2. Hal yang tersembunyi

741 Words
Aku berusaha menetralkan degup jantungku yang sudah berdebar tak karuan. Debaran yang mampu membuatku mati berdiri, setelah acara jamuan makan malam tadi aku di panggil menghadap bos pemilik restoran ini. Itu artinya aku akan kembali berhadapan dengan Raddan, aku tahu pasti dia akan memarahiku karena tertangkap basah sedang melamun disaat jam kerja masih berlangsung. Baru sekali aku mengetuk pintu dan langsung terdengar seruan dari dalam menyuruhku untuk masuk. "Masuk!" ku tarik napas dalam-dalam lalu ku kekuarkan dengan perlahan. Allah lindungi hamba... Bismillah… ucapku seraya ku langkahkan kakiku memasuki ruangan bertuliskan 'CEO' di bagian pintunya. "Assalamualaikum, Pak. Ada apa ya, Bapak memanggil saya?" tanyaku yang sebenarnya tak perlu ku tanyakan lagi. Namun aku perlu waktu untuk mempesiapkan diri agar siap menerima semprotan pedasnya. "Wa'alaikumssalam, saya tidak mau basa-basi. Saya sangat tidak menyukai ada karyawan yang tidak fokus saat melakukan pekerjaannya." Ada jeda sejenak dalam ucapannya, "saya tidak suka dengan orang yang tidak profesional dalam bekerja?!" Aku terlonjak kaget mendengar suaranya yang menggelegar memarahiku. Allah… benarkah pria yang ada di hadapanku adalah pria yang dulu pernah kukenal? Kenapa ia sangat berbeda? Dia… sangat menakutkan... "Jika saya memergoki kamu sekali lagi melakukan kesalahan seperti ini. Bukan hanya peringatan yang saya lakukan, saya akan langsung memecat kamu!" Airmataku menetes membanjiri pipiku, sakit sekali rasanya di bentak oleh orang yang sampai saat ini masih menempati posisi paling besar dalam relung hatiku ini. "Hikss.…" "Saya perlu jawaban kamu, bukan tangisanmu?!!" Aku hanya bisa terdiam dengan airmata yang sudah mengalir tak karuan, hatiku sangat sakit mendengar bentakannya. Dulu… dia tidak seperti ini… dulu… "Atau kamu mau saya pecat sekarang juga! Iya?!" bentaknya lagi. "Raddan, cukup! Lo udah keterlaluan!" disaat aku masih terisak, Kak Ken datang membelaku. "Kenapa lo belain dia?! Jelas-jelas dia salah!" kemarahan Raddan masih terlihat jelas. Membuatku tak berani sedikitpun untuk mendongak, Allah tolong lindungi hamba… "Allah saja maha memaafkan masa lo kayak gini doang, udah marah besar kek kebakaran jenggot aja! Sebelum lo menyesal, lebih baik lo tenangin diri! Sholat, biar amarah lo pudar. Jangan sampe lo nyesel nantinya!" "P-pak, ha-hari.. ini juga… saya akan keluar dari restoran ini. S-saya ti-tidak akan mengangguk ketenangan bapak lagi. Permisi!" ucapku dengan sesegukan, dengan cepat aku berlari keluar dari sana. Rasanya hatiku sudah tak sanggup lagi mendengar nada amarah dalam suaranya. Allah… wahai Dzat yang Maha membolak-balikan hati manusia. Tolong hilangkanlah perasaan yang masih tersisa dihati hamba padanya. *** Diary di hadapanku terbuka di lembar berikutnya. Sungguh kejadian tadi siang sangat menyakitkan, pertemuan dengannya bukanlah keinginanku. Kenapa aku harus bertemu lagi dengannya, di saat hatiku mulai bisa melupakannya. Kubaca kembali tulisan yang baru saja ku tuangkan ke dalam buku diary itu. 20-01-2020 Dear diary, Malam ini aku termenung dalam kesedihan. Perpisahan kami dulu sangat menyakiti hatiku namun… pertemuan kembali kami lebih menyakitkan. Dia sudah berubah, dia bukan lagi Kak Raddan yang aku kenal. Tak ada lagi senyuman manis yang tersungging di wajahnya, tak ada lagi tutur kata lembut yang mengalun indah dibibirnya. Sekarang aku sudah tak mengenali lagi pria itu… pria yang menjadi cinta pertamaku. Aku sudah mengikhlaskan hubungan kami yang hancur dulu dan berusaha menata kembali masa depanku tanpa sekalipun menoleh untuk berbalik mengenang masa lalu. Namun, kini aku di pertemukan lagi dengannya. Ya Rabb… sebenarnya apa takdir yang telah Engkau gariskan pada hamba? Tolong beri hamba bocoran sedikit.. saja, agar hamba tidak lagi merasakan ke bimbangan seperti ini terus menerus. "Ndok… Ummi ingin bicara, bisa?" suara ketukan disertai panggilan dari Ummi membuatku bergegas menutup buku diary itu. Kemudian bangkit untuk membukakan pintu untuk Ummi. "Iya, Ummi sebentar!” Ku putar kenop pintu kamarku setelah menetralkan kembali raut wajahku menjadi ceria seperti biasanya, "masuk Mi, mau bicara apa?" tanyaku saat kami sudah duduk di ranjang kamarku. "Ummi ingin membicarakan tentang Abi, ada hal yang perlu kamu ketahui." Mendengar kata Abi membuat tubuhku langsung condong ke arah Ummi, "hal apa, Mi?" Ummi terlihat menghela napas, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku gamis yang tengah dikenakannya. "Ini Abimu memberikan sebuah surat wasiat sebelum dia meninggal. Karena Ummi rasa kamu sudah siap menjalankan wasiat itu, jadi Ummi baru memberikannya sekarang. Abimu memberikan wasiat untukmu. Itu adalah janjinya yang Abi ucapkan bertahun-tahun lalu dan abimu ingin kamu menjalankan wasiatnya." Aku meraih surat wasiat itu dengan rasa degupan d**a yang sangat kuat menghantam jiwaku, berusaha menebak apa isi dari surat itu. Apakah sesuatu di dalamnya akan merubah nasibku? Ini sangat mendadak, apakah aku sanggup menjalankan wasiat dari Abi? Ya Allah berilah hamba petunjuk-Mu… ________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD