Bab 2 : Maira Shanum - 2006 (Bagian 1)

1329 Words
Tahun 2006 silam Pagi itu masih gelap, mentari malu menunjukkan wajahnya ke langit hari ini atau mungkin saja pria yang berusia lanjut ini yang terlalu cepat bangun. Pria itu adalah ayah Maira yang sedang membuatkan sarapan untuk anak semata wayangnya. Tidak terlalu menyulitkan memasak telur dengan tumisan sayur kangkung yang baru dipetiknya dari halaman belakang semalam sore. Harum masakan ayahnya membangunkan Maira dari mimpi indah. Anak berusia remaja tanggung itu terbangun lalu segera mendatangi ayahnya. “Halo, anak Ayah!” “Halo, Ayah!” “Pergi mandi dan sholat subuh. Baru setelah itu kita akan sarapan.” Maira mengangguk, segera berlari ke kamar mandi. Handuk di jemuran ia tarik dan menutup pintu. Suara air yang dipakainya mandi terdengar kuat. Ayahnya mengingatkan Maira untuk berhemat karena cuaca sedang pancaroba. Belakangan ini sangat panas hingga air sumur berkurang asupan mata airnya. Maira mengerutkan mulutnya, merasa bersalah dengan membuang air terlalu banyak. “Maaf, Ayah!” Sang ayah pun tertawa melihat sikap anaknya yang masih manja walau sudah masuk SMP kelas tujuh. Semenjak kepergian ibunya sewaktu SD, ayahnya terus-terusan memberikan perhatian lebih sampai ayahnya lupa bahwa dia sudah besar. Di ruang makan. Maira sedang menikmati masakan ayahnya dengan lahap. “Wah, enaknya.” Pujian Maira membuat ayahnya merasa bahagia. Masakan yang sederhana saja bisa membuat Maira senang, gumam ayahnya dalam hati. “Mai, besok-besok belajar masak sendiri ya,” pinta ayahnya. “Hah, Ayah yakin mau nyuruh Maira masak? Gak takut kalau hasilnya buruk?” tanya Maira tertawa cekikikan. “Kamu ini, dasar manja! Pokoknya besok Ayah ingin Maira yang masak.” “Baiklah, Ayah. Maira akan menuruti keinginan Ayah.” Sesaat setelah sarapan, waktunya Maira bersiap-siap ke sekolah. Ayahnya juga harus ke kebun untuk bercocok tanam. Seluruh tanaman harus dipanen secara paksa karena sudah kering karena musim panas ekstrim. Maira menyalami tangan ayahnya sebelum pergi. “Ayah, Maira sekolah dulu ya,” katanya. “Iya, Nak. Belajar yang bagus biar jadi orang sukses.” “Hihi, oke, Ayah!” “Eh, Mai.” Panggilan ayahnya menghentikan langkah anak itu. “Ada apa, Ayah?” “Ayah antar aja ya?” tawarnya. Tanpa ragu, Maira mengangguk. Ayahnya segera menutup pintu, mengambil sepedanya lalu Maira duduk di boncengan belakang. Dalam perjalanan terjadi pembicaraan antara ayah dan anaknya. “Maira udah berat, Ayah. Kasihan kan Ayah mendayu dengan keras.” “Gak apa-apa, Mai. Ayah lagi banyak waktu senggang.” “Ayah baik sekali pada Maira, Maira sayang Ayah.” “Haha, Ayah terharu mendengar ucapanmu.” Maira tersenyum, memegang pinggang Ayahnya sampai ke sekolah. Sesampainya di sekolah. Rem sepeda berdecit dengan baik, benda antik milik ayahnya berhenti. Maira turun, menyalami sang ayah kemudian mencium pipi pria yang sudah banyak kerutan itu. Ayahnya tertawa lebar dan mengelus kepala Maira sebelum anak itu masuk ke gerbang sekolahnya. Maira selalu ceria. Semua temannya sangat suka pada Maira si pembuat onar. Dia juga anak yang berprestasi di sekolah. Semester ganjil mendapat nilai baik. Sepulang Maira sekolah, ia menemui ayahnya di kebun. Namun, sang ayah tidak terlihat lagi. “Paman, Ayahku di mana?” tanya Maira pada seorang pria yang merupakan petani juga sama seperti ayahnya. “Udah pulang, Mai. Coba lihat di rumah,” jawab paman itu. “Makasih, Paman!” “Ya, Mai!” Maira bergegas pulang dengan berjalan kaki. Sejauh setengah kilometer dari tempat itu. Sudah biasa Maira berjalan hingga berkilo-kilo meter. Dia tidak punya sepeda untuk dinaiki. Walau begitu, Maira tidak pernah mengeluh. Di rumah. Ayahnya sedang terbatuk-batuk parah. Sampai mengeluarkan darah di tangannya. “Assalamu’alaikum, Ayah!” ucap Maira. Ayahnya langsung pergi ke kamar mandi untuk membersihkan mulut dan darah yang ada di tangannya begitu mendengar suara anaknya. Berusaha menutupi penyakit yang semakin memburuk. Terakhir kali periksa, ayahnya terkena infeksi paru-paru karena merokok yang terlalu berlebihan. “Lho, mana Ayah?” tanya Maira mencari keberadaan ayahnya. Pintu terbuka, tas ayahnya juga ada, tapi tidak ada orangnya. Maira mengetuk pintu kamar mandi. “Ayah,” panggilnya. “Ya, Mai.” “Oh, Ayah di dalam. Maira kira Ayah pergi.” “Nggak, Mai.” Ayahnya cepat-cepat menyiram tangan dan menyeka mulutnya lalu keluar dari kamar mandi. Maira meletakkan tas, berganti baju lalu menuju meja makan. Ayahnya menyiapkan piring dan gelas untuk Maira. Maira segera duduk di kursi menunggu lauk yang akan disediakan ayahnya. “Ayah, besok Mai akan pergi ke kota. Ada acara dari sekolah. Ayah ijinkan tidak?” tanya Maira. “Oh, gitu. Pergilah kalau itu dari sekolah pasti Ayah ijinkan.” “Tapi, Yah-“ Maira menghentikan ucapannya. “Kenapa, Nak?” “Maira gak punya uang buat bayar ongkos kendaraannya. Kami rencananya akan menyewa angkutan umum,” lanjut Maira dengan nada rendah. Ayahnya tersenyum. “Tenanglah, Ayah baru dapat uang banyak.” “Oya? Dari mana?” “Kan Ayah baru jual hasil kebun kita.” “Oh.” Maira kurang senang. “Kenapa cemberut?” tanya ayahnya bingung. “Itukan untuk biaya hidup kita. Maira gak mau deh.” Ayahnya duduk di depannya. “Nak, jangan khawatir. Tabungan Ayah juga ada, kok!” Maira ragu untuk ikut acara sekolah besok, tapi ayahnya terus mendukung anaknya untuk ikut. Akhirnya Maira pergi keesokan harinya. Ayahnya mengantarkan Maira sampai ke sekolah. Memastikan bahwa anaknya pergi dengan baik. “Ayah, Maira sekolah dulu ya.” Maira menyalami tangan ayahnya kemudian ia merasakan sesuatu terselip di tangannya. Maira melihat ada amplop di tangannya. “Apa ini, Ayah?” tanya Maira. “Simpanlah. Kamu akan butuh uang itu.” “Haha, Ayah ada-ada aja. Kan bisa Ayah aja yang nyimpan?” Pria itu menggeleng dengan senyuman manis. “Maira aja yang pegang, pasti Maira butuh itu nanti.” Maira membuka amplopnya. Ia melihat uang yang sangat banyak. Ada sekitar sepuluh lembar uang pecahan terbesar rupiah. “Ayah!” matanya terbelalak. “Ini sangat banyak! Maira takut membawanya.” “Sudah, simpan saja di tasmu. Jangan lepas tasnya agar tidak ada yang mengambilnya.” Ayahnya tetap bersikeras memberikan uang tersebut. Maira pun menuruti keinginan hati ayahnya. Beberapa jam setelahnya. Siang ini cuaca berubah drastis. Panas yang sangat mencekam berubah menjadi dingin dan berkabut. Acara sekolah yang diadakan di kota Kebumen mendadak harus berhenti sebelum selesai semuanya. Acara seni dari beberapa sekolah yang ikut serta memeriahkan pagelaran tersebut. Tiba-tiba saja, terjadi gempa berkekuatan sedang. Semua orang berhamburan dan Maira ketakutan. Dia mengejar gurunya dan berlindung bersama dengannya. Sampai bus berhenti, Maira masih berada dalam pelukan gurunya. “Bu, Maira takut.” “Iya, Nak. Sabar ya.” Semua siswa selamat, tidak ada korban saat itu. Hanya ada kekhawatiran yang amat dalam dan rasa trauma. Guru-guru mengumpulkan kembali semua siswa di suatu tempat. Maira masih ketakutan dengan saling berpelukan pada temannya. Satu jam kemudian mereka kembali setelah merasa sudah aman dan tidak ada gempa susulan. Semua anak dihubungi oleh orangtuanya. Hanya Maira yang tidak karena ayahnya tidak punya benda seperti itu. Maira yang duduk bersama gurunya melihat wanita di sampingnya sedang menjawab panggilan. Tampak terkejut hingga berulang kali menyebut nama Allah. Maira ingin tau, apa yang sedang terjadi? Setelah wanita itu mematikan gawainya, ia pun menangis kemudian mendatangi guru-guru lain. Mereka tampak membicarakan sesuatu. Spontan seorang pria yang menjabat sebagai guru olahraga pun berjalan ke arah supir. Meminta mereka menghentikan mobil sebelum tiba ke sekolah yang masih berada jauh di depan. “Ada apa, Mai?” tanya temannya. Maira menggeleng dengan wajah kaku. Semua penasaran jadinya. Kondisi menjadi aneh, guru-guru menangis dan sibuk menelepon. Beberapa saat kemudian mereka pun diberitahukan bahwa telah terjadi tsunami di daerah mereka. Semua siswa nangis histeris. Maira berdiri dari tempat duduknya lalu mendatangi gurunya. “Ibu lagi becanda kan?” tanya Maira. “Nggak, Mai. Ibu baru dapat kabar begitu. Kami juga merasa khawatir pada keluarga di sana.” Maira sontak lemas. Kakinya tidak sanggup berdiri. Maira menangis sekencang-kencangnya mengingat ayahnya. “Ayah!” Anak yang masih butuh perangai orang tua tersebut terpaksa tinggal sendirian. Tidak tahu harus ke mana? rumahnya hancur dan juga ayahnya hilang. Maira berdoa agar Allah mengembalikan ayahnya dan dia ingin bersama dengan ayahnya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD