1.Takdir atau Kebetulan

969 Words
Senja terbit di ufuk barat, mengingatkanku akan satu hal tentang waktu. Senja datang hanya sesaat untuk sekadar memanjakan mata kita, begitupun dia yang hadir sekejap saja dalam hidupku lalu pergi meninggalkan luka. Aku selalu berkata bahwa cintaku padanya hanya karena Allah namun tanpa kusadari hatiku lebih condong padanya, hingga terkadang aku lalai dengan perintah-Nya. Apakah hal itu yang membuatku berpisah dengannya? Allah cemburu karena aku lebih mengharapkan cinta dari hambanya, dari pada-Nya? Astagfirullahaladzim, jika benar sungguh aku telah berbuat dosa yang begitu besar. Allah, maafkan hambamu ini yang terkadang masih lalai dalam menjalankan kewajiban-Mu. Ya Allah, hamba tahu bahwa hamba bukanlah umat-Mu yang setia karena hamba masih sering khilaf untuk menjalankan perintah-Mu tapi bolehkan hamba meminta satu hal pada-Mu? Hamba ingin Engkau menjodohkan hamba dengan seorang pria yang dapat membimbing hamba dan yang akan selalu membuat hamba mengingat-Mu, selalu bersyukur atas segala nikmat yang engkau berikan. Aamiin…. Ku raup wajahku dengan kedua telapak tangan, setelahnya kulepaskan mukena yang masih membalut tubuhku. "Hawa, Um-ummi Maryam…" Seketika gerakanku yang sedang melepas mukena terhenti, dengan cepat aku bangkit dan langsung menghampiri Silvi, sahabat baikku. "Ada apa dengan Ummi? Cepat katakan Silvi!" ku goncangkan kedua bahunya, rasa cemas sudah menjalari hatiku. Semenjak kepergian Abi, aku hanya hidup berdua dengan Ummi, sungguh aku tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Ummi. "Ummi Maryam, masuk rumah sakit." "Innalillahi! Ummi… terus sekarang Ummi ada dirumah sakit mana?" desakku lagi, perasaan khawatir ini membuat pikiranku tak tenang. "Di rumah sakit medika sehat," sahut Silvi. "Aku harus kesana sekarang juga!" dengan cepat kulepaskan mukena yang masih membalut tubuhku. Saat langkahku sudah berada di ambang pintu musholla sekolah, tiba-tiba Silvi menahannya. "Gue anterin." Aku mengangguk, rasanya aku juga tidak sanggup untuk sekadar memegang kemudi motor. Tubuhku terasa lemas mendengar kabar ini. Allah, tolong jagakan Ummi untukku. *** Sesampainya di lobby rumah sakit, aku langsung memacu langkahku menyusuri lorong ruangan seraya bibirku tak berhenti melontarkan beribu doa agar Ummi baik-baik saja. Lorong-lorong rumah sakit sudah kulalui dan langkahku terhenti saat melihat bangsal melati kamar nomer 7, ini tempat Ummi dirawat. Ku putar kenop pintu kamar tersebut dan mataku langsung menjelajah keseluruh penjuru kamar yang memiliki delapan brankar. Airmataku berlinang tatkala melihat tubuh wanita yang menjadi sayap pelindungku tengah terbaring lemah dengan sebuah infus dan alat bantu napas di hidungnya. "Ummi…!" panggilku dengan serak seraya mendekat ke arah brankar yang di tempati Ummi. Tangisku pecah, ku raih tangan wanita terhebat yang telah berjuang untuk melahirkanku ke dunia itu Dingin, itulah yang kurasakan saat telapak tangannya ku genggam. Allah, aku belum siap jika harus kehilangan Ummi. "Hiks… Ummi… jangan tinggalin Hawa…." "Ndok," kepalaku langsung mendongak saat mendengar suara Ummi dan saat sebuah tangan mengusap lembut puncak kepalaku yang tertutup khimar. "Alhamdulillah, Ummi!" mataku berbinang bahagia melihat Ummi sadar. "Ummi, kenapa bisa masuk ke rumah sakit? Hawa kan udah bilang jangan kecapean. Hawa sangat takut mendengar Ummi masuk rumah sakit. Hiks… Hawa… belum… siap… jika harus… kehilangan Ummi," jujurku. Saat ini saja tanganku masih saja gemetaran rasa takut itu masih menjalar kuat dalam dadaku, jantungku pun berdegup tak karuan. Ummi tersenyum padaku, membuat keningku berkerut dalam. Lalu beliau menarik kedua tanganku dengan lembut ke dalam genggamannya. "Dengar ndok, siap ataupun tidak siap, kematian itu akan tetap datang menghampiri kita. Karena jodoh, rezeki dan maut sudah di tertulis di lauhul mahfusz bagi setiap hamba-Nya." "Hiks… Hawa tahu… tapi tetap saja, Hawa belum siap kehilangan Ummi…." "Ndok, jangan seperti ini. Tidak baik, apapun yang terjadi nantinya, kamu harus ikhlas lillahi ta'ala." "Insya Allah, Ummi. Hawa akan berusaha," kataku berusaha mengerti. *** Rasa lapar membuatku memutuskan untuk makan di kantin rumah sakit bersama Silvi. Melihat daftar menu yang terpajang di depan salah satu stan, aku memutuskan untuk membeli sup ayam. Setelah memesan kami mencari tempat duduk, suasanah hatiku masih saja diliputi kegelisahan. Hasil pemeriksaan mengatakan bahwa penyebab Ummi jatuh pingsan bukan hanya karena kecapean tapi ada komplikasi jantung yang cukup parah. Sedih, gelisah dan khawatir menghantuiku hatiku. Maka dari itu aku memutuskan untuk menginap disini, menemani Ummi hingga Ummi di perbolehkan untuk pulang. "Haw, makanannya udah datang!" teguran yang di sertai tepukan dibahuku itu membuatku tersadar dari lamunan. "Eh, iya?" aku langsung mengambil mangkuk berisi sup itu. Hangat namun kehangatannya tak mampu menghilangkan kegelisahanku saat ini. Padahal aku tidak selera tapi aku harus tetap mengisi perutku agar tidak kosong karena aku harus menjaga Ummi. Jika Ummi tahu aku tidak makan dengan teratur, pasti beliau akan berbalik mengkhawatirkan aku. "Haw, gue pamit pulang dulu, ya. Soalnya nyokap gue udah nyariin." Aku mengangguk, "makasih ya, Sil. Udah nganterin gue kesini." Silvi menepuk bahuku pelan,"santai. Kayak siapa aja! Ya udah gue balik, sampein salam gue sama Ummi. Maaf juga nggak bisa pamitan langsung!" pamit Silvi, kemudian ia berlalu pergi. Berbalik menuju lorong tempat Ummi di rawat dengan pandanganku nanar melihat ke arah ubin rumah sakit, aku ingin mewujudkan mimpi Ummi yang belum tercapai untuk pergi ke haji. Ya Robb, tolong panjangkan lah umur Ummi, karena hamba masih ingin membahagiakannya dengan mewujudkan impiannya itu. Tubuhku hampir terhuyung jatuh akibat tabrakan yang baru saja terjadi. Belum reda rasa terkejutku tiba-tiba sebuah suara memasuki indra pendengaranku, dengan kasar dia berkata. "Kalo jalan itu lihat-lihat! Masih punya mata kan?!" bentak orang itu. Dengan cepat ku hapus airmata yang masih membanjiri pipiku, lalu ku dongakkan kepalaku menatap seorang lelaki yang tengah menatapku dengan tajam. Nerta hitam legamnya itu menatap penuh kekesalan padaku. "Malah bengong! Kayaknya selain buta, lo juga tuli ya! Minggir!!" belum sempat aku membalas ucapannya, dia sudah menyingkirkanku dari hadapannya. Tubuhku terhempas menabrak tembok, namun itu sakitnya tidak seberapa dibandingkan dengan hatiku yang kembali remuk melihat kehadirannya. Dia Raddan, pria yang berusaha ku lupakan dari segala kenangan masalaluku. Allah… apa maksud dari ini semua? Kenapa Engkau pertemukan hamba lagi dengannya? Kebetulankah ini? Ataukan takdir yang sudah Engkau gariskan untuk hamba? ________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD