BAB 3 : Maira Shanum - 2006 (Bagian 2)

1046 Words
Maira tiba disekitaran rumahnya. Porak poranda semuanya, pepohonan tumbang, tanah bergulung, batu terguling ke mana-mana. Angin yang menyentuh kulitnya juga amat terasa dingin. Maira tak sanggup menerjemahkan apa yang telah dilihatnya. “Mai, ikut paman. Ayo!” ajak salah seorang tetangganya. Maira tidak menolaknya. Ia pun naik ke motor pria itu. “Paman, apa yang terjadi? Ayahku di mana?” tanya Maira. “Paman gak tau. Kondisinya sangat kacau, anak paman juga gak nampak sejak kejadian tadi.” “Paman bisa antar Maira ke rumah?” tanyanya. “Gak bisa, semua rumah hancur. Kau tidak bisa ke sana.” “Lalu aku harus ke mana mencari Ayahku?” Pria itu terdiam. “Ikuti paman, sekalian paman mau nyari si Mikael.” “Iya, Paman.” Maira tetap mencari ayahnya di saat pria itu mencari anaknya. Maira tidak mengerti harus mencari ke mana. Menurut kabar, tidak ada di penampungan nama ayahnya. Dia juga tidak melihat ayahnya sejak tadi. Maira menangis, mengais reruntuhan dengan kayu yang ia dapat. Mencari ke segala arah. Akibat terburuk sudah dalam benak Maira. “Ayah, Ayah di mana?” Pria yang mendengar tangisan Maira segera mendatanginya. Memeluk anak itu dan menyabarkannya. Sampai mentari terbenam, mereka tak kunjung menemui yang dicari. Pria itu membawa Maira ke penampungan. Beruntungnya, Mikael ada di sana. Mereka saling berpelukan. Sementara Maira? Belum menemukan ayahnya. Maira mendatangi meja pendataan di tenda darurat. Ia bertanya pada salah seorang ibu yang duduk di baliknya. “Bu, maaf. Saya boleh nanya, ada gak korban selamat atas nama Sutrisno?” tanya Maira. “Sebentar ya, Nak.” Maira mengangguk, menyeka air matanya yang sudah keluar dari tadi hingga matanya bengkak. Seonggok bola masih tertahan di lehernya. Ia rasanya ingin menjerit bila ternyata tidak ada nama ayahnya di sana. Wanita itu menggeleng. “Nak, maaf. Tidak ada nama Sutrisno di sini. Hanya ada Sularni.” Maira mengalirkan deras mutiara bening itu. Hingga ia berjongkok dan terisak perih. Wanita yang tadi merasa sedih dan mendatangi Maira. “Nak, ibu kamu mana?” tanyanya. “Aku hanya punya ayah saat ini, tapi kenapa Allah mengambilnya juga? Apa Allah gak puas dengan mengambil ibuku?” “MasyaAllah.” Wanita itu ikut mengucurkan kesedihan akan penderitaan Maira. “Sabar, Nak. Mungkin ayahmu masih hidup, hanya saja masih belum kemari,” hibur wanita itu. Maira duduk seorang diri di depan tenda penampungan. Menatap ke semua tempat, berharap ayahnya mencari dia dan mereka bisa segera bersama kembali. Namun, hingga beberapa hari tidak ada kabar apa pun. Maira diajak oleh seseorang yang tidak ia kenal. Tinggal bersama sambil membantunya berjualan. Tanpa uang sewa, ia tidur di kafe dan makan gratis. Begitulah yang terjadi sebelum Maira bertemu dengan Oma Fani. Ingatan terhenti. Sosok Maira yang polos dan hangat mewarnai kehidupan Oma dan Opa. Ketulusan hati Maira mengurus dan merawat mereka benar-benar seperti nenek dan kakek kandungnya. Mereka pun sangat senang. Kasih sayang Oma pada Maira bagaikan anak sendiri, tanpa lelah mereka mengajarkan arti kehidupan pada Maira yang masih sangat polos. Sebagai antisipasi jahatnya dunia bagi mereka yang tak paham menerima segala hiruk pikuk sandiwara. Memastikan Maira bisa menjadi anak yang menelaah baik buruknya sesuatu. Oma selalu mengelus kepala Maira sebelum tidur, beliau menyempatkan untuk bercerita sebelum tidur. Terkadang Maira menjerit dalam tidurnya, sebuah trauma mendalam pasca bencana yang menghilangkan ayahnya membuat anak itu sedikit pendiam. Oma mencoba mengobati rasa trauma itu dengan membawanya ke psikolog anak agar tidak berkepanjangan. Berkat usaha oma dan opa sekarang Maira sudah bisa lepas dari rasa trauma, namun jauh di dalam lubuk hatinya dia masih memiliki harapan untuk bertemu dengan ayahnya dimana pun itu. Mungkin ombak sudah membawanya ke daerah lain. Maira saat ini sudah kuliah di sebuah universitas negeri di kota Bogor jurusan Ekologi. Maira bersyukur sekali karena Allah membantunya dalam setiap kesulitan yang dihadapi. Namun, meskipun dia merasa tercukupi di rumah Oma Fani tetap saja jiwa mandirinya menguat. Mulai dari jam 5 sore sampai jam 9 malam dia bekerja paruh waktu di sebuah kafe. Oma sempat tidak setuju saat Maira minta ijin bekerja, tapi penjelasan Maira meyakinkan mereka kalau itu semua demi kebaikannya kelak. Akhirnya Oma paham bahwa Maira telah menuju dewasa dan ingin mandiri. Rasa sayang Maira pada Oma sudah melekat, Dia begitu sedih melihat kondisi Oma yang jatuh sakit akhir-akhir ini. Dalam sholatnya selalu ada doa untuk kesembuhan Beliau. Keesokan paginya, gerimis halus membasahi baju Maira yang terkena angin saat menunggu angkutan umum menuju kampus. Setengah jam berlalu tapi tak ada yang menghampirinya. Sambil menunggu di halte, pikiran Maira masih tersangkut di rumah bersama Oma yang kian melemah. Pengobatan yang dijalani tidak berdampak besar, keceriaan Maira hanya menutup sesaat rasa sakitnya. Kanker itu menggerogoti semangat hidup Oma. Kanker pankreas stadium lanjut. Sebuah panggilan masuk membuat gawai Maira berdering, spontan dia tersadar dari lamunan lalu menjawab dengan suara lemah. "Halo, siapa ini?" "Mai, kamu lagi dimana? Aku butuh bantuanmu!" jawab seseorang yang suaranya ia kenal. "Tiara? Aku masih nunggu angkutan, tumben nih lama datangnya, biasa tiap lima belas menit sekali lewat, ini udah setengah jam, tapi masih belum ada tanda-tanda kemunculan batang spionnya." “Haha.” Tiara tertawa mendengar jawaban sahabatnya itu. "Oalah, jadi kamu masih di halte ini?" lanjutnya. "Iya, Ra! Aku di halte." "Ya udah aku jemput yah, aku putar balik nih. Sabar ya, Mai!" ucap Tiara kemudian menutup panggilannya. Tiara adalah sahabat Maira di kampus, Jurusan kedokteran hewan. Pertemuan mereka di perpustakaan dua tahun lalu membuat mereka semakin dekat. Tiara merupakan salah seorang yang mengajarkan keceriaan pada Maira dengan ketulusan hatinya. Pandangan Maira tertunduk menatap genangan air di depan kakinya. Sesekali dia hentak kecil air itu pakai ujung sepatu pantofel hitamnya. Lamunannya tersadar kala mendengar suara klakson dari mobil CR-v hitam milik Tiara. Maira berjalan menuju mobil sambil menutup kepalanya dengan tas kuning yang ada di pangkuannya. "Maaf merepotkanmu," kata Maira masuk ke mobil. "Keringkan rambutmu, rapihkan riasanmu." kata Tiara memberikan handuk kecil pada Maira. "Makasih, Tiara! Kalau gak ada kau, mungkin aku akan terlambat." "Haha, perasaanku memang tepat! Aku merasa rindu padamu dan ternyata kamu memang membutuhkan aku." "Wah, Sok anak indigo!" sahut Maira tertawa lepas. Tiara ikut merentang bibirnya lebar. "Pulang dari kampus temenin aku sebentar ya ke toko buku. Dosen baru itu menyuruh kami membeli buku edisi terbaru, mana harganya selangit lagi!" "Tapi jangan lama-lama yah. Oma sendirian di rumah, kasihan," pinta Maira sambil berpikir menyusun rencana. "Oke."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD