S.O.S

2174 Words
"Sebaiknya kamu habisin makanan ini biar cepat sembuh dan kita bisa pergi dari sini, Jes." Ucap Mela menyodori suapan terakhir pada Jeslyn yang duduk sambil menyandarkan tubuh di dinding. Pandangan kedua matanya sayu tapi tubuhnya merasa lebih baik setelah perutnya terisi, hanya saja ia masih merasakan demam dan mulutnya terasa pahit. Jeslyn mengunyah dan menelan secara perlahan lalu mengangguk.  "Terima kasih, kamu sudah menolong aku.." Balas Jesyln, lemah. "Mela. Panggil aku Mela." Potong Mela. Ia bangkit lalu berjalan mengeluarkan nampan yang sudah kosong dan kembali lagi. "Apa kamu pacaran dengan Mister?" Tanya Jeslyn, teringat beberapa menit yang lalu Leon menggenggam tangannya erat seperti yang pernah ia rasakan ketika pertama kali tiba. Mela duduk disampingnya, ia sedikit ragu menjawab pertanyaan Jeslyn. Sekalipun Mela memberitahu tentang Edo yang mempunyai kepribadian ganda, tak kan ada seorang pun yang mempercayainya dan.. ia lebih memilih merahasiakannya ! "Ya. Kami baru jadian tapi…" "Dia berubah. Gak sebaik yang kamu kenal di i********:, 'kan?" Tebak Jeslyn. Mela melirik Jesyln dan mengerutkan dahi. "Ya." "Dan dia tiba-tiba nyuruh kamu panggil dia Mister juga, 'kan?!" Tebak Jeslyn lagi.  "Ya. Apa kamu juga mengalami hal yang sama?" Jesyln mengangguk. "Ya. Begitu juga dengan ketiga wanita yang lainnya. Kamu yang kelima." Mela tercengang mendengar jawaban Jeslyn. Ia baru mengetahui jika ia adalah wanita yang kelima yang dikencani Edo. Selintas ia teringat dengan umpatan Tia saat di acara 'Copdar star' bahwa Edo telah mengingkari janji untuk menikahinya dan lebih memilih menjual wanita itu pada orang asing. "Maksud kamu, Edo mengencani kita hanya untuk di jual ke orang bule itu?!" "Ya. Dia termasuk bagian sindikat perdagangan manusia. Aku dan kamu adalah korban. Cepat atau lambat kita pasti dijual. Dan kita gak bakalan bisa kabur dari sini, Mel." Tatapan Jesyln ke arah pintu. "Karena gak ada seorangpun yang bisa lolos dari dia." Sambung Jeslyn lagi. Mela terdiam menyimak ucapan Jesyln yang seketika membuat nyalinya kembali ciut. Ia memang mengetahui kejahatan yang Leon lakukan tapi apakah Edo juga minim belas kasihan ? Atau tak adakah kelemahan Leon yang bisa ia taklukan ? Setidaknya membuat Leon kembali terperangkap di sudut lain dan Edo kembali menguasai tubuhnya lagi. Karena baginya Edo mempunyai celah untuk ditaklukan tidak seperti Leon. ⚫⚫⚫ Rey menghentikan mobil tepat di depan sebuah rumah besar bertingkat tak jauh dari danau.  Didepan gerbang dua pria kekar dan Leon berdiri menyambut kedatangan mereka. Leon tersenyum lebar dengan tatapan tajam melihat Deny turun dari mobil dan melangkah mendekati. "Selamat datang di rumah saya, Pak Polisi." Sapanya sambil menengadahkan kedua tangan. Deny tersenyum tipis melihat pria tampan mirip Christian Ronaldo itu menyambut ramah kedatangannya. Tidak seperti dua pria yang berdiri di sampingnya. Leon mengulurkan tangan pertanda memperkenalkan diri sebagai pemilik rumah. "Saya Edoardo, pemilik rumah ini." Deny membalas dan menyalami Leon, ia berusaha mencari jawaban dan memastikan bahwa pria di depannya adalah adalah benar orang yang ia cari selama ini. "Deny." Sahutnya, membalas genggaman erat tangan Leon. "Sepertinya anda sudah mengetahui siapa kami dari mereka." Ucap Deny lagi melirik ke arah dua pria itu. Leon tertawa kecil sambil melepaskan genggamannya. "Oh..mereka bodyguard saya. Mereka mempunyai kewajiban untuk melindungi saya dari ancaman apapun walaupun orang itu--" Ia mengacung jari jempol dan telunjuk ke arah Deny. "Polisi." Sambung Leon lagi dengan tersenyum lebar. Deny tertawa mendengar ucapan Leon yang merasa terancam dengan kedatangannya disana. "Saya tidak mengancam anda, Pak Edo." Tampik Deny. "Kami hanya memastikan jika anda adalah pemilik rumah dan akun ini." Sambung Rey, berjalan mendekati mereka sambil memperlihatkan layar ponselnya. "Oh..itu memang benar akun saya dan di foto itu.. adalah rumah ini." Sahut Leon, kembali mengulurkan tangan. "Rey." Balasnya menggenggam tangan Edo. "Bagaimana kalau kita bincang-bincang di dalam sambil minum kopi atau.. segelas wine mungkin?" Tawar Leon mempersilahkan mereka untuk memasuki gerbang. Rey menoleh ke arah Deny yang mengangguk. "Secangkir kopi lebih baik di pagi ini, Pak Edo." Sahut Rey lalu melangkah bersama Deny mengikuti mereka. Tiba didalam rumah mereka disambut Sophia yang tersenyum dan menundukkan kepala. "Buatkan kami tiga cangkir kopi." Pinta Leon ketika melintasinya. "Baik, Tuan." Balas Sophia, tak lama ia berjalan menuju dapur. "Wow!" Ucap Rey, takjub melihat isi dalam rumah Edo yang bernuansa klasik. Beberapa foto lama terpajang di dinding dan bermacam barang antik juga ada disana. Rey mengambil beberapa gambar, ia berencana akan mempostingnya nanti setelah berhasil memastikan dan menangkap jika pemilik rumah klasik itu adalah benar tersangka yang mereka duga sebelumnya. "Anda masih muda tapi sudah memiliki rumah sebagus ini? Terus terang saya iri melihatnya." Ucap Deny menyamai langkahnya bersama Edo yang berjalan melewati lorong dan terhenti pada sebuah halaman belakang rumah yang sudah terdapat beberapa kursi disana. "Silahkan duduk." Pinta Leon pada mereka berdua. Deny duduk tapi kedua matanya menyusuri setiap sudut halaman sembari memperhatikan suasana yang dianggap mencurigakan, tapi sayangnya tak ada. "Sebenarnya dalam rangka apa kalian berkunjung ke rumah saya?" Tanya Leon memulai percakapan. Ia menyodori sebungkus rokok pada mereka berdua. Deny mengambil sebatang. "Tidak ada urusan penting. Kami hanya penasaran dengan rumah yang ada di postingan anda, seperti berada di luar negeri." Jawabnya, berdusta. Ia menyulut rokok sambil menatap Leon yang tak mempercayai ucapannya. "Itu sebabnya saya membangun rumah ini dua tahun lalu. Hutan Pinus ini sudah membuat saya jatuh cinta lagi pula--" Ia menghentikan ucapannya lalu mengambil sebatang rokok. "Saya menyukai suasana tenang tidak seperti di Jakarta." Sambung Leon lagi dengan rokok terselip di bibirnya. Rey menoleh kekanan dan kiri. "Saya gak melihat wanita lain selain ibu-ibu tadi. Apa Pak Edo masih jomblo seperti saya?" Leon tertawa mendengar pertanyaan pria berambut gondrong dan berkacamata itu terdengar lebih santai daripada pria tampan yang duduk di depannya. "Saya masih single dan sayangnya tidak jomblo seperti anda." "Apa wanita yang bernama Jesyln Angelic itu kekasih anda?" Potong Deny membuat Leon menghentikan tawa dan berganti menatapnya serius. "Ini kopinya, Tuan." Suara Sophia memutuskan pandangan Leon terhadap Deny yang berusaha menunggu jawaban dari mulutnya. Sophia menyuguhkan tiga cangkir di atas meja sesudahnya Leon membisikkan sesuatu dan wanita paruh baya itu mengangguk lalu pamit. ⚫⚫⚫ Mela dan Jeslyn serempak menoleh ke arah pintu yang terbuka dan terlihat Sophia berjalan masuk sambil menenteng sebuah plastik. "Sebaiknya ganti gaun anda dengan ini." Pinta Sophia, menyodori bungkusan plastik melalui celah teralis pada Mela. "Gaun putih lagi? Untuk apa? Apa Leon akan menjualku hari ini?!" Tanya Mela, ia bangkit lalu berjalan mengambil bungkusan itu dan membukanya. Ya ! Yang ia duga memang benar. Sehelai gaun putih sepanjang lutut dengan model kerah Shanghai dan tak berlengan. "Saya tidak tahu. Saya hanya bertugas memberi dan menyuruh Anda memakainya sekarang juga." Jawab Sophia sambil menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Sesaat Mela terdiam. "Bukankah ini kesempatanku untuk bisa melarikan diri dari sini? Semoga Tuhan memihakku kali ini!" Ucapnya dalam hati sambil berlalu menuju kamar mandi. ⚫⚫⚫ 'Tuk--tuk--tuk--' Suara sepatu Mela memecah keheningan di sepanjang lorong menuju halaman belakang rumah. Sophia berjalan di depannya dengan langkah lugas. Dadanya yang sedikit membusung begitu juga wajah yang terangkat sedikit seperti memberitahu Mela bahwa selain Edo dialah penguasa rumah ini. Sepanjang Mela melangkah sejak dari ruang bawah tanah hingga saat ini, pikirannya bercabang memikirkan rencana Leon yang tak ia ketahui begitu juga dengan niatnya untuk melarikan diri dari rumah itu. "Apa dia mau ngejual gue ke bule itu? Atau dia mau antar gue pulang karena kasihan lihat gue terus memohon atau--" Mela menggelengkan kepala untuk tidak berpikir yang tidak-tidak. Baginya terlepas dari ruangan itu adalah sebuah peluang dan selanjutnya ia harus memikirkan cara untuk merayu Leon untuk membiarkannya pergi dari rumah itu. Walau dengan cara ekstrem.. Mela menghentikan langkah begitu tiba di halaman belakang rumah. Disana terdapat tiga pria yang berdiri membelakanginya, menatap danau dari balik pagar teralis yang tingginya hampir 3 meter. "Tuan, Nona sudah datang." Ucap Sophia membuat mereka bertiga membalikkan tubuh menatap Mela. "Kemari, Sayang." Pinta Leon dengan tatapan teduh, tidak seperti biasanya. Deny terperanjat melihat wanita cantik dengan gaun putih berdiri tak jauh darinya sambil tersenyum sedikit dipaksakan. Seorang wanita yang pernah ia pacari 4 tahun yang lalu dan harus berakhir karena keegoisannya walau hingga kini masih berharap untuk kembali bersama. Tapi sayangnya keinginan Deny pupus lah sudah ketika pria pemilik rumah dan terduga tersangka penculikan itu memanggilnya dengan kata 'Sayang'. Tidak hanya Deny, Mela pun terkejut melihat mantan kekasihnya berdiri disamping Leon. Entah Tuhan mengabulkan doanya atau sebuah kebetulan saja tapi yang pasti ia mempunyai peluang besar untuk melarikan diri walau harus dengan pria yang sudah mencampakkannya. Untuk menyembunyikan bahwa mereka saling mengenal, Mela bersikap seolah tak mengenal Deny. Ia berjalan mendekati Leon yang sudah mengulurkan tangan. Mela menggenggam tangan Leon. "Perkenalkan ini kekasih saya. Namanya--" "Melani Bastian." Potong Mela, melepas genggaman lalu mengulurkan tangan ke arah Deny. Rey sempat terkejut dan menunjuk ke arah Deny. "Ini cewek--" "Sstt--" Potong Deny dengan suara pelan dan membuat Rey mengangguk paham. Deny menyalami Mela dengan wajah datar. "Deny." Ucapnya. Mereka saling memasang wajah seolah tak saling mengenal walau dengan tujuan berbeda. "Dialah kekasih atau calon istri saya, Pak polisi. Saya tidak mengenal wanita yang bernama Jes--" "Jeslyn Angelic." Potong Deny, pandangannya lekat pada Mela yang terdiam dengan raut wajah seakan ingin memberitahu sesuatu. "Ya. Jeslyn." Sambung Leon. "Kami rencana akan menikah bulan depan."  "Apa? Bulan depan? Ada juga lu jual gue ke bule itu!" Ucap Mela dalam hati. Leon kembali mengajak mereka untuk duduk dan menghabiskan kopi yang tersisa setengah cangkir. Mela duduk disampingnya, sesekali ia melirik ke arah Deny. Ia sedang mencari cara untuk mendapatkan perhatian Deny bahwa ia membutuhkan pertolongan tapi sayangnya Deny bersikap acuh tak berubah seperti dulu. "Saya mendengar suara senapan beberapa jam yang lalu dari sini. Apa itu senapan milik anda?" Tanya Deny melirik ke arah senapan angin yang bersandar pada dinding rumah. Leon mengepalkan tangan dan pandangannya beralih ke arah Sophia yang tertunduk merasa bersalah.  Leon tertawa kecil menutupi kecerobohannya. "Rata-rata pengunjung disini membawa senapan untuk berburu atau sekedar berjaga-jaga dari hewan buas." Sanggah Leon. Ia berusaha setenang mungkin menjawab pertanyaan Deny yang terdengar seperti sedang mengintrogasinya. "Apa sebebas itu, Pak Edo? Saat kami dalam perjalanan menuju kemari dua anggota Bapak menghadang kami bahkan sempat mengancam kami agar--" "Anda mau kopi lagi, Pak Deny? Sepertinya kopi anda sudah habis." Potong Leon, mengalihkan pembicaraan. "Aku mau ke toilet dulu." Celetuk Mela sambil bangkit dari kursi. "Jangan lama-lama, Sayang." Pinta Leon sementara Mela berlari kecil menuju toilet yang letaknya hanya 10 meter dari mereka. "Ada lagi yang mau kalian tanyakan ke saya? Saya harus pergi ke suatu tempat sekarang." Tanya Leon, bangkit dari kursi sambil melihat arlojinya. "Tia Anastasia. Apa anda juga gak mengenalnya?" Cecar Deny lagi. Leon menoleh ke arah mereka berdua kali ini pandangannya serius, tangannya terkepal kesal.  "Tidak. Aku tak mengenal wanita manapun selain Melani Bastian dan pengurus rumah ini. Jika kalian terus menanyai aku tentang wanita-wanita itu sepertinya kalian salah orang dan alamat. Sebaiknya aku antar kalian menuju pintu keluar." Sahut Leon dengan nada tegas. Deny dan Rey bangkit sambil berpandangan.  "Tidak perlu, Pak Edo. Kami tahu pintu keluarnya kok." Ucap Rey, sedikit kecewa pada Deny yang terlalu mengintimidasi Edo dan merasa misinya gagal di tengah jalan. Rey mengulurkan tangan pada Edo. "Kami permisi dulu dan terima kasih untuk kopinya." Pamitnya. Edo menyalami walau dengan minim senyum. Saat bersalaman dengan Deny ia mengucapkan sebuah kalimat yang membuat polisi itu menyunggingkan bibir. "Untuk pertemuan kedua kita, aku pastikan kau mendapatkan semua jawaban tadi. Itupun jika kalian selamat sampai tujuan." Bisik Edo. Deny melepaskan genggamannya. "Tentu, Pak Edo. Kami pasti selamat di tujuan, karena anda--" Ia membuang wajah sambil tertawa kecil lalu kembali menatap Leon lagi. "Orang baik." Sambung Deny lagi. "Silahkan lewat sini." Pinta Sophia, memandu mereka berjalan menuju arah pintu yang sama saat mereka masuk tadi. Saat baru beberapa langkah, mereka berpas-pas an dengan Mela yang baru saja keluar dari toilet. Deny melirik menatap Mela yang tak bicara dan melangkah pelan menuju Leon yang masih di tempat sebelumnya. "Aww--" Kaki Mela tersandung, untungnya dengan cepat Deny memegang lengan Mela membuat wanita itu bisa menjaga keseimbangan. "Kamu gak apa-apa?" Tanya Deny, sementara Mela hanya menggeleng lalu berlari kecil ke arah Leon. Deny terdiam melihat Mela berlari meninggalkannya,  yang membuatnya terheran bukan karena Mela tak menjawab pertanyaannya melainkan ia menerima secarik tisu. Ia menggenggam lalu menaruh tisu itu ke dalam saku celananya. Tiba di depan gerbang dua pria kekar tadi kembali berdiri. Kali ini mereka mengacuhkan kepergian Deny dan Rey setelah menaiki mobil. Tak lagi mengancam. Deny mengemudikan mobil dengan pelan. Ia menoleh ke arah Rey yang berwajah masam. "Kenapa muka, Lu? Lecek banget kayak baju belum digosok!" Tanya Deny, menggoda Rey. Pria berambut gondrong itu menggeleng dan menghela nafas berat. "Lu terlalu to the point, Den! Selangkah lagi kita menyelidiki tempat itu tanpa elu banyak tanya ke dia." Sahut Rey, menyalahkan Deny yang dinilai terlalu gegabah. Deny tertawa kecil. "Tenang aja, Bro. Gue punya rencana laen." Sahutnya santai sambil merogoh saku celananya dan mengambil secarik tisu yang diberikan oleh Mela tadi. Deny membuka lipatan tisu dan terkejut melihat tiga huruf yang tertulis dari goresan lipstik. Tiba-tiba ia membanting stir dan kembali ke arah sebelumnya. Menuju rumah Edoardo. "s**t!" Umpat Deny. Rey melongo tak mengerti Deny melajukan mobil dan kembali ke sana. Ia merebut tisu itu lalu  membaca isi tulisannya. 'S.O.S'                       
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD