Don't be Panic

2397 Words
 'Door--' Deny dan rombongan traveller serempak menoleh ke arah utara setelah mendengar desingan suara senapan angin. Mereka semua saling berpandangan dan bertanya apa yang baru saja mereka dengar. Begitu juga dengan Deny dan Rey. "Tolong kalian urus bangkai serigala ini. Kami harus kesana dulu." Seru Deny pada mereka. Ia melirik ke arah Rey. "It's time to work, Rey.(Saatnya bekerja, Rey)." Ujarnya lagi lalu berlari ke arah utara diikuti Rey. ⚫⚫⚫ Mela membuka mata pelan dan melihat Leon tertawa terbahak-bahak sambil menyandangkan senapan di bahunya lagi. "Kenapa kau kaget?! Kau pikir aku akan menembakmu?" Ledek Leon berusaha menghentikan tawanya. Mela menghembus nafas lega dan menepuk dadanya pelan. Ia masih bersyukur masih bisa hidup karena ia tahu Leon bisa membunuhnya sewaktu-waktu. Sekalipun niat itu hanya berawal gurauan. "Aku akan menembakmu tapi tidak sekarang karena Edo terus memohon untuk tidak menyakitimu. Dia sangat menyukaimu tapi sayangnya sekarang dia tak bisa kembali lagi, karena aku--" Leon menepuk dadanya yang bidang hanya dilapisi kaos slimfit berwarna putih. "Pemilik tubuh ini sekarang dan selamanya. Jangan berharap kau bisa menemui Edo lagi, dia tidak pantas untuk berdiri disini dan memilikimu karena kau hanya milikku, Nona Melani!" Ujar Leon lagi. Ia telah menjadi pemenang berhasil memiliki tubuh Edo dan membiarkan pria lemah itu terkurung pada sebuah ruangan sempit yang selama ini mengurungnya. Tapi tidak untuk sekarang, ia leluasa memakai tubuh Edo untuk selamanya. Mela menundukkan pandangannya. "Apa yang membuatmu ingin memilikiku? Aku tak cantik dan bukan anak orang kaya yang bisa memberimu uang tebusan." Sahutnya tak peduli dengan respon Leon yang mungkin akan menakuti atau mengancamnya lagi. Leon menjatuhkan senapan diatas rumput lalu mendekati dan mengapit tubuh Mela dengan kedua tangannya yang kekar. Mela tak sanggup memandang wajahnya karena ia tahu pria itu pasti menatapnya sambil menyeringai.  "Kau bukan korban penculikan, Nona. Tapi kau adalah milikku yang sewaktu-waktu bisa aku campakkan jika aku sudah bosan. Camkan itu!" Ancam Leon untuk kesekian kalinya, dan hanya umpatan dalam hati yang bisa Mela lakukan walau ingin sekali ia memaki atau melayangkan sebuah tamparan pada wajah tampan Edo, pemilik tubuh yang sesungguhnya. Leon meraih tangan Mela lalu menariknya dengan paksa masuk kedalam rumahnya. "Ikut aku dan kau akan tahu bahwa kau bukan satu-satunya milikku." Ucapnya.  "Tunggu, Mister. Kau mau membawaku kemana?" Tanya Mela tak tahu arah tujuan Leon lagi. Ini kedua kalinya di pagi hari pria bengis itu menarik tangan Mela dengan paksa, dan untuk kedua kalinya juga ia tak dapat menolak selain menyetujui dan mengikuti langkah Leon. Tiba di pintu utama Leon memberikan senapan itu kepada Sophia yang sudah memberi hormat dan menundukkan kepala. Wanita separuh baya itu sempat melirik ke arah Mela sambil menyunggingkan bibir dan berharap terjadi sesuatu menarik di antara mereka, seperti yang Edo atau Leon lakukan pada keempat wanita sebelumnya. Leon dan Mela terus berjalan hingga ke ujung ruangan dan terhenti tepat pada sebuah pintu yang bertuliskan 'Roommate'. Leon membuka pintu sementara tangan lainnya masih menggenggam Mela. "Kita mau kemana, Mister?" Mela penasaran begitu pintu itu terbuka ia berada di sebuah tangga menurun dan minim cahaya. Seperti menuju ruang bawah tanah. "Kau akan tahu begitu tiba disana." Sahut Leon tanpa menoleh dan terus menuruni anak tangga. Mela berhati-hati dalam melangkah, dengan mengenakan gaun putih dan high heels setinggi 5 centimeter ia tak leluasa berjalan. Kedua telapak kakinya lecet sejak kemarin dan harus menahan sakit ketika berjalan. Ingin rasanya ia membuang sepatu itu dan bertelanjang kaki, begitu juga dengan gaun putih yang selama dua hari ini ia kenakan walau dengan model yang berbeda. Ia merindukan celana jeans, blouse kesayangan dan sneakersnya. Tak hanya itu ia juga merindukan ayahnya yang sudah pasti mengkhawatirkannya karena tak kembali ke rumah. Kini ia tak takut lagi membayangkan makian ayahnya, tapi berada di rumah besar di tengah hutan, dikelilingi orang aneh dan jahat adalah ketakutannya saat ini. Terlebih lagi dengan pria yang berjalan di depannya sekarang. Tiba dibawah, Leon kembali membuka pintu. Semerbak aroma tak sedap, udara yang pengap dan cahaya remang-remang menyapa kedatangan mereka. Mela tercengang melihat sebuah kerangkeng berada disana dan seorang wanita cantik bergaun putih terbaring di lantai. Wanita itu atau Jeslyn bangkit lalu terduduk sambil terheran menatap Mela yang bergandengan tangan dengan Leon. "Siapa dia?" Tanya Mela penasaran, menoleh ke arah Leon yang menyeringai menatap Jesyln. "Jesyln. Dia cantik bukan?" Jawab Leon melirik ke arah Mela. "Ya. Mengapa kau mengurungnya di sini? Apa kesalahannya?" Sekali lagi Mela bertanya dan meminta penjelasan agar ia nantinya tak senasib dengan Jeslyn yang berjalan pelan ke arah mereka dengan muka kusut dan langkah gontai. Leon tertawa, mendengar pertanyaan Mela yang naif membuatnya makin tertarik. "Karena aku sudah bosan padanya, begitu juga dengan Edo. Dan dia tidak memiliki apa yang kau miliki.." "Apa?" Potong Mela, makin penasaran. Leon memegang pipi Mela sambil tersenyum tipis dan pandangannya berubah menjadi serius. "Virgin. Dia sudah tak perawan lagi, tidak seperti kau."  Mela membuang wajahnya yang merah padam. Ia tak tahu dari mana Edo atau Leon mengetahui jika dirinya memang masih perawan tapi apakah hanya bosan dan tidak perawan yang menyebabkan Jeslyn menjadi tawanan? Lalu apa karena ia masih perawan, Leon berniat menjualnya dengan harga mahal pada orang asing seperti acara tadi malam? Sungguh, Mela merasa tak ada sesuatu yang menguntungkan untuk tinggal di kerajaan Leon karena tak ada ubahnya sebagai tawanan yang sewaktu-waktu hidupnya terancam, seperti Tia dan Jeslyn. "Keluarkan aku dari sini, Mister.." Pinta Jesyln dengan lirih, wajahnya pucat dan tubuhnya lemah. Tiba-tiba ia jatuh berlutut dengan kepala tertunduk dan kedua tangannya mencengkram teralis. Mela spontan berjongkok dari balik teralis. "Hei kamu gak apa-apa?!" Tanyanya khawatir menatap Jeslyn melirik dengan tatapan meminta iba. Mela mendongak melihat Leon yang hanya menyeringai tak peduli. "Lepasin dia, Mister. Aku mohon…" Pintanya.  Leon menggeleng. "Tidak, kau tak perlu cemas, Mel. Dia baik-baik saja."  Mela bangkit dan berdiri. "Apa maksudmu dia baik-baik saja? Lihatlah wajahnya pucat dan dia kelihatan lemah. Mungkin saja dia sakit. Bukankah kau akan menjual wanita ini pada orang asing itu? Jika keadaan dia seperti ini takkan ada orang bule yang mau membelinya!" Ujar Mela dengan nada kasar. Kali ini ia tak perduli lagi dengan respon Leon yang kemungkinan akan murka padanya. Leon tertawa dan bertepuk tangan menanggapi ucapan Mela. "Kau hebat! Ternyata kita sama, Mel." "Apa maksudmu?" Potong Mela. Leon menghentikan ucapannya dan kembali pada sikap aslinya yang serius dan bengis. "Dua hari kau berada disini ternyata sudah pintar menilai aku dan usaha yang aku lakukan." Ia berdecak sambil menggeleng. "Maka dari itu tolong kau keluarkan dia dari sini. Setidaknya biarkan dia sehat. Tidak seperti ini. Aku mohon.." Kali ini Mela memohon lirih. Tak tega melihat wanita sebaya dengannya dengan keadaan tak terurus, lemah dan berada di tempat yang tak layak huni. Leon mengangguk pelan. "Aku tak akan mengeluarkan dia tapi karena kau bersikeras memohon padaku, maka kau---" Tangan Leon mengambil sesuatu dari saku celana jeans. Sebuah kunci. Ia membuka lebar pintu kerangkeng lalu menarik tangan Mela dan mendorong masuk kedalamnya. "Aww--ada apa ini?!" Mela tak mengerti Leon mendorongnya masuk lalu kembali mengunci pintu. "Mulai sekarang kau akan merawat dia. Jika dia sudah membaik aku akan mengeluarkanmu dari sini." Balas Leon, tertawa kecil lalu membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkan mereka disana. Mela mengetuk-ngetukan tangan di kerangkeng. "Hei, bagaimana aku merawat dia sementara tak ada obat atau makanan untuknya?!" Ucap Mela setengah berteriak. Leon melambaikan tangan sambil terus melangkah menuju pintu. "Kau tunggu saja. Aku akan mengirim Sophia sebentar lagi." Sahutnya tanpa membalikkan tubuh. 'Braak' "s**t! Dasar b******k!" Umpat Mela setelah melihat Leon menutup pintu dengan kencang. Mela berjongkok memegang kedua bahu Jesyln. "Kamu--" Mela menghentikan ucapannya setelah merasakan tubuh Jeslyn tidak dalam keadaan baik. "Demam. Kamu sudah makan?"  Jeslyn menggeleng lalu merebahkan tubuh di lantai. "Belum. Mereka memberi aku sarapan jam 1 nanti.." Sahut Jeslyn, lemah. Mela membelalakan matanya. "Apa? Jam 1 bukan sarapan tapi makan siang!" Protes Mela mendengar jawaban Jeslyn yang membuatnya kesal kepada Leon dan kini ia makin kesal harus terkurung di tempat itu. "Dasar Leon k*****t! Teganya dia nelantarin kamu disini!"  Mela memegang dahi Jesyln yang makin hangat. Ia memutar otak untuk membantu Jeslyn sembari menanti kedatangan Sophia. "Kamu harus sembuh dan bertahan, Jes. Boleh aku memanggil kamu Jesy?" Jesyln mengangguk lemah, ia tak peduli Mela memanggil namanya dengan panggilan Jesy, yang ia harapkan saat ini adalah bisa bertahan dan keluar dari kerangkeng yang sudah mengurungnya selama seminggu. Walau harapannya mustahil terkabul. Mela bangkit dan berdiri. Ia membuka sepatu lalu berjalan ke dinding belakang, tak ada kain selain handuk yang menggantung di dekat dinding kamar mandi dan curtain shower. Ia menunduk melihat gaunnya yang sepanjang lutut lalu merobek bagian bawah, membasahi dan menaruh di atas dahi Jesyln. "Kamu harus sembuh, Jes. Kita pasti bisa keluar dari sini!" Ucap Mela, optimis dan yakin bisa melarikan diri walau belum mendapatkan cara dan peluang untuk saat ini. ⚫⚫⚫ Deny dan Rey berhenti melangkah begitu menemukan ujung jalan itu mengarah pada sebuah danau. Samar-samar mereka melihat sebuah rumah besar berada dibalik tepian danau seberang sana. Deny mengambil teropong dari saku ransel lalu mengeker . "Yes! Akhirnya kita bisa nemuin tuh rumah!" Seru Deny dengan senyum lebar. Rey merebut teropong dan mengintipnya. "Lu bener, Den. Rumah itu sama persis yang ada di postingan si Mister." Timpal Rey, tak kalah bahagianya menemukan rumah yang disinyalir pelaku penculikan keempat wanita yang telah menghilang sebulan terakhir. "Tapi gimana caranya kita kesana? Gak mungkin kita harus berenang. Lu tau gue gak bisa berenang.." Ucap Rey seketika menjadi tak bersemangat melihat danau didepan, memang hanya berjarak sekitar 1 kilometer tapi bagi Rey itu bisa menjadi mimpi buruk seumur hidupnya. Deny berkacak pinggang, helaan nafasnya memberi pertanda pada Rey jika ia sedang berpikir. Mencari jalan pintas selain menyebrangi danau. "Aha!" Deny menjentikkan jarinya dan membuat Rey terkejut. "Mana drone punya lu? Coba lu selidiki jalan pintas pake drone. Gue yakin kita dapetin jalan lain selain harus nyebrangin danau ini." Ucap Deny dan Rey menyambutnya dengan senyum lebar. "Gue setuju sama ide lu, Den! Berarti gak sia-sia gue bawa drone ke sini." Balas Rey sambil membuka ransel dan mengambil drone. Rey mulai mengoperasikan drone kesayangan dan memantau suasana hutan pinus, sekitar 15 menit kemudian mereka menemukan jalan pintas yang dapat membawa menuju tempat itu.  "Come on, Den! Saatnya kita beraksi!" Ujar Rey. ⚫⚫⚫ Mela kembali membasahi kain yang digunakan untuk mengompres dahi Jesyln. Ia menoleh setelah mendengar pintu ruangan terbuka dan Sophia berjalan membawa nampan berisi makanan. Mela mengompres Jeslyn yang tertidur. Ia menatap sinis Sophia yang berjalan mendekati sambil tersenyum tipis. "Ini." Ucap Sophia, menyodorkan nampan pada tempat biasa. "Apa kau tidak bisa membuka pintu ini? Dia takkan melarikan diri. Kau lihat--" Ucap mela menunjuk Jeslyn yang tertidur sambil meringkuk. "Dia demam!" "Itu bukan urusan saya, Nona." Potong Sophia. "Saya hanya di tugaskan untuk membawa makanan. Bukan membuka pintu ataupun memberinya obat. Harusnya anda bersyukur Mister mengabulkan keinginan anda untuk memberi Jeslyn sarapan, biasanya kami hanya memberi sarapan tepat pada jam makan siang." "Kalian jahat! Kalian berniat menjual wanita ini tapi menyiksanya dengan cara seperti ini! Apakah kau seorang ibu? Apakah kau pernah merasakan bagaimana rasanya anakmu tak diperlakukan layaknya manusia oleh orang lain?!" Potong Mela, kesal. Wajahnya memerah karena kesal melihat Sophia tak bisa berbuat lebih untuk membantunya sekarang terlebih lagi wanita separuh baya itu hanya menuruti semua perintah Leon yang kejam. Sophia berdehem berusaha tenang mendengar umpatan Mela, ia mengangkat dagunya. "Terserah penilaian anda tentang saya, Nona. Saya hanya menjalankan perintah dari Mister dan orang yang patut untuk saya turuti hanya dia." Ia membela diri dan semakin membuat Mela gusar dan mengepalkan tangannya  "Dasar monster!" Hardik Mela membuat Jesyln terjaga mendengar suaranya yang keras. Wanita paruh baya itu hanya tersenyum tipis dan acuh. "Saya permisi." Pamit Sophia sambil membalikkan tubuh dan meninggalkan mereka. Baru beberapa langkah berjalan ia kembali membalikkan tubuh dan menatap sinis ke arah Mela. "Kami memang monster, sebaiknya anda pikirkan cara untuk keluar dari sini, walau itu mustahil. Jika pun anda bisa keluar dari kerangkeng dan rumah ini kawanan serigala siap memakan kalian hidup-hidup!" Ancam Sophia lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju pintu. "Dasar b******k!" Umpat Mela lagi. 'Braak' Sophia menutup kencang pintu dan berlalu meninggalkan mereka sambil tersenyum lebar. Ia menaiki tangga sambil bersenandung seakan hari ini adalah hari yang membahagiakan. Hari yang ia nanti.. ⚫⚫⚫ Rey mengendarai mobil sambil mengingat rute jalan yang berhasil mereka pantau melalui drone. Tempat itu memang memakan waktu lumayan lama untuk menemukan jalan yang bisa ditempuh melalui kendaraan.  Tiba di tengah perjalanan sebuah motorcross yang berisikan dua pria berbadan kekar yang menghentikan laju mobil mereka. Salah satu dari pria itu turun lalu mengetuk kaca mobil. "Ada apa?" Tanya Deny sembari membuka jendela mobil menatap sinis pria berkepala plontos yang melototinya. "Kalian dilarang memasuki kawasan ini, sebaiknya kalian pergi dari sini?!" Ucap pria itu dengan nada kasar. Deny menyungingkan bibir menatap pria itu. Ia berusaha sabar karena kehadiran dua pria itu adalah awal cobaan untuk menyelesaikan kasus yang sedang mereka jalani sekarang. "Siapa yang melarang? Ini jalan umum, Bung!" Protes Deny lalu turun dari mobil. Ia menunjuk ke arah belakang. "Disana gak ada rambu yang memberitahu kalau jalan ini tertutup untuk umum. Lagi pula kami punya hak untuk kesini." "Siapapun kalian tidak berhak melewati jalan ini!" Potong pria itu lagi. Deny tertawa kecil lalu mengeluarkan lencana dari balik jaket. "Apa polisi juga tidak berhak?!" Ucapnya dengan sedikit sombong dan kesal. Pria berkepala plontos itu menoleh ke arah kawannya yang masih menduduki sepeda motor yang seakan memberi kode 'Biarkan saja' pada Deny dan Rey. Pria itu menunjuk ke arah wajah Deny. "Saya pastikan kalian bertemu saya lagi dan kalian pasti menyesal!" Ancamnya lalu kembali menaiki sepeda motor. Dua pria itu melaju motor dengan kencang memasuki hutan, suara knalpot memecah keheningan di hutan Pinus dan tak lama terdengar gonggongan serigala. "Segitu aja lu takut!" Gumam Deny sambil menaiki mobil lagi. "Kenapa, Rey?" Deny terheran menatap wajah Rey memucat setelah mendengar suara gonggongan. "Serigala. Lu denger tadi bukan suara anjing tapi serigala!" Seru Rey, wajahnya mulai dibasahi keringat dingin. Deny mengambil pistol dari balik jaket. "Selain buat melumpuhkan tersangka, fungsi pistol untuk melindungi kita, Rey."  "So, don't be panic okey?!(jadi, jangan panik ya?!)"  Rey mengacungkan jempol menyetujui ujaran Deny yang memberinya semangat dan keberanian setiap kali nyalinya ciut.  "Itulah juga gunanya temen. Ngasih gue semangat!" Sahut Rey, kembali melajukan mobil mengikuti arah motor tadi. ⚫⚫⚫ "Apa?! Polisi? Berapa orang?" Tanya Leon melalui panggilan ponselnya. Ia berdiri memandang danau dari atas balkon. "Biarkan saja mereka datang ke rumahku karena aku akan menyambut mereka seperti tamu kehormatan. Aku pastikan mereka betah dan---" "Takkan kembali!"            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD