kesini, okey?!" Ucap Deny sambil tergesa-gesa lalu menutup pintu mobil.
"Tunggu, Den!" Rey turun bermaksud mengejar Deny.
"Apa lagi?!" Deny membalikkan tubuh menatap Rey yang cemas.
"Kenapa kita gak berdua aja yang kedalam? Kita bisa minta bantuan team sekarang." Ucap Rey, dari sekian kali mereka menyelesaikan misi baru kali ini Deny memintanya untuk berdiam diri. Ia juga mencemaskan keselamatan Deny yang tak terjamin begitu masuk kedalam. Jika dugaan Deny benar bahwa Edo adalah tersangka, berarti mereka dalam keadaan bahaya terlebih lagi berada di sebuah tempat yang jauh dari keramaian.
Deny menggeleng tak setuju. "No, Rey. Biar gue sendiri kesana. Elu tetap disini, okey?!"
"Ingat, 15 menit!" Ucap Deny lagi lalu berlari tanpa mendengar jawaban Rey.
"Den--" Rey menghentikan ucapannya melihat Rey berlari begitu saja. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Edo bisa aja menghajar lu sebelum 15 menit, Den!" Gumam Rey kesal dan hanya bisa menuruti ucapan Deny.
Rey kembali masuk ke dalam mobil lalu menyandarkan punggung di jok, jari telunjuknya mengetuk kaca jendela pertanda ia cemas menanti berakhir 15 menit. Berharap tak selama itu Deny sudah kembali dalam keadaan selamat tapi sayangnya ia hanya bisa berharap dan terus melihat arloji.
⚫⚫⚫
Deny memasuki gerbang dan berlari kecil. Tiba di depan pintu ia mengetuk beberapa kali.
Hening. Tak ada jawaban.
Ia mencari bell yang biasanya ada di dekat pintu tapi tak ada. Tiba-tiba terlintas di pikirannya takkan mungkin ketukannya terdengar dari dalam sementara besarnya rumah itu seperempat bagian dari kastil.
Deny membuka kenop, ternyata tak terkunci. Ia celingak-celinguk memastikan tak ada orang yang melihat aksinya baik itu wanita paruh baya maupun pria berbadan kekar tadi.
Ia berlari kecil melewati lorong panjang dan beberapa kamar, tiba di toilet berpas-pas an dengan Sophia.
"Hei kamu mau kemana?!" Tanyanya setengah berteriak.
Deny terus berlari mengabaikan pertanyaan Sophia yang berlanjut dengan mengejarnya pelan. Langkah terakhir Deny membuat Mela dan Leon menoleh ke arahnya.
Leon bangkit dari kursi sambil menyunggingkan senyum. "Ada apa lagi, Pak polisi?"
Deny berjalan pelan mendekati mereka dan melirik ke arah Mela yang menggeleng pelan.
"Saya cuma mau menjemput seseorang." Sambung Deny, cepat. Kembali melirik Mela.
Leon tertawa kecil dan juga melirik ke arah Mela. "Sepertinya anda salah orang!" Ucap Leon sedikit emosi. Ia bangkit dari kursi dan berjalan menuju Deny yang terdiam 10 meter dari mereka.
'Zettt--'
Sophia tersenyum lebar dari balik tubuh Deny yang terjatuh lunglai setelah stun gun berhasil melumpuhkannya.
"Good job, Sophia." Seringai Leon, mengambil senapan yang tersandar di dinding lalu menodong dan membidik ke tubuh Deny.
"Jangan!" Cegah Mela berlari menghadangkan kedua lengan didepan Leon.
"Jangan bunuh dia!" Ucap Mela lagi. Harapan untuk keluar dari rumah itu pupuslah sudah. Deny yang ia harapkan menjadi pahlawan ternyata dengan mudah dikalahkan Sophia.
"Minggir kau! Aku akan memberinya pelajaran untuknya!" Geram Leon mengingat pria yang terbaring itu sudah mengetahui banyak tentang jati diri dan kejahatannya.
"Aku mohon jangan, Mister! Apa kau tak tahu jika ia membawa teman? Apa kau ingin temannya membawa satu pasukan untuk menangkapmu?" Ucap Mela lagi membuat Leon menurunkan senapan dan berpikir yang dikatakan wanita itu adalah benar. Tak boleh ceroboh !
⚫⚫⚫
Berulang Kali Rey melirik ke arah arloji sambil bergumam kesal. Tatapannya jauh menanti Deny dari balik gerbang besar, tapi sayangnya ia sudah kehilangan kesabaran kali ini. Deny tak kembali.
"s**t! Lu sudah telat 5 menit, Den!" Gerutunya, mengambil ponsel lalu menekan kontak pria bernama Agus.
"Anjir! Gak ada sinyal!" Rey menggerutu lagi.
'Tok tok tok'
Rey menoleh kesamping dan melihat salah satu bodyguard Edo mengetuk jendela mobil. "Ada apa?"
Pria itu menunjuk Rey untuk menyuruh keluar.
Rey turun. "Ada apa?"
'Bugh'
Sebuah tinju menghantam tepat di perutnya. Ia jatuh berlutut sambil memegang perut menahan sakit. Sebuah pukulan yang tak ia sangka dan terlalu tiba-tiba.
"Ka--kalian--" Sambil menahan sakit Rey berusaha bangkit.
'Bugh'
Kali ini tubuh Rey tersungkur setelah sebuah tendangan melesat di punggung. Darah segar menetes dari sudut bibir. Ia berusaha bangkit, menyeka bibir dan terkejut melihat telapak tangannya berdarah.
"Sialan!" Umpat Rey walau suaranya pelan.
'Bugh--bugh--bugh--'
Dua pria itu menghajar tubuh Rey bertubi-tubi dan hanya meringkuk yang ia lakukan. Jika saja dalam keadaan pulih benar setelah operasi usus buntu tiga minggu lalu bisa dipastikan Rey membela diri, tapi tidak seperti sekarang.
Rey berusaha bangkit dengan sisa tenaga yang ada. Tubuhnya membungkuk dan terhuyung-huyung.
'Bugh'
Rey kembali terjatuh setelah untuk kedua kalinya tapak kaki itu mendarat di bekas jahitan operasinya. Pandangannya berkunang-kunang, mual dan gelap..
⚫⚫⚫
Deny perlahan membuka matanya dan terkejut melihat seisi ruangan yang remang-remang, bau dan pengap.
Kerangkeng.
Kata pertama yang terlintas dalam pikirannya sekarang.
Ya ! Ia terkurung dalam sebuah kerangkeng !
Ia bangkit dan duduk lalu meraba tubuhnya tanpa jaket, hanya kaos dan celana cargo.
"Damn!" Ia menggerutu kesal pistolnya berada di dalam saku jaket dan kini raib.
Ia kembali merogoh semua saku pada celana cargo nya dan tak satupun benda ia temukan disana. Dompet, ponsel dan belati.
"Mereka menyita semua barang-barang kamu."
Deny menoleh ke sumber suara tepat pada sudut belakang dinding.
Seorang wanita dengan gaun putih yang sudah kotor dan wajah cantik duduk menekuk kedua kakinya. Tak ada senyum hanya kesedihan yang terlihat dari kedua bola matanya.
"Kamu kenapa bisa ada disini?" Tanya Deny berusaha bangkit dan berjalan mendekati wanita itu.
"Sama sepertimu. Korban copdar dengan Edo." Jawabnya, mendongak melihat Deny yang berdiri di depannya.
Deny menunjuk ke arah wajah wanita itu berusaha mengingat sesuatu. "Kamu... Jeslyn?" Tebaknya dan yakin jika penglihatannya tak salah walau ruangan minim cahaya.
Jeslyn mengangguk pelan melihat Deny yang perlahan membungkukkan tubuh lalu duduk di depannya. "Dari mana kamu tahu nama saya?" Tanyanya, tak merasa memberitahu namanya tadi.
"Saya polisi. Kamu terdaftar dalam orang hilang dan kami bertugas untuk mencari kamu dan ketiga wanita yang lainnya." Terang Deny.
"Mereka udah gak ada." Seru Jeslyn.
Deny mengernyitkan dahi. "Mereka? Siapa?"
"Tia, Lala dan Dian. Dia sudah menjualnya ke bule kecuali Dian yang sudah tewas setelah Edo berhasil menembak kepalanya." Jawab Jesyln.
"Menjual? Apa maksudmu?"
"Human trafficking. Edo menjual mereka semua sesuai permintaan bule. Lala dibeli sama bule Amrik buat dijadiin p*****r sedangkan Tia nasibnya lebih beruntung dari yang lain. Bule Perancis bakalan jadiin dia lebih cantik terus di nikahin." Terang Jesyln lagi membuat Deny sedikit terkejut dan tak menyangka. Selintas ia teringat Mela yang keadaannya berbeda dengan Jeslyn.
"Lalu kenapa Mela bisa bebas sedangkan kamu--"
"Gak lama lagi Mela juga bergabung dengan kita. Kamu tunggu aja." Potong Jeslyn cepat.
⚫⚫⚫
"Apa kamu mengenal dia?" Tanya Leon begitu tiba di kamar Mela.
Ia menoleh ke belakang melihat Leon menutup pintu.
"Tidak." Jawab Mela, berbohong.
Leon memicingkan mata, tak percaya. "Oh ya? Kenapa kalian terlihat akrab? Saling melirik." Tuduh Leon yang yakin jika Mela mengenal pria tampan yang kini menjadi tawanan di ruang bawah tanah.
"Aku mempunyai mata dan wajar kalau melirik ke dia." Mela membela diri sambil membuang wajah kembali menatap ke bawah melalui jendela yang sudah terbuka.
"Ya kau benar, kau mempunyai mata tapi hanya untuk melihat aku." Ucap Leon mendekati lalu memeluk Mela dari belakang.
Mela bergidik merasakan hembusan nafas Leon yang hinggap di telinganya. Pria bengis itu berubah menjadi lembut tapi sayangnya ia bukan Edo yang mudah untuk dibujuk.
Mela kembali memutar otak untuk melarikan diri dari sana atau setidaknya bisa membebaskan Deny dan Jeslyn. Tapi belum mendapatkan celah kelemahan Leon.
"Apa kau akan menikahiku?" Tanyanya, basa basi.
"Ya. Kenapa apa kamu gak sabar kita menikah?" Leon balik bertanya.
"Apa kamu menjanjikan itu juga keempat wanita yang lain?" Mela masih tak percaya.
Leon menggeleng. "Tidak. Itu Edo bukan aku."
"Apa bedanya? Kalian satu tubuh dan semua orang di rumah ini juga tahu kalau kalian itu sama. Sama-sama kejam!" Tampik Mela, sengaja membuat kesal.
Leon merenggangkan pelukan lalu membalikkan tubuh Mela kasar. Ia merenggut pipi Mela dengan sebelah telapak tangan membuat bibirnya monyong kedepan. "Aku memang kejam bahkan bisa membunuhmu dengan cara aku mau!"
"Bahkan aku bisa memperkosamu sekarang juga!" Ucap Leon, keras.
Leon menarik tubuh Mela lalu menciumi bibirnya dengan nafsu. Sementara Mela berusaha mendorong d**a Leon tapi sayangnya pria itu berhasil mencengkram kedua tangannya.
Mela terus meronta dan membuang wajah menghindar dari ciuman Leon.
"Diam! Aku beri bukti kalau aku berbeda dengan Edo!" Bentak Leon, memegang wajah Mela dengan kedua tangan.
Mela melirik ke kanan melihat seperti guci kecil di atas meja tak jauh dari jangkauannya.
Leon memiringkan wajah bermaksud menciumnya lagi.
'Praang'
Leon terjatuh telungkup di lantai setelah Mela berhasil memukul kepalanya dengan guci kecil dan membuatnya berdarah.
"Mister.." Mela memanggilnya pelan tapi tubuh Leon bergeming. Tak ada sahutan.
Jantung Mela berdebar kencang, ia berpikir sudah membunuh Leon. Ia menjadi panik dan bingung harus melakukan apa.
Ia membungkuk memeriksa tubuh Leon. Pingsan. Leon hanya pingsan. Nadinya masih berdenyut.
Mela membalikkan tubuh Leon lalu merogoh saku celananya. Ia tersenyum lebar ketika mendapatkan sesuatu yang dicari.
Setelah mendapatkan, Mela berlari ke arah pintu dan meninggalkan Leon yang tergeletak dengan luka di kepala.
Mela terus berlari melewati lorong menuruni tangga menuju lantai satu. Tiba disana ia melihat Sophia dan beberapa pelayan membersihkan ruang tengah.
Ia berjalan pelan mengendap-endap agar luput dari penglihatan mereka.
Setelah merasa aman, ia kembali berlari lagi setelah membuang sepatunya di tangga.
Sepatu ! Ya, dia ceroboh dan meninggalkan jejak !
Mela berbalik arah. Saat akan kembali, salah satu pelayan menenteng dan memberikan sepatu itu kepada Sophia.
"Sial! Umpatnya. Tak ada waktu untuk membereskan masalah sepatu, ia tidak mempunyai waktu banyak untuk melarikan diri sebelum Leon siuman.
Mela kembali melanjutkan langkahnya melewati lorong panjang, setiap langkahnya membuat ketakutan sendiri jika usahanya gagal. Tapi di benaknya terajut beberapa rencana yang harus ia lakukan sekarang dan berharap Tuhan mengabulkan doanya lagi.
Langkah Mela terhenti di depan pintu bertuliskan 'Roommate'. Ia membuka lalu menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa seakan bom waktu mengejar seiring langkahnya.
Tiba di bawah Mela mengeluarkan kunci yang berhasil diambil dari Leon. Ada tiga anak kunci disana.
Ia mencoba kunci pertama, bergeming. Anak kunci itu tak berhasil membuka. "b******k!" Umpat Mela lagi dan mencoba memasukkan anak kunci kedua dan kembali mengumpat.
Mela menatap anak kunci yang ketiga lalu memejamkan mata. "Kumohon bantu aku, Tuhan." Ucapnya pelan lalu memasukkan dan…
'Ctek'
Pintu itu terbuka, bagai seekor kuda yang dilepaskan dari istal ia berlari menuju kerangkeng.
Derap langkahnya membuat Jeslyn dan Deny serempak menoleh ke arahnya.
"Mela!" Seru Jeslyn langsung bangkit dan mendekati Mela yang sibuk memasukkan anak kunci dan membukanya.
'Ctek'
Sekali lagi pintu itu terbuka. Jeslyn dan Deny berhamburan keluar.
"Sebaiknya kita pergi dari sini sebelum mereka kesini! Ayo!" Ajak Mela, raut wajahnya tersirat sejuta kecemasan. Sesekali ia menoleh ke arah pintu berharap tak ada seorang pun yang mengikuti jejaknya.
Sophia berlari diikuti dua pelayan lainnya. Tiba di depan pintu ia membuka pintu kencang.
'Braak'